Amaranila Lalita Drijono dan Semangatnya Ajak Anak Pintar Memilih Makanan

“12 tahun pertama dalam kehidupan manusia adalah masa paling penting yang dapat menentukan kehidupan masing-masing individu di masa mendatang. Pasalnya, masa itu adalah masa dimana semua anatomi tubuh dan perilaku seorang individu dibentuk. Pada masa itu pulalah, kebiasaan mengonsumsi makanan sehat juga dapat dibentuk atau diarahkan,” ujarnya di ujung telepon siang itu.

Suara itu adalah milik Dr.Amaranila Lalita Drijono, Sp.KK, founder Gerakan Makan Sehat anak Sekolah atau yang disingkat dengan Gemass. Gerakan yang dibentuk Dokter Nila—begitu sapaan akrabnya pada 2015 lalu ini fokus memberikan edukasi konsumsi makanan sehat kepada anak-anak usia sekolah melalui modul yang ia selipkan jadi kurikulum di sekolah.

Gerakan ini diceritakan olehnya bermula dari inisiatifnya bersama teman-temannya yang tergabung dalam Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan UI 87-88.  Mereka bersama-sama membuat Pilot Project sosial yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh, yang menyoroti soal kekurangan gizi terselubung anak-anak sekolah Indonesia yang menyebabkan kemunculan penyakit degeneratif pada usia dini.

“Sebelumnya kami sudah melakukan survey lapangan di beberapa daerah soal kurang gizi terselubung pada kelompok usia sekolah. Ini sebabnya karena orang tua, guru dan si anak sendiri nggak punya pengetahuan soal gizi. Akibatnya apa,  anak jadi salah memilih makanan,” tukas Dokter spesialis kulit dan kelamin ini.

Hal ini dikatakan Dokter Nila makin diperparah dengan maraknya peredaran makanan dan minuman berbahaya yang mengandung zat aditif di kantin dan lingkungan sekitar sekolah. Dalam pembicaraan lewat telepon siang itu ia juga menceritakan kalau ia pernah melakukan penelitian dan penelusuran Contohnya es lilin yang dijajakan di suatu sekolah. Katanya, ia menemukan produk makanan tersebut mengandung Rhodamin atau pewarna makanan tekstil yang bisa memicu penyakit kanker.

Pilot project ini pertama kali ia dan teman-temannya luncurkan di 3 sekolah dasar di Kota Bojonegoro, Jawa Timur. Dalam peluncuran proyeknya ini ia menyerahkan modul pembelajaran yang  diselipkan dalam kurikulum. Modul tersebut berisi edukasi yang mengajak anak-anak untuk lebih cerdas memilih makanan atau menjadikan mereka konsumen cerdas. Dan luar biasa, berkat kurikulum ini, anak-anak di sekolah tersebut mulai paham memilih makanan.

Mengapa gizi yang dipilih Dokter Nila dan kawan-kawan? Mengapa anak-anak sekolah? Jawabannya cukup kompleks dan bersinggungan dengan banyak hal yang mungkin bisa membuat kita kagum. Ya, percayakah bila tindak korupsi dan perilaku negatif remaja lainnya yang marak belakangan itu bisa saja disebabkan oleh asupan gizi yang tak optimal atau masalah kurang gizi terselubung yang dialami seseorang? Mungkin awalnya kita menyangkalnya dengan kata tak mungkin, namun setelah mendengar penjelasannya, mungkin kita mulai paham.

Intinya kata Nila, gizi itu merupakan akar dari segala aspek kehidupan manusia. Kuncinya seperti yang disebutkan di awal, yakni asupan gizi di masa emas kehidupan manusia atau 12 tahun pertama. Nila menyayangkan bahwa orang tua hanya fokus dengan prestasi anak, bukan gizinya, padahal gizi itu penting dalam membentuk karakter anak. Anak mampu menyerap informasi dan nilai-nilai kebaikan, serta membedakan mana tindakan baik dan buruk. Ini tentu andilnya besar di kehidupan mendatang.

Jelasnya lagi, “Orang tua masih berpikiran pokoknya anak harus berprestasi, ranking satu dan masuk perguruan tinggi negeri. Lalu anak itu disuruh ikut bimbel. Itu saja yang diperhatikan, namun gizi anak nggak diperhatikan betul. Anak memang jadi pintar, namun ketika diajak nalar atau berkompetisi lebih jauh, dia nggak bisa.”

Ketika ditanya alasannya soal kepeduliaannya dengan dunia gizi dan pembentukan gerakan ini, Nila tak punya alasan yang spesifik atau pun berlebihan. Selain merasa puas karena bisa bermanfaat bagi masyarakat, ia mengatakan kalau ini adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan sesama manusia. Katanya, perbuatan menolong sesama manusia adalah bukti jiwa yang sehat.

“Itu kata kedokteran, lho! Mana bisa seseorang hidup dan jalan sendirian. Kalau dia bisa gitu artinya ada yang salah sama jiwa orang itu,” ujarnya.

Akan tetapi tidak mudah memang membiasakan kebiasaan dan perilaku baru di kalangan masyarakat, apalagi gerakan ini masih berkutat di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja. Ini yang jadi tantangan buat Dokter Nila dan gerakannya, belum lagi soal  pendanaan gerakan yang masih swadaya melalui pencarian dana dan pengumpulan donasi, serta pembukaan pintu kerja sama dengan pemerintah daerah lainnya untuk menjadikan modul buatannya jadi muatan lokal di sekolahan. Akan tetapi Dokter Nila optimis, dengan gerakan kecil namun strategis ini, lambat laun akan menciptakan perubahan menyeluruh ke berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Hingga saat ini Gemass terus aktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada anak usia sekolah dan juga para orang tua soal pemilihan bahan makanan bergizi dan cara mengolahnya. Ia berharap terus dapat menggalakan gerakan ini dan berkerja sama dengan banyak komunitas dan lini profesi, serta pemerintah daerah lainnya.

Baca profil Gemass selengkapnya di  https://komunita.id/2017/01/30/gemass-indonesia-pastikan-kecukupan-gizi-makanan-anak-anak-di-sekolah/

Dokumentasi: Dr. Nila Drijono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *