Komunitas Relawan Independen (KRI); Dari Para Pengusaha Hingga Tunadaksa

Berawal dari bencana gempa bumi yang mengguncang Bantul dan sekitarnya pada 2006, komunitas ini terbentuk. Selesai bencana, hanya tersisa delapan orang yang aktif. Tapi sekarang anggota relawan menjamur.

Mereka yang tetap aktif itu sama-sama berasal dari Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Berselang hampir empat tahun setelah gempa, giliran Gunung Merapi meletus.

”Sewaktu gempa di Bantul, kami berniat memberi nama Komunitas Relawan Bantul. Kemudian saat erupsi Merapi kami menggantinya dengan Komunitas Relawan Merapi. Tapi setelah dipikir-pikir kami menetapkan nama Komunitas Relawan Independen (KRI). Komunitas ini sudah diakui karena sudah berbadan hukum,” urai salah seorang pendiri KRI Untung kemarin (29/7).

Relawan yang tadinya hanya beranggotakan delapan orang warga Boyolali, saat ini bertambah banyak. Mulai dari warga Eks Karesidenan Surakarta, Pati, Rembang, Blora, Surabaya, Cirebon, Kediri, Indramayu, Bekasi, Wonosobo,  Salatiga, Cirebon, dan  Indramayu.

Yang menjadikan KRI beda, mereka memiliki kegiatan yang menjadi ciri khas. ”Di kawasan Pantura identik dengan konservasi mangrove. Di wilayah Cirebon dengan penangkaran kura-kura Belawa. Di Boyolali khususnya Selo dengan penghijauan. Untuk Bekasi dan Surabaya kegiatan yang menjadi andalan adalah penanggulangan banjir,” tuturnya.

Aktivitas KRI tidak didanai donatur tetap. Mereka bergerak hasil urunan dan ider tampah dari anggota komunitas yang rutin berkumpul. Begitu pula saat terjadi bencana. Ada yang hanya mengirimkan nasi bungkus atau uang, KRI siap menampung.

”Jalannya KRI hanya dari iuran anggota secara keikhlasan. Bahkan saat tercetus ide iuran rutin dengan nominal tertentu, juga tidak jalan. Sebab anggota kami beragam,” papar Untung.

Anggota KRI, lanjut Untung, mulai dari anak sekolah, tukang becak, mahasiswa, penjual hik, hingga pengusaha. Mereka memiliki kesamaan visi dan misi yakni membantu sesama ketika terjadi bencana.

Bantuan tersebut tidak hanya diberikan sehari dua hari. Ketika gunung Kelud meletus, sebanyak 350 anggota KRI, berbulan-bulan membantu di lapangan. Begitu pula ketika erupsi gunung Sinabung yang terjadi lebih dari satu tahun, KRI mengirimkan relawannya.

”Tapi ya tidak sebanyak di Kelud. Sebab lokasinya jauh dan waktunya lebih dari satu tahun. Makanya kami gunakan sistem rolling bagi mereka yang bersedia berangkat,” ucapnya.

Pascabencana, peran KRI tak berhenti. Mereka juga melakukan trauma healing pasca terjadi bencana. Setelah semuanya baik-baik saja, apakah kegiatan sosial ikut berhenti? Tidak. Mereka terus bergerak seperti memberikan bantuan seragam sekolah ke panti asuhan, sembako untuk warga tidak mampu, hingga evakuasi jika ada pohon tumbang.

”Semua kegiatan relawan kami lakukan. Kalau SAR (Search and Rescue) identik dengan kebencanaan saja. Tapi kalau relawan ini kan dalam semua kegiatan, menolong dalam segala hal,” kata Untung.

Menariknya lagi, ikut aktif sebagai anggota KRI para difabel. Ada yang tunarungu dan tunadaksa. Mereka membantu sesuai dengan kemampuan. Salah satunya mahir di bidang trauma healing.

Ketua Umum KRI Mario berharap komunitas nonprofit tersebut tetap eksis dan para anggotanya terus bertambah untuk menolong orang. ”Tentunya bisa menambah sedulur juga. Tujuan kita baik, harapannya bisa selalu diuri-uri,” pungkasnya.

Sumber: JAWAPOS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *