Solidaritas Perempuan: Kasus Buruh Migran, Gaji Tak Dibayar Hingga Trafficking

Lembaga Solidaritas Perempuan mengungkapkan, ada 66 laporan kasus kekerasan dan pelanggaran hak pada perempuan buruh migran sepanjang tahun 2016. Dari jumlah tersebut, laporan didominasi persoalan gaji yang tak pernah dibayar hingga trafficking.

Koordinator Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan Nisaa Yura mengatakan, kekerasan maupun pelanggaran hak yang diterima perempuan buruh migran, khususnya Pembantu Rumah Tangga (PRT) terjadi lantaran minim perlindungan dari pemerintah Indonesia.

“Indonesia selama ini menuntut negara tujuan untuk melindungi. Tapi Indonesia sendiri tidak punya bentuk perlindungan yang spesifik,” ujar Nisaa di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kamis (5/1).

Status PRT, kata Nisaa, belum diakui sebagai sebuah pekerjaan layaknya jenis pekerjaan lain. Hal ini membuat hak-hak ketenagakerjaan PRT terus dilanggar dan sulit mendapat keadilan.

Pelatihan yang diberikan perusahaan penyalur tenaga kerja selama juga dinilai tak efektif bagi PRT tersebut. Menurut Nisaa, para PRT hanya diajarkan hal-hal teknis terkait pekerjaan namun tak dijelaskan hak-hak ketenagakerjaan mereka.

“Harusnya ada informasi soal hak tenaga kerja selama mereka ikut pelatihan. Selama ini pelatihan hanya soal rumah tangga,” katanya.

Tak heran, lanjut Nisaa, ada perbedaan cukup signifikan soal pengetahuan hak tenaga kerja PRT di Arab Saudi dengan mereka yang bekerja di Hong Kong.

Nisaa berkata, para majikan di Arab Saudi umumnya membatasi akses keluar rumah bagi PRT mereka. Sedangkan di Hong Kong para PRT lebih dimudahkan karena masih boleh keluar dari rumah dan berkumpul dengan rekan sesama PRT.

“Sehingga pemahaman mereka soal hak tenaga kerja ini muncul dari kumpul-kumpul itu,” terangnya.

Sementara itu, moratorium pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dianggap tak efektif. Moratorium tersebut dinilai hanya menjadi penyelesaian instan yang ingin dilakukan pemerintah.

Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan Konvensi Migran 90 pasal 8 ayat 1 yang menyebutkan, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus bebas meninggalkan negara mana pun termasuk negara asalnya.

Apalagi belum semua calon perempuan buruh migran memahami soal moratorium tersebut. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menyalurkan para calon perempuan buruh migran itu ke luar negeri secara ilegal.

Pihaknya menemukan peningkatan jumlah kasus penempatan buruh migran yang tidak melalui jalur resmi. Para calonperempuan buruh migran perempuan ini pun bersedia dengan alasan himpitan ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan di tempat kelahiran mereka.

“Negara tidak mampu menjamin kesejahteraan. Jadi wajar mereka bekerja sebagai PRT di luar negeri,” tutur Nisaa.

Sementara itu sejumlah alasan menjadi pemicu para perempuan memilih mengadu nasib sebagai PRT di luar negeri. Anggota Solidaritas Perempuan, Andriyeni, mengatakan, banyak perempuan buruh migran yang bekerja sebagai PRT untuk membantu kondisi keuangan keluarga. Alih-alih mendapatkan penghasilan, para PRT mesti rela tak digaji hingga berbulan-bulan.

Ia menyebutkan, ada seorang PRT asal Karawang yang tak digaji hingga disiksa secara fisik saat bekerja di Arab Saudi. Bahkan ketika kembali ke Indonesia, PRT itu harus pulang tanpa uang dengan kondisi mata buta sebelah.

“Setelah berjuang lima tahun akhirnya dia dapat gaji dengan bantuan mediasi dari Kementerian Tenaga Kerja,” tuturnya.

Penyalur jasa tenaga kerja, lanjutnya, tak jarang melakukan kecurangan pada perempuan buruh migran ini. Hal ini membuat perempuan buruh migran terjebak dalam trafficking.

Hal ini dimulai dari manipulasi visa, perpanjangan kontrak, pemalsuan identitas, penyekapan, pemotongan gaji, hingga penipuan yang berujung pada eksploitasi perempuan buruh migran.

Andriyeni menyayangkan lambatnya respons dari pemerintah terkait permasalahan ini. Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru minim perlindungan dan mendiskriminasi hak asasi para perempuan buruh migran.

Pemerintah, kata dia, mesti memperbaiki mekanisme penanganan kasus buruh migran dengan sistem satu atap. “Kami mesti mendesak terus supaya instansi bisa maksimal beri perlindungan,” ucapnya. (rdk/rdk)

Sumber: CNN Indonesia

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *