TANGAN kiri Adhien Fadhli Rochmad dalam posisi terbuka hingga tampak telapak tangannya. Dalam hitungan detik, tangan kanannya diarahkan ke telapak tangan kirinya seolah sedang menuliskan sesuatu.
Setelah itu, tangan kanannya menunjuk ke dada. Itulah cara Adhien untuk mengatakan ’’nama saya’’. Adhien yang kini dipercaya menjadi ketua Komunitas Aksi Tuli (AKTU) Sidoarjo itu memang tuli.
Dia tidak bisa menangkap suara sejak lahir pada 11 November 1994. Hampir seluruh rekan-rekannya yang berkumpul bersamanya di Alun-Alun Sidoarjo, Minggu (8/1) juga senasib.
Ada yang tuli sejak lahir seperti Adhien. Ada pula yang bukan bawaan. Misalnya, Dani Eka Kurniawati. Titin, sapaan akrab Dani Eka Kurniawati, mengalami tuli saat usianya sekitar 3 bulan.
Kala itu badan Titin panas tinggi. ’’Dulu, saat sebelum itu (Titin panas tinggi, Red), ditepuk begitu masih bisa nyambung. Bisa nangis, berarti kan belum tuli,’’ ujar volunter AKTU Mufti Lazuardi yang kemarin membantu Jawa Pos menerjemahkan bahasa isyarat Adhien dan Titin.
Menurut Mufti, meski tuli, mereka tetap tidak ingin disebut orang yang kekurangan. Melainkan hanya beda kemampuan. Mufti mencontohkan orang Indonesia yang tidak bisa bahasa Inggris datang ke Amerika.
Bahasa mereka berbeda di Negeri Paman Sam. Mau tidak mau, mereka akan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
’’Nah, orang tuli itu seperti itu. Kemampuannya beda,’’ ucap alumnus Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang tersebut.
Adhien menyampaikan, mereka juga tidak mau disebut tunarungu. Sebab, tunarungu seakan-akan mengidentifikasi bahwa mereka terkena penyakit pendengaran dan butuh diobati.
’’Padahal enggak. Tunarungu itu kalau sakit pendengaran karena terbentur atau apa butuh diobati agar bisa sembuh,’’ jelas Adhien dalam bahasa isyarat yang diterjemahkan Mufti.
Komunitas AKTU berdiri sejak 22 Februari 2015. Mereka berharap orang awam bisa memahami. Termasuk belajar cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Harapannya, mereka tetap memiliki akses luas kepada masyarakat. Dia mencontohkan, banyak rumah sakit yang menyediakan jalur khusus bagi orang buta dan orang yang tidak bisa berjalan.
’’Kalau untuk orang tuli, masih belum banyak saya temui. Nah, akses semacam ini yang kami maksud,’’ ungkap Adhien. Apalagi, lanjut dia, tidak semua orang tuli bisa menulis.
Kalaupun bisa menulis, tulisan mereka biasanya terbalik-balik. Jadi, kadang dibutuhkan pemahaman khusus. Dia mencontohkan, ketika menuliskan ’’siapa yang menjual rumah itu?’’, mereka biasanya terbalik menulis ’’dengan rumah itu jual siapa?’’.
’’Misalnya lagi, maksudnya aku makan pisang, kadang tulisannya terbalik aku pisang makan,’’ tambah Mufti.
Adhien melanjutkan, Komunitas AKTU membuka stan di car free day (CFD) Sidoarjo setiap dua minggu sekali. Masyarakat umum yang ingin belajar bahasa isyarat bisa mendatangi stan tersebut.
’’Biasanya hanya butuh waktu 30 menit untuk belajar dasar bahasa isyarat seperti mengenal huruf-huruf. Setidaknya masyarakat awam bisa mengenal walaupun sedikit demi sedikit,’’ ungkapnya.
Warga yang ingin belajar lebih dalam bisa menghubungi komunitas yang kini beranggota 40 orang tersebut. Mereka sangat terbuka.
’’Biasanya janjian dulu mau belajar di mana dan kapan, nanti kami ajari sesuai keinginan mereka,’’ jelas pria asli Sidoarjo itu.
Mereka juga membuka ruang bagi warga yang ingin menjadi volunter. Tidak harus orang Tuli. Warga biasa seperti Mufti justru sangat dinanti.
’’Dulu awal berdiri malah masih bingung kalau koordinasi dengan pihak luar. Sebab, belum ada anggota yang membantu menerjemahkan. Sekarang dibantu volunter ini sangat memudahkan,’’ jelas Mufti.
Saat awal bergabung, seorang volunterakan diajari budaya tuli. Misalnya, saat hendak memanggil, orang biasa bisa dengan berteriak. Dalam budaya tuli, memanggil harus dilakukan dengan melambaikan kedua tangan ke atas jika dari depan.
Jika dari belakang, mereka diajarkan memanggil dengan cara melempar sesuatu ke samping atau sekitar orang tuli. ’’Yang penting tidak sampai mengenai kepala atau anggota tubuh yang lain,’’ ucap Mufti, lantas tersenyum.
Selain itu, jika orang biasa bisa menelepon dengan suara, pada budaya tuli biasanya menggunakan video call atau media chat dan SMS.
Contoh yang lain lagi, saat mati lampu orang tuli tidak akan bisa melihat isyarat tanpa visual. Jadi, pada budaya tuli dikenalkan menggunakan alat penerang agar isyarat bisa terlihat.
’’Keuntungannya, dengan isyarat itu, komunikasi bisa lebih jauh daripada menggunakan suara. Jarak 200 meter saja masih bisa kalau penglihatannya baik,’’ jelas Mufti.
Kini Komunitas AKTU sudah menyusun dan menyepakati bahasa isyarat yang ’’baku’’ di internal mereka. Sebelumnya, mereka masih bingung harus merujuk isyarat yang mana.
Sebab, kadang satu kata isyaratnya bisa lebih dari satu. ’’Kini sudah bisa mengumpulkan bahasa isyarat lebih banyak, koordinasi dengan komunitas lain di luar Sidoarjo,’’ ungkapnya.
Untuk bahasa isyarat tentang huruf, mereka sudah ada pakemnya secara internasional. Namun, untuk kata-kata tertentu kadang belum ada.
Sebab, akan sangat lama jika setiap percakapan harus berkomunikasi dengan menggunakan huruf. ’’Misalnya, kita mengisyaratkan Senin dengan apa, lalu Mei itu dengan apa, sudah ada sendiri isyaratnya,’’ kata Mufti.
Selain untuk umum, mereka kerap mengajarkannya pada orang tuanya. Sebab, tidak semua orang tua paham bahasa isyarat.
Ada yang hingga anak mereka usia 20-an belum bisa berbahasa isyarat. ’’Kadang masih mengandalkan gerakan bibir,’’ jelas Mufti.
Adhien mencontohkan orang tuanya. Dia pernah meminta orang tuanya untuk mengambilkan baju batik. Bibirnya mengisyaratkan mengucap batik.
Namun, orang tuanya mengira baju partai. Hasilnya, Adhien pun harus mengambilnya sendiri.
Sumber: Suara Difabel Mandiri