Pembahasan yang dimaksud, mengenai upaya perlindungan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual seperti yang menimpa perempuan di Aceh maupun Papua. “Aceh sudah memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR), tetapi penyelesaian kekerasan seksual belum masuk prioritas KKR,” kata Indriyati, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Jumat (3/2).
Indriyati mengharapkan KKR Aceh dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, juga memasukkan penyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. KKR Aceh diharapkan dapat memiliki mekanisme perlindungan saksi dan korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual dengan LPSK sebagai lembaga yang bertugas melindungi saksi dan korban sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Komisioner Komnas Perempuan Saur Tumiur Sitomorang mengungkapkan, selain Aceh, kekerasan seksual juga menimpa kaum perempuan di Papua. Bahkan, kekerasan seksual di Papua tergolong berlapis, baik yang diakibatkan karena pembiaran oleh negara, kekerasan seksual oleh komunitas karena budaya dan kekerasan seksual di ranah privat. “Kita ingin tahu, apakah sudah mekanisme perlindungan bagi perempuan di sana [Papua],” kata Saur.
Sedangkan Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Irawati Harsono, menuturkan, terkait RUU PKS, saat ini sudah dibahas di Badan Legislasi DPR dan masih menunggu apakah selanjutnya akan dibahas melalui panitia khusus (pansus) atau panitia kerja (panja).
Mengenai substansi dari RUU PKS, kata dia, salah satu yang belum memiliki payung hukum adalah kekerasan seksual. Karena di KUHP sendiri, hanya disebutkan dan diatur mengenai perkosaan dan pencabulan.
Dalam RUU PKS ini akan diatur lebih jelas mulai dari pelecehan hingga penyiksaan secara seksual. Khusus pelecehan seksual sendiri nantinya akan dibuat gradasinya hingga 9 lapisan sehingga lebih komprehensif. “Pembahasan RUU PKS memang memakan waktu dan cukup lama hampir tiga tahun,” ujarnya.
Sumber: Gatra