KIARA: Reklamasi dan Giant Sea Wall Pantai Jakarta Ancam Kesejahteraan Nelayan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat ada beberapa kajian menyangkut dampak lingkungan proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dan 17 pulau buatan hasil reklamasi. “Diantaranya terjadinya penurunan kesejahteraan nelayan yang sangat drastis. Kenyataan ini didasari dari kajian Pusat Data dan Informasi KIARA,” kata Armand Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) kepada GATRAnews, Rabu (22/3).

Menurut Armand, ada beberapa kenaikan kebutuhan nelayan dalam memperoleh ikan di laut yang saat ini sudah menurun, misalnya kebutuhan solar yang sebelumnya 5 liter menjadi 10 liter, lamanya melaut sebelumnya hanya 10 jam menjadi 18-20 jam. “Hasil tangkapan ikan semula 25 kg namun kini 5 kg sehingga rata-rata penghasilan mereka tadinya 3 juta/hari, namun sekarang cuma 300 hari/hari,” kata Armand.
Proyek NCICD, lanjut Armand, hanya penyamaran saja dan bukan untuk menanggulangi banjir dan rob, tetapi bermaksud untuk melindungi properti yang dibangun diatas lahan reklamasi dari akibat banjir untuk meningkatkan investasi. “Tercatat setidaknya terdapat 17.000 rumah tangga nelayan di DKI Jakarta yang berpotensi terusir dari pemukimannya,” katanya.
Dari kajian lain terdapat 10 alasan mengapa KIARA menolak Rencana proyek NCICD dan 17 reklamasi di Teluk Jakarta, karena pertama, akan menggusur 56.309 rumah tangga nelayan di 3 Provinsi yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.

 

Kedua nelayan tradisional kehilangan akses melaut dan tergusur dari sumber-sumber kehidupannya. “Ketiga, memperburuk kehidupan nelayan di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Keempat, bukan kebutuhan masyarakat pesisir melainkan pengembang properti,” katanya.
Selain itu, lanjut Armand, alasan lain misalnya dapat menghancurkan ekosistem pesisir akibat menurunnya daya dukung dan meningkatkan ancaman banjir kibat proyek reklamasi.

 

Kemudian, setiap harinya 2 orang nelayan beralih profesi menjadi kuli-kuli di kota besar. Lalu, mengubah bentang alam dan aliran air di kawasan reklamasi dan kawasan asal material pasir reklamasi.
Dan, alasan lainnya yakni, meningkatnya kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir “Merusak sumber daya air di kawasan pantai yang direklamasi dan meningkatkan ancaman longsor dan banjir di wilayah asal material pasir reklamasi,” katanya.

Adapun dampak lingkungan, kata Armand, yakni pembangunan tanggul laut raksasa akan berdampak besar bagi lingkungan, mulai dari material yang akan di pakai untuk menimbun laut, pasti akan diambil dari lokasi terdekat dari teluk jakarta.

 

“Salah satunya yang di peroleh informasi oleh KIARA, dalam proyek reklamasi teluk Jakarta, materialnya ternyata diambil pula dari pulau – pulau sekitar anak gunung Krakatau yang masuk wilayah kabupaten Lampung Selatan seperti pulau Sebesi dan sekitarnya,” katanya.
Nah, kenyataan itu lanjut Armand akan menggerus area garis pantai pulau – pulau tersebut dan berdampak terjadinya erosi besar-besaran dan kemungkinan akan membuat hilangnya pulau-pulau tersebut termasuk wilayah di sekitar kepulauan seribu.

Dibalik itu juga akan terjadi sedimentasi dan ini akan membuat hilangnya biota laut di sekitar teluk jakarta, kepulauan seribu dan wilayah sekitar banten dan jawa barat. “Pasti akan terjadi perubahan pola arus laut yang akan berdampak pada perubahan ritme dan siklus alur bawah laut serta gelombang dan mengancam pulau-pulau di kepulauan seribu,” katanya.
Hasil riset anggota KIARA lain, di Teluk Menado, kata Armand, dampak reklamasi membuat perubahan pola arus laut sehingga membawa hampir semua sampah termasuk sampah plastik menumpuk di perairan teluk Menado dan tidak bisa terbuang keluar. “Kondisi ini akan terjadi pula di kawasan pembangunan mega proyek NCICD nantinya, apalgi sampah plastik di teluk jakarta selama ini tidak terurus oleh pemerintah,” katanya.
Soal apa ruginya proyek itu buat warga Jakarta? Armand menganggap reklamasi tidak layak dilanjutkan mengingat tidak menguntungkan dari sisi lingkungan maupun sosial ekonomi. Serta tidak menjawab persoalan banjir dan sangat memperparah kehidupan nelayan yang bergantung pada Teluk Jakarta. “Pembangunan pulau buatan dan tanggul raksasa juga hanya untuk kepentingan bisnis semata.
Nantinya, katanya justru warga Jakarta akan di kepung banjir dan rob karena alur – alur alami air tertahan oleh gundukan pulau – pulau buatan dan tanggul raksasa dan ini memerlukan biaya besar ratusan bahkan trilyunan untuk operasionalnya kelak termasuk pengadaan pompa – pompa air raksasa untuk memompa air dari wilayah dalam ke luar dinding tanggul raksasa.
“Tidak hanya nelayan tapi juga warga Jakarta lainnya akan merasakan dampak berupa banjir , lalu warga Jakarta di kepulauan seribu akan terancam erosi dan abrasi serta menumpuknya sampah pada pantai – pantai mereka karena berubahnya pola pergerakan alami arus laut dan gelombang,” katanya.

Menurut Armand, dasar pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) berdasarkan hasil pembahasan terbaru BAPPENAS, pada 1‐2 September 2012 dalam konsultasi ahli di Pluit, secara ringkas pembangunan NCICD dibagi menjadi 3 fase.

Pertama yakni meliputi perlindungan banjir (penguatan dinding atau dike di pesisir dan sungai serta pompa), perbaikan drainase perkotaan dan upaya memperlambat penurunan muka tanah (land subsidence). Kedua, pembangunan dinding besar (Great Sea Wall atau GSW) di lepas pantai (proyek Garuda), danau resapan air di sebelah dalam GSW. Dan, ketiga pembangunan danau resapan air di sebelah timur Teluk Jakarta dan terhubung dengan proyek garuda.

 

Jangan Sampai Jadi Comberan Raksasa
“Proyek NCICD sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta. Kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis lebih besar. Antara lain ikan di perairan utara Jakarta hilang, mengurangi potensi pariwisata bahari karena laut rusak, abrasi di pesisir Teluk Banten maupun Pantai utara Jawa karena tambang pasir untuk pembuatan pulau buatan,” katanya.
Masih menurut Armand, pembangunan rekalamsi 17 pulau buatan justru menambah parah pencemaran teluk, demikian juga laju sedimentasi di sekitar muara akan bertambah sehingga air limpasan dari debit air sungai dapat menyebabkan banjir karena ada penyumbatan di muara.

Penelitian terbaru van der wulp et al. (2016) yang dipublikasikan pada Marine Pollution Bulletin lanjut Armand, memperlihatkan pembangunan GSW justru menjadi comberan besar jika tidak ada infrastruktur pengolahan air limbah perkotaan.
Dan akan lebih baik apabila pemerintah melakukan revitalisasi semua sungai, kanal dan saluran di wilayah jakarta ketimbang membangun NCICD, membuat lebih banyak sumur – sumur resapan , melakukan moratorium pembangunan mall yang akan memperparah kondisi penurunan tanah karena penggunaan air tanah yang berlebihan oleh mall tersebut.
“Menghentikan sama sekali penggunaan air tanah di seluruh wilayah DKI dan daerah hinterlandnya, membangun rusun – rusun gratis untuk seluruh warga yang bermukim di bantaran sungai agar sungai bisa di perbaiki alur dan kedalamannya serta memperbanyak ruang terbuka hijau sebagai area resapan air  termasuk juga akan lebih baik untuk melakukan rehabilitasi kawasan hutan mangrove yang ada di wilayah DKI, Jawa Barat dan Banten  ketimbang di konversi menjadi lahan pemukiman,” tuturnya.
Soal keluhan, kata Armand, sekarang saja, akibat pembangunan reklamasi 17 pulau sudah sangat merugikan masyarakat di sekitar pesisir Jakarta, Banten dan Jawa Barat apalagi nanti ditambah pula dengan pembangunan mega proyek NCICD. “Karena pembangunan ini  dalam ranah lintas provinsi. Pembangunan yang tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan menjadikan pembangunan ini merugikan banyak aspek, baik lingkungan, sosial dan ekonomi,” katanya.
Selain itu, banyaknya masyarakat yang bergantung pada teluk Jakarta dan terancam terusir sudah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Nelayan teluk Jakarta membutuhkan laut untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan protein ikan untuk masyarakat Jakarta.
“Ini juga bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Justru yang terjadi nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada laut terusir dari pemukimannya,” katanya.
Nelayan muara angke misalnya, Armand mencontohkan, akibat pembangunan 17 pulau reklamasi saja hari ini boleh dikata setiap saat sudah terdampak rob dan banjir apalagi ditambah dengan pembangunan tanggul raksasa nantinya. “Kami yakin mereka akan tambah menderita dan bisa jadi ini adalah unsur kesengajaan, terencana dan sistematis untuk dengan sendirinya mereka pindah dari wilayah tinggalnya atau istilahnya  menggusurkan diri tanpa perlu di gusur pemerintah,” katanya.

Sumber: Gatra

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *