Rahmi Hidayati dan Cerita Para Perempuan yang Suka Berkebaya

Apa yang terlintas di atas kepala bila mendengar kata “kebaya” atau “Kain”? Pasti pikiran langsung tertuju pada perhelatan resmi atau formal atau pun sakral seperti pernikahan, acara resmi kenegaraan, hingga melepas kehidupan perkuliahan atau wisuda yang sangat repot dan menyulitkan untuk dipakai. Tapi siapa bilang kebaya hanya bisa digunakan untuk kegiatan tertentu saja dan merepotkan penggunaannya?

Pemikiran atau stigma tentang inilah yang sedang berusaha dihilangkan oleh sekelompok perempuan, yang tergabung dalam Komunitas Perempuan Berkebaya atau disingkat dengan KPB. Komunitas ini didirikan oleh Rahmi Hidayati bersama ketiga temannya, yakni Kristin Samah, Tuti Marlina, dan Lia Natalia yang mayoritas pernah berprofesi sebagai wartawan.

Rahmi—begitu biasanya ia dipanggil menceritakan kalau komunitasnya yang resmi berdiri pada 2014 ini pertama kali terbentuk karena kebiasaannya berkumpul dengan teman-teman wartawannya dulu saat bertugas meliput di lapangan. Mereka sering mengatur pertemuan untuk melepas rindu dan sering menentukan dresscode pada setiap pertemuannya. Dan tentu saja, dresscode yang mereka tetapkan adalah kebaya dan kain.

“Kumpul-kumpul sering janjian pakai baju kebaya dan kemudian kami pikir kenapa nggak buat komunitas aja. Dan kami buatlah komunitas kami ini. Dan ternyata gayung bersambut. Banyak yang mau ikutan juga,” ujar ibu dua anak ini.

Selain menghilangkan stigma tentang kerepotan menggunakan kebaya, komunitas ini ternyata juga ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk mengenal ragam kebaya yang tak berasal dari Jawa saja dan tidak melupakan identitas busana khas Indonesia yang sangat kental dengan norma kesopanan.

“Padahal pakai kebaya dan kain itu nggak melulu repot lho, lihat saja sekarang sudah banyak model yang modern namun tetap sesuai pakem dan sopan. Dan cara pakai kainnya bisa diakali juga supaya tidak bikin susah jalan. Nggak harus pakai stagen yang ketat itu,” ujarnya.

Ketika ditanya mengapa tertarik mengenakan kebaya, perempuan yang asli kota Payakumbuh, Sumatera Barat ini tak punya alasan rumit. Ia mengaku kalau ia merasa nyaman menggunakannya. Ia merasa kalau jenis pakaian yang satu ini sangat sesuai dengan jati dirinya atau istilahnya “klik” dengan dirinya. Alhasil, berkat rasa nyaman yang agak sulit untuk dijelaskan itu, ia mengenakan kebayanya setiap hari hingga saat ini.

“Beberapa teman saya juga mengenakannya tiap hari. Memang  awalnya saya nggak pakai terus menerus sih, hanya beberapa kali saja dalam seminggu. Lalu lama kelamaan sering, lalu saya pakai setiap hari. Bahkan pas naik paralayang dan naik gunung saya juga pakai kebaya kok,” ceritanya heboh.

Ya, anda tidak salah membaca, Rahmi memang menggunakan kebaya dan kain saat dirinya mendaki gunung dan melakukan olah raga ekstrim paralayang. Hal ini ia lakukan ketika dulu masih tergabung dalam kelompok pecinta alam legendaris di kampus kuning, yaitu Mapala UI.

Bahkan berkat hobinya berolahraga ekstrim sambil mengenakan kebaya itu membuka peluang usaha buatnya. Ya, karena sering berkeringat karena bahan kebaya yang ia pakai, ia pun berinovasi membuat baju kebaya berbahan kaos dan menyerahkan produksinya kepada saudaranya yang memiliki usaha konveksi. Dan tak ia sangka-sangka, usaha sampingannya ini menuai reaksi positif dari teman-temannya. Kata Rahmi, banyak temannya yang memesan kebaya katun kepadanya.

Kebiasaannya menggunakan kebaya setiap hari ini ternyata juga menuntunnya menemukan kejadian-kejadian unik dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam perbincangan melalui telepon sore ini ia mengatakan kalau ia kerap kali mendapatkan pertanyaan dari orang-orang disekitarnya saat mengenakan kebaya diluar kesempatan tertentu. Misalnya, ia sering kali disangka baru saja pulang dari pesta pernikahan, disangka orang jawa yang suka mengenakan kebaya, dan bahkan disangka orang Bali saat berbelanja di pasar Mayestik, Jakarta Selatan.

Akan tetapi pengalamannya itu tak membuatnya jengkel atau pun lelah karena ditanya terus menerus, justru ia malah senang karena orang disekitarnya memerhatikan apa yang ia pakai. Ia bahkan dengan senang hati menjelaskan soal kebayanya dan mengajarkan teknik menggunakan kain agar membuat nyaman si pemakai. Karena buat Rahmi, semakin banyak orang ingin tahu dan belajar mengenakan kain dan kebaya, maka gerakan komunitas ini akan semakin meluas.

“Justru saya senang banyak yang nanya dan belajar. Ini yang juga jadi upaya komunitas, kami mengenalkan kembali ke masyarakat soal identitas pakaian Indonesia asli. Ini lho kebaya selain sosialisasi tahap awal, misalnya Pamer Berkebaya, kami juga masuk ke tahap pengenalan teknik memakai kain, hingga workshop-workshop membatik,” cerita perempuan kelahiran 1968 ini.

Kedepannya Rahmi berharap dapat melancarkan sederetan program pengenalan kebaya kepada masyarakat Indonesia lebih luas lagi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat soal ragam kebaya yang asalnya bukan dari Jawa saja agar warisan budaya kain dan kebaya ini lestari. Dan untuk semakin menggaet pengguna kebaya muda, ia dan teman-temannya dalam komunitas Perempuan Berkebaya sedang berupaya menggaet desainer muda Indonesia yang diharapkan dapat memodifikasi kebaya dan kain agar sesuai dengan gaya anak muda, tetapi tidak mengubah pakem dan tetap mementingkan unsur kesopanan.

 

Dokumentasi: Rahmi Hidayati 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *