Waktu menunjuukan pukul 22.00, suara musik mendayu-dayu terdengar dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (20/3/2017). Di tempat itulah para petani dari Pegunungan Kendeng bermalam sambil dihibur permainan musik Sanggar Ciliwung.
Sejak Senin (13/3/2017) mereka mengecor kaki. Dengan terbitnya izin tersebut kegiatan penambangan karst PT. Semen Indonesia di Rembang masih tetap berjalan. Mereka meminta bertemu kembali dengan Presiden Joko Widodo.
Selain itu, mereka juga meminta Presiden Jokowi mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan menghentikan kegiatan penambangan karst oleh pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan.
Jumlah pengecor kaki bertambah
Karyadi (41), petani asal Desa Durensawit, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, duduk di depan ruang Mochtar Lubis sambil mengunyah biskuit. Rasa kantuk belum menghampirinya.
Ia merupakan peserta aksi mengecor kaki yang datang gelombang kedua. Selasa (16/3/2017) sore, Karyadi datang ke Jakarta untuk aksi pada Rabu siang.
Beberapa petani menaiki lori untuk menuju toilet. Dengan kaki dicor semen, mereka tentu tidak bisa jalan sendiri.
Karyadi mengaku kecewa atas pertemuan dengan Kepala Staf Presiden Teten Masduki. Dari pertemuan itu tidak ada penegasan izin operasional PT Semen Indonesia akan dicabut.
“Kecewa tapi karena belum bisa mutuskan ya. Kami pengennya Pak Joko Widodo. Sudah sering kok dikecewakan. Ada keputusan macam itu enggak kaget. Aksi setiap hari sampai pabrik semen ditutup,” kata Karyadi di LBH Jakarta, Senin (20/3/2017) malam.
Untuk menghibur para petani Kendeng, Sanggar Ciliwung bernyanyi bersama dengan petani Kendeng. Dari lagu Cucak Rowo hingga, Bongkar karya Iwan Fals dinyanyikan bersama.
Karyadi menghibur diri dengan membaca puisi ciptaannya yang berjudul “Negeriku Mana”. Puisi itu bercerita tentang harapan negeri yang subur dan tenteram namun hal yang terjadi justru sebaliknya.
“Negeriku mana”
Negeriku mana yang bermandi mutu manikan, bersolek kesuburan, berjubah kemakmuran, gemah ripah loh jinawe
Negeriku mana yang adem ayem toto titi tentrem karto raharjo
Negeriku mana yang mengangkat pedang keadilan tinggi-tinggi
Satu Nusa, akan dijadikannya Nusa Kambangan
Satu bangsa, bangsa para pemakan tanah, peminum darah sesama
Satu bahasa, bahasa para penjilat rakyat.
Negeri bermandikan darah. Bersolek kemunafikan, berjubah kehancuran.
Nusa bangsa bahasa porak poranda binasa segala.
“Kalau tidak menghibur diri, klangut, pikiran kosong tidak ceria. Baca puisi selain menghibur diri juga ingatkan saya sendiri dan teman-teman lain,” ucap Karyadi.
Pria ini mengaku senang dengan segala hal tentang seni sejak di bangku Sekolah Dasar. Dia mengagumi WS Rendra dan Chairil Anwar.
Menurut Karyadi, para petani Kendeng sering menembang bersama. Sebelum aksi, misalnya, lagu Indonesia Raya ditembang bersama.
Menembang bersama juga dilakukan saat aksi long march dari Kecamatan Tambakromo hingga alun-alun di Kabupaten Pati awal Mei 2016 lalu. Mereka menolak pendirian pabrik PT Indocement.
“Ibu Bumi wis maringi (ibu bumi sudah memberi) Ibu bumi dilarani ( ibu bumi disakiti) Ibu bumi kangadili (ibu bumi sendiri yang akan mengadili)”
Lirik tembang itu dibuat oleh Gunretno, dari komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami kawasan Kendeng utara. Kini, lirik itu tercatat di kotak semen di kaki sebelah kiri petani Kendeng. Karyadi mengaku tidak khawatir dengan kondisi keluarganya di Pati.
Ia mengatakan keluarganya merelakan kepergiannya ke Jakarta untuk menolak operasional pabrik semen.
“Mereka merelakan supaya berhasil semen tadi jadi di Pegunungan Kendeng. Kayaknya orang berangkat perang. Kalau di film kayak mau berangkat perang lawan penjajah,” ucap Karyadi.
Karyadi menuturkan, ia menggunakan uang hasil panen untuk berangkat ke Jakarta. Di Pati, ia menanam padi, jagung, singkong. Dengan hasil panen, ia tidak khawatir atas kehidupan keluarganya di Pati.
“Kalau enggak ada uang langsung bisa jual ayam. Dengan kesederhanaan tapi merasa cukup. Karena serba ada. Paling tinggal lauk yang tidak ada. Bisa jual singkong, jagung. Jadi aman. Tidak masalah,” ujar Karyadi.
Sumber: Kompas