Sistem Kapitasi Berbasis Kinerja (KBK) yang segera diterapkan BPJS Kesehatan direspons positif Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Balikpapan. Sistem baru yang berlaku Januari 2017 ini disebut memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. BPJS Kesehatan akan menerapkan pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan.
Yaitu, menetapkan indikator kinerja yang berdampak pada reward dan konsekuensi atas pemenuhan komitmen pelayanan puskesmas, klinik pratama dan dokter perseorangan yang masuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Apabila kinerja optimal, maka tarif kapitasi dapat dicapai maksimal. Sehingga mendapat reward peningkatan kompetensi sesuai kebutuhan FKTP tersebut.
Untuk klinik pratama atau dokter praktik perorangan, satu orang peserta dalam satu bulan besaran (norma) kapitasinya maksimal Rp 8.000 sampai Rp 10.000. Sementara puskesmas Rp 6.000. Lewat sistem kapitasi, fasilitas kesehatan dituntut bukan hanya mengobati peserta JKN tapi juga memberikan pelayanan promotif dan preventif atau pencegahan.
Sebaliknya, apabila tidak memenuhi komitmen pelayanan, konsekuensinya adalah pengurangan kapitasi. Ada tiga indikator penilaian komitmen pelayanan tersebut. Yaitu angka kontak komunikasi antara dokter dengan peserta terdaftar, rasio rujukan rawat jalan nonspesialis, dan rasio peserta Program Pengelolaan Penyakit Kronis atau Prolanis rutin berkunjung ke FKTP. Lalu, ada indikator tambahan berupa rasio kunjungan rumah (home visit).
Humas IDI Balikpapan dr Andi Sri Juliarti mengatakan, pihaknya siap menerima dan menjalankan sistem tersebut. Termasuk melakukan pengawasan. Dio–sapaan akrabnya– memahami jika pemberian tarif pelayanan kesehatan sudah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 12/ 2016. Peraturan tersebut membahas tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Di mana, BPJS Kesehatan menjadi pelaksana program JKN. Ia yakin, peraturan ini telah disusun oleh pemerintah pusat dengan melibatkan berbagai pihak. Tidak hanya dari BPJS, Kementerian Kesehatan, Asosiasi Dinas Kesehatan, organisasi profesi, sampai asosiasi fasilitas kesehatan. Sehingga keputusan ini sudah berdasarkan pertimbangan rasional.
“Dalam sistem jaminan kesehatan, baik dari BPJS dan asuransi kesehatan lainnya pasti dasarnya adalah kendali mutu dan kendali biaya. Semua biaya itu terkendali secara efisien, tapi tetap untuk mendapatkan mutu baik tanpa harus boros,” ucapnya. Dio mengungkapkan, penerapan sistem kapitasi bukan hal yang baru bagi dokter. Sejak zaman asuransi dulu masih bernama Askes, dokter telah mengenal metode pembayaran secara kapitasi.
Terutama bagi dokter yang berada di layanan FKTP. “Pelayanan tidak hanya bicara pengobatan. Ada kegiatan upaya pencegahan penyakit, promosi preventif. Jadi, kalau ada kegiatan tersebut idealnya lebih cocok penilaian dengan kapitasi,” ujarnya kepada Kaltim Post. Lalu mengapa dengan KBK? Dio merasa penilaian KBK tentunya menjadi penilaian yang lebih rill tentang kinerja dokter.
Misalnya kegiatan dokter seperti penyuluhan, sosialisasi, senam pencegahan penyakit, pengobatan, hingga upaya rehabilitasi medik akan ternilai dengan baik. Ia menuturkan, asalkan dokter benar-benar melakukan pekerjaan dan melaporkannya, BPJS nanti menilai sesuai kinerja itu. Dokter harus melaksanakan seluruh item, meng-input, dan melaporkannya.
“Jadi kami setuju saja, tetapi harus ada timbal balik atau feedback. Sistem KBK nanti ada reward dan punishment. Sebaiknya, semua itu disampaikan transparan dalam bentuk feedback ke dokter setiap bulan,” katanya. Sehingga sambung dia, buktinya jelas dan dokter tidak kecewa mengapa penerimaan kapitasinya menurun. Justru penilaian kapitasi mampu menjadi ajang dokter mengintrospeksi pelayanannya.
“Banyak dokter yang mempertanyakan perubahan kapitasinya. Maka ada baiknya jika sistem KBK nanti disertai feedback tertulis dengan rincian kinerjanya. Apakah karena peserta berkurang atau ada punishment dan sebagainya. Feedback tertulis itu juga salah satu bentuk komunikasi transparan,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, selama ini, reward setiap tahun hanya diberikan dalam kegiatan Jambore BPJS kepada FKTP yang telah melalui penilaian BPJS. Namun, itu hanya berupa pengumuman dan pemberian hadiah. Namun, tidak memperlihatkan item keberhasilan seperti berapa persen pengendalian rujukan, bentuk penerapan home care, jumlah persen rasio kunjungan pasien prolanis. Hingga bagaimana penampilan sarana FKTP yang mendapatkan reward.
Saran kami itu ditampilkan sehingga bisa menjadi contoh dan motivasi bagi FKTP lain. Termasuk bentuk dan alasan punishment yang jelas. Menurutnya, jika ada punishment sebaiknya disampaikan rutin setiap bulan secara tertulis ke setiap FKTP. Waktunya bisa bersamaan saat pembayaran kapitasi, sehingga kedua pihak mengetahui apa penyebab pengurangan kapitasinya.
“Sampai saat ini, asumsi kami jika penerimaan kapitasi berkurang setiap bulan itu karena peserta berkurang. Belum ada info rinci alasan pengurangannya,” kata perempuan yang juga menjadi dokter FKTP di kliniknya tersebut. Salah satu hal terpenting, ucap dia, adalah pengendalian rujukan. Ia berharap BPJS memahami bahwa dokter adalah orang yang melihat langsung kondisi pasien. Sehingga dokter berhak menentukan mana pasien yang harus mendapatkan rujukan dan mana yang tidak.
Di mana, rujukan tersebut juga tidak sembarangan, namun kewenangan dokter berdasarkan indikasi medis. “Kenyataannya, kadang ada kasus yang secara kompetensi dokter dapat dikerjakan di FKTP. Tetapi menjadi terpaksa dirujuk sebab keterbatasan sarana di FKTP. Maka sangat perlu BPJS selalu melakukan kredensial ke faskes. Agar melihat ketersediaan alat dan apakah alat dapat berfungsi mendukung dokter melakukan pelayanan,” urainya.
Sebab, walau telah tersedia dokter di FKTP, tetap sulit memberikan pelayanan prima jika tidak mendapatkan dukungan dari sisi sarana alat kesehatan memadai. Akhirnya, dokter merujuk pasiennya lagi. Selama ini, BPJS melalui berbagai pertimbangan dalam menentukan tarif kapitasi. Di antaranya sumber daya manusia (SDM), kelengkapan sarana-prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Mewakili IDI Balikpapan, Dio mengusulkan, sebaiknya indikator penentuan tarif kapitasi juga menimbang faktor risiko pekerjaan.
“Karena tenaga kesehatan ada yang bertugas dalam shift 24 jam. Bekerja malam hari sampai dini hari. Risiko tertular penyakit dan risiko akibat kerja lainnya lebih besar,” sebutnya. Sehingga, IDI Balikpapan pasti menerima program pemerintah dan perubahannya. Namun yang terpenting, BPJS Kesehatan juga melakukan sosialisasi maksimal. Semua dokter harus paham dulu tentang perubahan ini.
“Sebaliknya, pihak BPJS tidak hanya sekadar sosialisasi dengan meng-upload peraturan lewat internet. Kami perlu bertemu dan tatap muka antara BPJS dan dokter-dokter,” ungkap perempuan yang juga berstatus sebagai kepala Bidang Bina Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Meski Permenkes tersebut sudah launching dan dinyatakan sah, tetap ada bentuk sosialisasi soal peraturan itu.
Ia mengaku, terkadang perubahan peraturan dari pemerintah hanya sampai di jajaran manajer fasilitas kesehatan. Tidak tersampaikan secara penuh hingga ke dokter. “Intinya menjalin komunikasi antara kedua pihak harus teratur. Takutnya informasi yang tersampaikan dari mulut ke mulut justru memicu salah paham. Sebaliknya juga, BPJS bisa sering melakukan visitasi langsung ke dokter. Sehingga mengerti seperti apa keluhan dokter,” harapnya.
Dio mengatakan, IDI Balikpapan bersedia untuk membantu sosialisasi apabila nanti ada launching KBK. Termasuk jika ada sosialisasi perubahan peraturan lainnya. “Jika ingin membuat perubahan, lakukan uji coba atau minta pendapat dengan dokter. Kami pasti mencoba mempelajari dan beradaptasi dengan berbagai perubahan itu,” imbuhnya.
Apalagi, IDI Balikpapan menilai sejak awal program JKN berjalan terjadi beberapa kali revisi peraturan. Artinya pemerintah pusat juga melihat dan mengakomodasi kebutuhan di daerah. Tentu kebaikan tersebut untuk semua pihak. “Sudah banyak evaluasi dan perubahan. Artinya pemerintah pusat tidak kaku, tetap ada upaya terbaik untuk semua pihak yang berhubungan dengan aturan ini. Mulai dari BPJS, profesi tenaga kesehatan, sampai pasien,” pungkasnya.
Sumber: Prokal