Benny Prawira: Bergandengan Tangan Cegah Tindak Bunuh Diri

“Jarang sekali yang menyinggung isu kesehatan jiwa di Indonesia ini, apalagi soal bunuh diri. Ayolah, itu terjadi banyak sekali di sekitar kita (anak muda) tapi nggak ada yang peduli,” tukasnya.

Ya, hal ketidakpedulian terhadap kondisi di sekitar, terutama di lingkungan anak muda inilah yang kemudian mendorong Benny Prawira, seorang mahasiswa fakultas psikologi Universitas Bunda Mulia dan seorang temannya dari bidang yang sama dari Universitas Atma Jaya mendirikan sebuah komunitas yang concern pada isu kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Komunitas ini mereka beri nama Into the Light.

Berdiri resmi pada Juni 2013 silam, komunitas ini fokus mengajak anak muda untuk aktif terlibat dalam upaya pencegahan tindak bunuh diri dan ini yang juga tak kalah penting, yaitu penanganan korban kehilangan pasca bunuh diri.

Jelas Benny, “Ini yang sering dilupakan dalam upaya pencegahan bunuh diri. Kita seringnya fokus pada pencegahannya saja dan korbannya, tapi tidak dengan orang-orang di sekitarnya yang kehilangan. Hati-hati lho, soalnya kehilangan itu bisa jadi pemicu tindak bunuh diri juga.”

Sejumlah kegiatan aktif mereka berikan kepada sejumlah komunitas lokal, perkumpulan anak muda, organisasi kemasyarakatan, Kementerian, dan juga organisasi internasional yang memiliki perhatian dan kepedulian yang sama. Kegiatannya tentu bergaya anak muda, namun tak sampai melewatkan acuan penelitian ilmiah dan Hak Asasi Manusia, karena komunitas ini berbasis bukti dan hak. Kegiatan itu meliputi workshop, seminar, dan pelatihan yang kental peningkatan pemahaman dan kesadaran akan pencegahan bunuh diri.

Dalam kegiatan-kegiatan yang juga melibatkan banyak mahasiswa dan anak muda dari latar belakang beragam ini, Into The Light  fokus menanamkan penghapusan stigma, cap, dan stereotip terhadap orang lain, serta peduli terhadap sesama. Keberanian untuk mengungkapkan atau bercerita, meminta bantuan atau berkomunikasi dengan orang lain juga ditekankan dalam setiap kegiatannya, pasalnya dengan cara-cara inilah bibit-bibit keinginan bunuh diri bisa dihapuskan. Hal ini diungkap Benny sesuai dengan moto atau visi Into The Light, yakni “Menghapus Stigma, Peduli Sesama, Dan Sayangi Jiwa”.

“Kita hadir disini untuk jadi edukator dan juga jadi support group teman sebaya. Kita kan sama-sama anak muda, pasti cerita atau komunikasinya lebih enak daripada sama orang yang lebih tua. Kenapa? Ya kadang orang yang lebih tua itu nggak ngertiin anak muda kan,” jelas pemuda kelahiran 1989 ini.

Baca selengkapnya soal Into The Light di sini https://komunita.id/2016/02/11/into-the-light-indonesia-menghapus-stigma-peduli-sesama-dan-sayangi-jiwa/

Pendirian komunitas yang kini berusia  3 tahun ini menurut Benny tak hanya menolong orang lain saja, melainkan juga menolong dirinya dalam hal pengembangan diri. Kata Benny, selain dapat menerapkan ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah, ilmunya juga makin berkembang. Ia jadi tahu ilmu soal Suicidology atau ilmu soal perilaku bunuh diri dan tindak pencegahannya yang bahkan tak ia dapat di bangku kuliahnya.

Dan ini yang dirasa paling membahagiakan Benny, yakni teman-teman baru. Kehadiran mereka dinilai Benny tak dapat dipandang sebelah mata, karena peran mereka juga bisa jadi upaya pencegahan keinginan bunuh diri. Ya, kata Benny, wajar saja, kadang seseorang itu pasti bisa stres dengan tumpukan pekerjaan dan masalah yang dihadapi sehari-sehari, dan pasti seseorang membutuhkan teman atau orang lain sebagai tempat bercerita.

Bukan tanpa tantangan, mendirikan komunitas ini diakui Benny dan teman-temannya cukup memeras otak dalam hal mencari inovasi kegiatan baru yang cocok dengan anak muda. Bukan hanya kegiatan atau programnya yang dipikirkan, tapi cara komunikasinya juga.

“Komunikasi dengan anak muda ini penting sekali. Kita harus memposisikan diri sebagai teman dan menyarankan dia agar bersedia menemui bidang yang bersangkutan untuk konsultasi dan penyembuhan dan membuka diri untuk bercerita tentang masalahnya supaya nggak jadi beban,” cerita Benny.

Penghilangan stigma tentang kasus bunuh diri juga jadi tantangan. Kata Benny, masyarakat Indonesia masih suka menyimpulkan sendiri atau bahkan menyederhanakan kasus bunuh diri anak muda. Pikiran mereka biasanya langsung tertuju pada orang tuanya atau keluarganya yang tak memberikan pendidikan dan pengasuhan yang baik terhadap anak.

Masyarakat juga sering mengaitkan ini dengan depresi yang timbul karena bullying dan masalah lainnya, seperti kurang iman. Padahal belum tentu itu penyebabnya. Bahkan Benny mengungkap, setelah mendirikan komunitas ini dan belajar banyak soal Suicidology lewat penelitian ilmiah, depresi sebagai penyebab bunuh diri malah menjadi mitos.

“Belum tentu depresi itu penyebabnya. Bisa jadi keinginan bunuh diri itu adalah ciri yang mirip dengan depresi. Soalnya ada teman ku yang baik-baik aja kok, dia suka ketawa-tawa, bergaul, tahu-tahu dia punya keinginan bunuh diri. Ya itu, dia nggak punya pikiran panjang atau keberanian untuk cerita soal masalahnya,” jelas Benny.

Hingga saat ini komunitasnya diawaki 12 anggota yang dibagi ke dalam beberapa divisi. Para anggota ini asalnya dari berbagai universitas dan berbagai latar belakang peminatan yang saling bersinergi membagikan ilmu, seperti mahasiswa studi film hingga mahasiswa teologi.

Pemuda yang sekarang sedang melanjutkan studi S2-nya di bidang Psikologi Sosial ini berharap, kedepannya komunitas ini bisa tersebar di daerah lainnya di Indonesia atau dengan kata lain tidak ‘Jakartasentris’.  Ia juga berharap akan makin banyak anak muda yang tergerak untuk bergabung dengan komunitasnya.

“Saya nggak mau di sini terus. Ada saatnya nanti saya regenerasi. Saya serahkan komunitas ini dan gerakannya kepada anak-anak yang lebih muda dan mereka yang meneruskan upaya ini. Ya kira-kira tahun ke-5 lah nanti,” tutupnya.

 

Dokumentasi: Benny Prawira 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *