Bersama Komunitas Ini, Kita Tangkal Berita Hoax!

Kita sadari atau tidak, sejak memasuki Pilpres 2014, masyarakat Indonesia ‘terpecah’ menjadi dua kubu. Meski sudah lewat hampir tiga tahun lalu, perpecahan tersebut masih terasa bahkan semakin meruncing kala memasuki putaran Pilkada DKI Jakarta baru-baru ini.

“Dulu kita berharap setelah pilpres,  berakhirlah perpecahan tersebut, nyatanya tidak dan malah berlanjut. Pilpresnya sudah tidak ada tetapi penggunaan fitnah, penggunaan hoax masih berlanjut, malah semakin besar,” terang Duta Anti Fitnah Indonesia, Anita Wahid dari Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia kepada suara.com.

Sekitar 2014, muncul komunitas-komunitas kecil yang bergerak di bidang pemberantasan berita palsu dan berpikir bagaimana caranya agar bangsa Indonesia kembali ‘bersih’ seperti sediakala.

“Ketika mereka melihat hoax, (komunitas-komunitas kecil antifitnah) mereka mencari verifikasinya dan kemudian mereka unggah di laman komunitas masing-masing,” jelasnya.

Sampai akhirnya, pada penghujung 2016, sekelompok komunitas kecil tersebut bergabung dan melebur menjadi satu dan membentuk kekuatan baru bernama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang disingkat MAFINDO, dengan slogan ikonik mereka #TurnBackHoax.

“Kita bikin aja Masyarakat Anti Fitnah, kita kolaborasi bareng-bareng, kita ajak orang lain yang tak melulu bergelut di dunia online atau sosial media. Dari situ lahir Masyarakat Anti Fitnah Indonesia,” tambah Anita.

Pengikutnya Ribuan di Indonesia
MAFINDO kini tumbuh menjadi gerakan sosial yang memiliki pengikut ribuan di seluruh Indonesia. Komunitas ini sadar jika kehadirannya tak melulu harus bergerak di dunia online, tetapi juga harus berkontribusi langsung melakukan gerakan offline yang beragam.

“Kami banyak bikin gerakan-gerakan, program-program, kami mulai mengajak kelompok-kelompok yang satu visi dengan kami di daerah masing-masing dan bergerak di daerah sendiri-sendiri,” jelas Anita.

Selain itu, MAFINDO juga kerap melakukan audiensi dan pertemuan dengan pemuka agama, pemimpin daerah serta public figure yang berpengaruh di Indonesia. Sadar jika anak muda merupakan sasaran empuk para penyebar berita palsu, MAFINDO turut bergerilya melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah dan pesantren.

“Yang kami sasar sebenarnya adalah memberikan banyak pendidikan ke semakin banyak orang mengenai bagaimana hoax dan mendeteksi hoax sehingga masyarakat tidak sembarangan lagi main meneruskan informasi yang sebenarnya tidak benar,” jelasnya.

Penyebaran informasi fitnah atau palsu cenderung akan membuat pembacanya untuk membenci seseorang atau sesuatu. Dalam sebuah informasi sesat sendiri, ada beberapa kategori semisal hoax, fitnah, ujaran kebencian atau hanya sekadar misleading.

Maka dari itu, MAFINDO memberi beberapa kategori dalam membedakan suatu informasi yang tersebar. “Jika masuk ke fanbook MAFINDO, biasanya setelah verifikasi akan ada kategori apakah hoax, fitnah atau misleading saja. Jadi tak selalu hoax,” jelas Anita merinci.

Setahun lebih berkecimpung sebagai salah satu Duta Anti Hoax, Anita menilai masyarakat Indonesia sebenarnya sangat mudah untuk diajak memahami bahwa hoax merupakan sesuatu yang berbahaya dan harus berhati-hati. Tetapi, menurutnya yang sulit adalah mempertahankan konsistensi untuk mau melakukan verifikasi informasi.

“Ada beberapa faktor penyebabnya, salah satunya, orang Indonesia itu ‘irit quota’ dalam artian hanya baca headline, lalu langsung disebar dan berpikiran bahwa hal tersebut benar,” terangnya.

Hoax Adalah Masalah Bersama
Hal lain yang membuat orang Indonesia mudah percaya hoax dan cenderung sulit terlepas dari paparan informasi sesat, menurut Anita dan komunitas MAFINDO adalah, rendahnya tingkat literasi atau membaca termasuk literasi internet.

“Jadi ini mempengaruhi masyarakat kita untuk memverifikasi berita. Jadi tidak ada dorongan untuk mau memverifikasi berita. Boro-boro, baca aja malas,” kata Anita.

Kemudian hal lain yang mempengaruhi penyebaran hoax adalah adanya tendensi polarisasi agama serta politik besar-besaran di Indonesia dan sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu namun semakin meruncing selama lima tahun ke belakang ini. “Itu juga berpengaruh bagaimana masyarakat melihat hoax,” tandasnya.

Meski begitu, Anita sadar jika hoax adalah masalah bersama dan ada di seluruh dunia. Hanya saja, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penyebaran berita palsu yang cukup tinggi.

“Saya melihat secara pribadi, dari satu sampai sepuluh, kita diangka sembilan,” imbuhnya.

Bukan hanya perang opini di media sosial, Anita melihat hoax juga telah memakan banyak energi dengan beberapa kasus nyata di mana orang sudah tak saling sapa meski telah mengenal lama, karena termakan hoax.

“Bahkan kemarin ada orang di bakar karena isu penculikan anak yang ramai,” katanya lagi.

Medsos Jadi Media Penyebaran Hoax
Ada dua platfrom yang paling banyak dijadikan medium penyebaran hoax yaitu, Facebook dan Twitter. Di dua  platfrom tersebut, penyebaran hoax semakin subur, karena ada interaksi langsung dari orang-orang yang sebenarnya tidak saling mengenal.

Meski demikian, Anita merasa menutup dua platfrom tersebut tidak akan memberikan solusi. “Bukan  tentang menutup, karena kalau ditutup, orang-orang akan mempergunakan metode lain (untuk menyebarkan hoax),” imbuhnya.

Sayangnya, sebuah informasi sesat dapat mempengaruhi siapa saja. Anita mengatakan tidak ada satu orang pun di dunia yang imun terhadap hoax. “Kita tidak lagi bicara tentang umur atau level pendidikan,” tandasnya.

Malahan, Anita melihat adanya gegar budaya di kalangan masyarakat yang berusia di atas 45 tahun. Mereka, lanjut dia, rentan terpapar hoax karena terbiasa membaca media cetak yang kredibel.

“Dulu apapun yang mereka baca dan tercetak di media itu (isinya) benar, kini mereka menerapkan pola yang sama pada informasi yang tersebar di media sosial dan aplikasi pesan,” jelasnya.

MAFINDO sendiri melihat ada lima alasan mengapa seseorang menyebarkan hoax. Lima alasan tersebut adalah uang, ideologi, politik, kebencian dan iseng. Melalui platfrom www.turnbackhoax.id, Anita bersama MAFINDO berharap masyarakat mau ikut memverifikasi dan mencari tahu tentang kebenaran suatu informasi.

Ia juga berpesan bangsa Indonesia yang telah diberkahi kemerdekaan harus lebih waspada dan bijaksana dalam menanggapi sebuah informasi.

“Kemerdekaan bukan berarti kita bebas melakukan apa saja, tapi juga ada tanggung jawab. Sama juga dengan bermedia sosial, perlu tanggung jawab. Jangan mudah menyebarkan berita, selalu cek terlebih dahulu,” tutup Anita berpesan.

Sumber: Suara.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *