Lemah lembut dan penyayang. Itulah dua impresi yang bisa didapat ketika berbincang dengan sesosok ibu pemberdaya masyarakat prasejahtera di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat. Bahkan impresi tersebut sudah bisa ditemukan ketika membuat janji wawancara dengannya melalui aplikasi pesan singkat. Tutur kata yang sopan dan lembut itu seakan hangat menyambut siapa saja yang ingin mengenal dirinya.
Perkenalkan, sosok itu ialah Hj. Tutik Sri Susilowati atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tutik Asmawi, pendiri Kelompok Swadaya Masyarakat Nyiur atau disingkat dengan KSM Nyiur. Ia mendirikan KSM ini pada 2013 silam bersama-sama dengan seorang kaprodi dari fakultas Arsitektur Universitas Budi Luhur. Pendirian KSM ini tujuannya mulia, yakni membantu masyarakat prasejahtera untuk berdaya agar mendapatkan penghidupan layak melalui kegiatan bermanfaat, seperti pengolahan sampah daur ulang dan pendidikan karakter untuk anak-anak.
Memberikan Bantuan dalam Keterbatasan
Umi—begitu biasanya ia dipanggil menceritakan, ia memang gemar melakukan kerja sosial. Bahkan, ia sudah mondar-mandir jadi relawan di daerah bencana sejak duduk di bangku sekolahan. Alasannya sederhana, yakni ingin berbagi dan bermanfaat untuk orang di sekitar meski dilanda keterbatasan.
“Umi ini datang juga dari keluarga nggak mampu, keluarga buruh tani. Tapi Umi nggak mau diam, Umi mau bantu orang lain sebisanya supaya orang lain nggak merasakan apa yang Umi rasakan. Bantuan itu nggak bisa Umi berikan pakai uang tapi pakai perbuatan baik dan tindakan. Ya sudah, Umi jadi relawan,” Ujarnya.
Kegemarannya melakukan kerja sosial inilah yang kemudian menuntunnya menemukan sebuah kampung di perbatasan antara DKI Jakarta dan Banten yang menjadi cikal bakal pendirian KSM-nya. Kampung ini tak berada di pelosok dan juga tak jauh dari pemerintahan, akan tetapi kampung ini sangat tertinggal dalam banyak hal. Kata Umi, ketika berkunjung kesana pertama kali, kampung ini begitu memprihatinkan. Contohnya, sampah berserakan di pintu masuk menuju kampung, jalanan rusak, banyak genangan air selokan, jumlah pengangguran dan anak putus sekolah yang tinggi, hingga tidak tersedianya fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus).
Melihat kondisi tersebut, Umi tak tinggal diam. Ia pun tergerak untuk berbincang dengan masyarakat setempat. Ia mengajak orang-orang itu untuk bangkit dari keterpurukan dan tidak meminta belas kasihan orang lain atau pun pemerintah. Caranya adalah dengan berdaya yang dimulai dari kegiatan bermanfaat untuk menjadikan mereka manusia yang bermanfaat.
“Umi nggak datang dan kemudian mengatur masyarakat, Umi hanya datang, berbaur dan memposisikan diri sama seperti mereka. Lalu mengajak mereka untuk bangkit dan belajar bersama-sama. Karena jika mau berubah, ya harus mulai dari diri sendiri dulu kan. Mereka itu bisa kok, cuma perlu diubah saja pola pikirnya dan bakar semangatnya,” Ujar perempuan asli Malang, Jawa Timur ini.
Sempat Kesulitan Membuka Hati Penduduk Setempat
Namun sayang, upayanya ini tak langsung disambut positif oleh penduduk setempat. Kata Umi, ia sempat mendapat penolakan karena ketakutan penduduk kampung akan harapan palsu yang mereka sering dapatkan dari orang-orang atau pemerintah yang mengunjungi mereka sebelumnya. Namun penolakan ini tak memukulnya mundur, justru ia makin semangat karenanya. Dan simsalabim, berkat usahanya yang gigih mendekati anak-anak dan memberikan mereka edukasi soal kesehatan, para penduduk lama-kelamaan merasakan manfaatnya dan mulai membuka diri.
Alhasil kehidupan masyarakat di kampung ini berangsur membaik. Fasilitas dan infrastruktur kampung ini juga berubah jadi baik. Tak ada lagi tumpukan sampah, jalanan sudah dibeton, pembangunan fasilitas taman ramah anak, hingga masyarakat yang tadinya pengangguran dan kerja serabutan kini produktif mengolah sampah lewat program Klinik Daur Ulang Sampah.
Tambahnya, “Dan Umi bersyukur dengan adanya bantuan dari Kaprodi Fakultas Universitas Budi Luhur. Berkat mereka, kampung ini sekarang punya MCK yang bersih dan sehat. Dan kami masih hingga sekarang merealisasikan MCK layak untuk masyarakat.”
Kondisi anak-anak di Kampung ini juga jadi lebih baik melalui Rumah Belajar Nyiur, pasalnya kata Umi, ditempat ini anak-anak tak hanya diajarkan pelajaran formal saja oleh para relawan, tapi juga pelajaran karakter dan skill. Anak-anak kampung ini dipupuk untuk punya perilaku baik dan pemahaman akan pentingnya pendidikan untuk masa depan.
Rasa Syukur dan Berkah Tak Ternilai dari Sang Pencipta
Berjalan bersama KSM selama 4 tahun sudah KSM ini berdiri. Umi mengaku banyak sekali kebahagiaan dan pelajaran bersyukur yang ia dapatkan. Ia juga merasa makin dilimpahi berkah dari sang Pencipta yang tak ternilai harganya.
“Umi dapet apa? Umi nggak mikirin dapet apa sih. Lihat mereka akhirnya sadar dan berubah saja Umi bahagia dan bersyukur. Sungguh ya, kalau kita mau berbagi pasti dikasih Allah banyak rezeki dan berkah,” Ujarnya seraya mengucap syukur.
Tak hanya Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat, kata Umi, gerakan yang ia inisiasi ini sudah menginspirasi relawan dan masyarakat di daerah lain untuk bangkit dan berdaya. Sebut saja, Bandar Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Barat, hingga Aceh. Bahkan Umi turut diajak melihat kondisi masyarakat itu dengan bermalam di pemukiman tersebut agar dekat dengan masyarakat dan lebih diterima.
Baginya Hidup itu Amanah
Kedepannya ibu dari 3 anak dan nenek dari 6 cucu ini berharap dapat terus menumbuhkan KSM Nyiur di banyak tempat agar tak ada lagi tempat kumuh dan tertinggal, serta mengurangi gap atau jarak antara yang kaya dan miskin. Ia juga tak berhenti berharap agar dirinya bisa terus membantu orang banyak.
Pasalnya ia percaya kalau, “Hidup itu amanah dari sang pencipta. Amanah itu ya dilakukan dengan cara membantu orang lain dan bermanfaat untuk orang banyak. Umi harus tetap semangat bareng para relawan lainnya.”
Hingga saat ini Umi aktif mengurus KSM Nyiur berikut program utamanya, yakni Klinik Daur Ulang Nyiur dan Rumah Belajar Nyiur (Rumbel) bersama ratusan relawan. Bukan itu saja, ternyata banyak juga komunitas, akademisi, peneliti, dan pemerhati lingkungan yang ikut bersamanya memberdayakan masyarakat.
Dokumentasi: Hj. Tutik Asmawi