Siska Restu Anggraeny Iskandar: Memberdayakan Perempuan Indonesia lewat Literasi Teknologi

Sebagian besar masyarakat masih menganggap profesi IT adalah profesi yang ditekuni oleh kaum adam. Namun, coba buang jauh-jauh pemikiran itu dan ikuti kisah perempuan muda bernama Siska Restu Anggraeny Iskandar. Perempuan asli kota pelajar ini merupakan seorang programmer handal. Bukan itu saja, bahkan ia mendirikan sebuah gerakan bernama PASTI atau Perempuan Sadar Teknologi untuk membagikan ilmunya soal teknologi atau literasi kepada para perempuan, terutama kaum ibu.

Perempuan yang akrab disapa Siska ini menceritakan, gerakan ini resmi ia dirikan pada 2015 saat duduk di bangku semester akhir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Pendiriannya bermula dari ajakan sang ibu kos untuk bergabung dalam kelompok ibu PKK di lingkungan kontrakannya di Nologaten, Sleman, Yogyakarta. Dari situ ia mendapat kesempatan untuk memberikan penyuluhan soal teknologi yang ia pelajari di kampusnya.

“Kelihatannya aneh memang aku ikut PKK karena masih mahasiswa. Tapi ya nggak apa kata ibu kosan ku yang masih muda ini. Di situ aku dikenalkan kalau aku ini kuliah informatika. Dan suatu ketika aku diajak bu kepala dusun Dukuh untuk bikin penyuluhan tentang teknologi kepada ibu-ibu di rumahnya, dan keterusan, aku ajak adik kelasku juga,” jelas perempuan kelahiran 1991 ini.

Bukan hanya fokus memberi ilmu lewat penyuluhan, gerakan ini juga fokus mengajak anak muda, khususnya para perempuan yang memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi untuk berkontribusi pada masyarakat. Hal ini dikatakan Siska punya maksud agar anak-anak muda ini tak hanya pintar dalam bidang yang ia tekuni saja, tetapi juga bersama-sama memberikan dampak sosial kepada masyarakat.

Gerakan ini punya tiga pilar utama yang dibagi berdasarkan sasarannya, yakni ibu rumah tangga, tenaga pengajar atau guru sekolahan, dan calon ibu. Masing-masing pilar ini memiliki materi pengajaran yang berbeda-beda, misalnya, untuk para ibu rumah tangga, PASTI memberikan semua materi yang berkaitan dengan teknologi sederhana, seperti rating televisi hingga membuat tulisan/surat menggunakan laptop.

Sementara untuk para guru, Siska dan teman-teman memberikan materi seputar open source  menggunakan sistem komputer Linux. Dan untuk para calon ibu, PASTI memberikan penyuluhan mengenai teknologi terbaru, pendidikan teknologi untuk anak, hingga HTML 5 atau pembuatan website sederhana.

“Intinya kita edukasi ibu itu supaya sang ibu yang bisa jadi edukator di rumah. Apa yang ia pelajari ini diharapkan bisa memberitahu keluarganya soal batasan-batasan dan dampak negatif teknologi. Ibu-ibu kan di rumah tiap hari dan dekat sama teknologi, tapi sayang mereka selalu ketinggalan,” ujarnya lewat telepon siang ini.

Ya, hal soal tertinggalnya ibu-ibu dalam teknologi. Ini yang sebenarnya juga jadi pendorong Siska dan teman-teman mendirikan PASTI dan menjadikan kaum ibu jadi sasaran dari dampak gerakannya ini. Siska menyoroti betapa sebenarnya teknologi yang berkembang begitu cepat, ternyata sangat dekat dengan para kaum ibu. Namun sayang, mereka justru golongan yang tertinggal karena tak punya waktu untuk mempelajari hal baru atau pun tak ada yang mengajari mereka.

Meski baru berumur 2 tahun, Siska merasa gerakan ini cukup memperluas jaringan pertemanannya yang penting untuk membuka kesempatan baru di masa mendatang. Selain itu ia juga mendapat pelajaran soal kesabaran yang ia dapatkan ketika berinteraksi dengan para ibu rumah tangga dan membimbing mereka menggunakan perangkat teknologi. Selain harus menghadapi lontaran pertanyaan dan cerita panjang dari para ibu, perempuan yang pernah terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi 2013 ini, juga mesti membimbing para ibu dengan perlahan.

“Ibu-ibu ini lucu, lho. Mereka ini nggak bisa kita jelasin sekali, lalu ditinggal gitu aja. Mereka harus kita tongkrongi satu-satu. Maka itu, biasanya saat penyuluhan, jumlah ibu yang ikut harus seimbang dengan pengajar. Dan kalau belajar soal menggunakan laptop, nggak bisa satu sesi,” tukas perempuan yang lahir di Ciamis ini.

Lewat pembicaraan telepon ini Siska juga menceritakan bahwa gerakan ini cukup memberikan tantangan buatnya. Tantangan itu ialah soal konsistensi dan ide materi pengajaran yang akan diberikan kepada para ibu.  Siska harus pintar-pintar mengatur waktunya memberikan penyuluhan dan pengajaran kepada para ibu, pasalnya ia musti mengurusi kesibukannya yang lain, yakni menjadi Corporate Relations di perusahaan Startup bernama Maliome. Dan hal ini membuatnya hanya punya waktu di akhir pekan saja.

Hal lainnya adalah soal ide materi pengajaran. Kata perempuan yang punya hobi membaca buku dan menonton serial Sherlock Holmes ini, ia dan teman-temannya terkadang mesti putar otak untuk mencari ide soal materi apa yang cocok dan dapat diterima dengan mudah oleh para ibu. Pemilihan materi ini tak boleh sembarangan katanya.

Mungkin sedari awal sebagian orang banyak bertanya mengapa sosok perempuan ini senang masuk dan ‘mengobok-ngobok’ dunia dari profesi yang masih dianggap maskulin ini. Sambil tertawa Siska mengatakan kalau ia suka dengan dunia teknologi dan informasi ini yang sebenarnya sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Dan katanya, ini berkat penetrasi teknologi yang dini di dalam keluarganya.

Tambah Siska, “Dulu SMP, ayah sudah membelikan laptop. Jadi belajar soal teknologi itu sudah dari awal sekali. Lalu aku SMK ambil teknik komputer dan kemudian kuliah lanjut ambil Teknik Informatika. Susah? Enggak sih. Semua pekerjaan itu pasti ada kesulitannya masing-masing.”

Ya, itulah yang dikatakan Siska, semua pekerjaan itu punya tantangan dan kesulitannya masing-masing, tergantung bagaimana masing-masing pribadi menanggapi dan mengatasi hal itu. Ketika ditanya soal tantangan dalam profesinya yang belum begitu banyak digeluti wanita ini, ia menjawab bahwa tantangan itu soal ide dan inovasi baru. Pasalnya dalam dunia teknologi dan informasi, inovasi terbaru akan terus muncul tiap menit bahkan detiknya.

Bukan hanya tantangan dalam inovasi di dunia teknologi yang dinamis, Siska juga mesti menghadapi stigma soal profesi yang ia tekuni ini. Katanya, kebanyakan orang dan beberapa anggota keluarganya masih belum paham soal pekerjaan di bidang IT, maka itu Siska harus sabar menjelaskan dengan cara sederhana.

Ceritanya diiringi tawa kecil, “Masih aja ada yang menganggap ini tukang komputer yang bisa membenarkan komputer, padahal nggak cuma itu. Aku jelasinnya gini, bapak/ibu tahu android kan? Nah itu didalamnya ada aplikasi, itu aku bikin-bikin aplikasi itu.”

Anak dari 3 bersaudara ini berharap gerakan yang sudah cukup memberikan dampak kepada para ibu ini bisa bertahan dan memberikan edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat soal teknologi, terutama para perempuan dan kaum ibu. ia juga berharap makin bisa menggerakan anak-anak muda, terutama kaum perempuan untuk peduli memberikan social impact.  Dan terakhir, ia juga berharap kalau kedepannya semakin banyak perempuan yang berkecimpung di dunia IT.

“Dampaknya sudah cukup membuat para ibu ini kritis sekarang. Pokoknya yang perlu diingat kalau mengajari itu yang penting logika mereka dulu jalan, bila sudah pasti akan gampang di ajarkan dan cepat paham,” lengkapnya.

Dokumentasi: Siska Restu Anggraeny Iskandar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *