Komunitas Bale Istri dibentuk untuk mendorong kesehatan reproduksi perempuan, pencegahan kekerasan domestik, serta pemberdayaan ekonomi perempuan.
Perempuan kerap dianggap sebagai kaum yang rentan mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Meskipun begitu, faktor budaya kerap menomorduakan perempuan dalam hak mendapatkan pendidikan maupun informasi.
Namun, itu tidak berlaku bagi anggota Bale Istri, sebuah komunitas yang terdiri atas para ibu rumah tangga di pedesaan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bersama-sama mereka bergerak dalam isu hak kesehatan reproduksi, pencegahan kekerasan domestik, hingga pemberdayaan ekonomi.
Berawal dari rombongan kecil ibu-ibu dari Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, pada 2007, komunitas itu kini tersebar di enam kecamatan dengan anggota mencapai 320 orang. Nama organisasi tersebut sekaligus menjadi filosofi utama, yakni Bale Istri, yang jika diterjemahkan bebas dari bahasa Sunda menjadi “tempat berteduh bagi perempuan”.
Dua tahun lalu adalah masa yang berat bagi Aas Siti Aminah (25), ibu dengan satu anak berusia tujuh bulan bernama Asep Akil Maulana. Warga Paseh ini menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya, berupa penelantaran ekonomi dan sesekali kekerasan fisik berupa pemukulan.
Meski hatinya pedih dan badannya sakit, Aas sangat bergantung pada uang kiriman suaminya yang bekerja di Sukabumi. Kelahiran anaknya membuat posisinya lebih sulit.
Nasib yang nyaris serupa bahkan menimpa adik kandungnya, Cucu Rosmati (21). Dia ditelantarkan suaminya yang bekerja di luar kota, padahal Cucu harus mengasuh anaknya yang masih berusia lima bulan.
Namun, kisah pilu itu terbenam setahun lalu, terutama setelah Aas diajak terlibat dalam kegiatan Bale Istri. Di sana dia diberi dorongan moral oleh para anggota yang sebagian merupakan tetangganya. Beban Aas sedikit terobati saat dia bisa mencurahkan beban hidupnya kepada orang lain.
Aas juga mendapatkan pendidikan keterampilan kewirausahaan. Dia memilih berjualan pakaian keliling untuk mencukupi kebutuhannya secara mandiri. Tidak lama setelah Aas bergabung, Cucu mengikuti langkahnya, berjualan pakaian keliling bersama Aas.
Saat ditemui akhir Februari lalu, Aas dan Cucu bukanlah perempuan pemurung sebagaimana layaknya kebanyakan korban KDRT. Keduanya berbaur dengan anggota Bale Istri lainnya tanpa canggung. Ditanya mengenai hubungan dengan suaminya, kedua perempuan itu memilih menutup kisah pernikahan masing-masing karena menangkap gelagat dari suami yang tidak mau berubah.
Kasus Aas dan Cucu merupakan kasus yang jamak ditemukan dalam masyarakat di Kabupaten Bandung. Selain berada dalam lingkungan yang paternalistik, tingkat pendidikan yang umumnya hanya lulusan sekolah dasar serta tingkat kesejahteraan rendah bagai pendorong kaum perempuan yang semakin termarjinalkan.
Menurut data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, kasus KDRT di Jabar tahun 2009 yang dilaporkan sebanyak 61 kasus. Namun, jumlah itu tidak pernah klop dengan data LSM yang bisa lebih dari 100 kasus pada rentang waktu yang sama.
Bale Istri yang tersebar di enam kecamatan masing-masing melaporkan pernah menemukan kasus KDRT. Kasus itu tidak selalu berakhir dengan perpisahan, tidak jarang pula pasangan itu bisa rukun kembali setelah mendapat pendampingan dari ibu-ibu Bale Istri.
“Ceritanya juga tidak selamanya mulus. Pernah ada ibu yang meminta perlindungan kepada kami dari suaminya yang mengejar sambil mengacungkan parang,” kata Yeni, anggota Bale Istri dari Kecamatan Pacet.
Pemberdayaan
Agah Suyiganati (53), yang menjadi anggota Bale Istri sejak pertama kali terbentuk, mengatakan, inisiatif pembentukan komunitas itu datang dari LSM Sapa Institut yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan pencegahan KDRT. Semula, Agah bersama ibu-ibu lainnya mencurigai maksud LSM tersebut. Setelah bertemu dan bertukar pendapat, barulah Agah sepakat dan justru aktif mengajak para ibu di lingkungannya bergabung.
Kini, anggota komunitas Bale Istri tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Bandung. Bukan hanya para ibu, kini sejumlah kaum lelaki juga ikut tergabung meski tidak berujung pada penggantian nama Bale Istri.
Agenda anggota Bale Istri adalah mendata ibu hamil dan anak balita serta mendampinginya hingga proses persalinan selesai. Pendampingan bukanlah masalah sepele karena para ibu umumnya berasal dari kalangan tidak mampu dan tingkat pendidikan paling tinggi sekolah menengah pertama. Umumnya, anggota juga harus pintar bernegosiasi dengan puskesmas ataupun apotek untuk mendapatkan obat-obatan bagi ibu dengan harga terjangkau.
Selain pendampingan bagi ibu hamil, para ibu juga mendampingi korban KDRT di sekitar mereka. Tantangan yang paling utama adalah mengidentifikasikan kasus KDRT, kekerasan domestik jarang tersiar hingga keluar rumah sehingga para anggota mengandalkan selentingan kabar. Apabila sudah dipastikan ada, biasanya anggota yang merupakan tetangga terdekat paling aktif berperan untuk mengajak korban kekerasan domestik untuk terlibat kegiatan Bale Istri.
Dalam empat bulan terakhir, pemberdayaan ekonomi mulai dilakoni komunitas tersebut. Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, para ibu belajar keterampilan mengolah limbah plastik untuk diolah kembali menjadi barang yang bisa dijual. Misalnya, bungkus kopi dibuat menjadi dompet dan dijual dengan harga Rp 30.000. Satu buah dompet bisa diselesaikan dalam waktu sebulan.
Kini, sebagian ibu memiliki kencleng atau kotak untuk menabung dengan jumlah sukarela. Dalam dua minggu, kencleng itu dikumpulkan guna dipakai untuk modal bersama dalam bentuk koperasi. Sebagian uang tersebut juga digunakan untuk memberdayakan perempuan yang menjadi korban KDRT.
Kisah kaum miskin
Pendampingan kaum ibu di Bale Istri kepada para ibu yang melahirkan membuat mereka menjadi saksi atas diskriminasi pemerintah kepada kaum perempuan, terutama yang berasal dari kalangan miskin. Ditambah dengan buruknya infrastruktur, lengkap sudah penderitaan kaum miskin perempuan di Kabupaten Bandung.
Mendapatkan pelayanan yang judes dari tenaga administrasi puskesmas ataupun rumah sakit bukanlah kejadian aneh. Panjangnya rantai birokrasi dan administrasi demi mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah bagai santapan sehari-hari. Biaya transportasi seolah bukan komponen yang diperhitungkan dalam program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin.
Anggota Bale Istri dari Arjasari, Neneng, berkisah, dia pernah mengantarkan ibu melahirkan ke sebuah rumah sakit bersalin di Kota Bandung. Namun, dia ditolak dan diminta kembali ke Rumah Sakit Soreang, Kabupaten Bandung, hanya karena tidak menerima program Jaminan Kesehatan Masyarakat. â€Akhirnya ibu tersebut pulang naik angkot dengan selang infus yang masih tertancap di lengannya,†katanya.
Lain lagi penuturan Titin yang berasal dari Pangalengan. Buruknya infrastruktur di Desa Pulosari, Pangalengan, sangat menyiksa ibu hamil. Sewaktu dia mengantar seorang ibu hamil dari Pangalengan ke Rumah Sakit Soreang, si ibu keburu melahirkan di tengah perjalanan.
Itulah sebagian gambaran dari daerah yang memiliki angka kematian ibu (AKI) yang cukup mencolok. AKI Jabar adalah 228 orang per 100.000 kelahiran hidup, berarti ada 228 ibu yang meninggal dari 100.000 persalinan. Jumlah itu menempatkan Jabar, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat sebagai provinsi dengan AKI tertinggi di Indonesia.
Pakar Pusat Studi Wanita Universitas Islam Bandung, Atie Rachmiatie, menuturkan, Jabar perlu menyelesaikan permasalahan perempuan dengan komprehensif dan melibatkan semua sektor yang berkepentingan. Kebutuhan perempuan tidak melulu hanya di sektor kesehatan, tetapi juga infrastruktur jalan hingga pemberdayaan ekonomi. Masyarakat sendiri juga harus mengembangkan kemandirian agar tidak selalu bermental tangan di bawah atau menanti uluran tangan dari pemerintah.
Dengan kondisi yang begitu berat, anggota Bale Istri bekerja tanpa mendapatkan penghargaan yang sepantasnya dari pemerintah. Bukannya ciut, anggotanya terus bekerja tanpa pamrih. “Naluri, Cep! Nilai kemanusiaan yang membuat kami terus bekerja,” ujar seorang anggota dari Ciparay bernama Lala. (Didit Putra Erlangga Rahardjo).
Sumber: Sapa Institut