Menulis bukan sekadar mencatat, tapi juga bagian untuk menumpahkan isi hati atau perasaan dalam sebuah catatan. Dan tidak semua orang bisa menulis, tentulah satu penulisnya terutama kaum wanita.
Berangkat ingin memberikan ruang ekspresi bagi perempuan untuk menulis, beberapa perempuan dari Bandung membuat Sekolah Perempuan. Sekolah yang didirikan tanggal 17 Agustus 2013, ini memang berawal dari komunitas media sosial yang bernama Ibu Doyan Nulis.
“Kami ingin membuat wadah yang serius dan berani nulis, dan juga bisa memberi manfaatnya bagi perempuan.Sekolah Perempuan memang hanya untuk perempuan dan pria tidak boleh ikut,” ujar Indardi Mastuti, salah satu pendiri sekolah tersebut. Pendiri Sekolah ini, selain Indardi Mastuti juga ada Anna Farida.
Menurutnya, Sekolah Perempuan ini untuk pemberdayaan perempuan terutama untuk menulis. Profesi penulis memang sangat cocok bagi ibu rumah tangga karena dapat dilakukan di mana saja, termasuk di rumah sembari mengurus keluarga.
Selain itu, jika sesama perempuan berkumpul tentu lebih menyambung isi komunikasinya. Sekaligus menambah teman perempuan bagi perempuan itu sendiri.
“Tujuan dari Sekolah Perempuan adalah mewujudkan 1 juta buku dari penulis perempuan,” ujar Indardi Mastuti.
Karena Sekolah Perempuan ini dideskripsikan sebagai wadah bagi perempuan untuk belajar menulis dengan target menyelesaikan satu naskah buku yang siap terbit dengan masa belajar 3 bulan.
Dalam kurun waktu tersebut, diajarkan dengan tatap muka dan jarak jauh melalui online dengan metode pendampingan. Jadi setiap peserta akan dipandu oleh mentor atau pengajar yang memang pakar dalam bidangnya sebagai seorang penulis.
Saat ini, Sekolah Perempuan sudah masuk di angkatan ke-13. Masing-masing angkatan terdapat sekitar 20-35 peserta dan dibatasi hanya 40 peserta dengan masa belajar selama tiga bulan.
Setiap angkatan ini akan dibimbing 4 mentor masing masing Anna Farida, Julie Nava, Indari Mastuti dan Ida Fauziah.
Khusus untuk kelas online biasanya dilakukan dua kali dalam seminggu, dan dilakukan pukul 20.00 – 22.00
“Karena pada jam-jam tersebut, banyak waktu luang untuk perempuan,” ujar Indari.
Secara struktural Sekolah Perempuan ini dibina oleh Dina Sudjana yang pernah membidani kelahiran LPPOM MUI Jawa Barat.
Setelah lulus, para alumni masih disatukan dalam grup media sosial sehingga dapat saling memotivasi, saling belajar, hingga tetap menjaring pertemanan.
Di grup ini, tidak ada istilah guru atau murid tapi sama-sama menyelami dunia penulisan. Sesekali, mendatangkan penulis untuk sharing di grup tersebut.
“Sekarang ini sudah banyak buku-buku karya dari Sekolah Perempuan ini,” ujar Indardi Mastuti.
Terapi
Ternyata menulis bukan cuma mencurahkan perasaan ke dalam tulisan tapi juga sebuah terapi. Seperti yang dikatakan Retno, salah satu peserta Sekolah Perempuan,yang ingin keluar dari persoalan hidupnya.
Dengan menulis ia jadikan terapi untuk kehidupannya dan mengembangkan semangat hidupnya.
Dengan nama pena Enno Ariestha, berusaha dengan penuh semangat untuk merampungkan sebuah buku tentang sebuah ketrampilan. “Menulis memang susah. Tapi ini sebuah keasyikan tersendiri,” ujar Retno.
Begitupula dengan Siti Suparti seorang dokter dan dosen yang berusia 73 tahun.Di masa tuanya, ia tergerak dan tertantang untuk menulis. “Saya ingin berbagi ilmu dan memberikan manfaat,” ujar Siti.
Nah bagi perempuan yang berani nulis? Datang saja ke Bandung dan ikut saja Sekolah Perempuan.
Sumber: Sakinah