44 tahun lamanya hidup di dunia, Agustian tidak pernah lupa kata-kata dari almarhumah ibunya soal harapan untuk sang anak saat mereka beranjak dewasa. Kata Agus, Emak (panggilan sang bunda) dulu pernah berucap kalau ia ingin ingin anaknya menjadi seorang guru yang punya kewajiban untuk berbagi ilmu dan mencerdaskan orang lain.
Perkataan sang Emak tak ia lupakan dan lantas membuatnya semangat mendekatkan diri dengan dunia pendidikan. Ia pun tumbuh dengan kegemaran belajar dan mengajar. Kegemarannya ini kemudian menuntunnya mendirikan Sekolah Raya, sebuah gerakan pendidikan alternatif berbasis alam dan budaya. Sekolah ini fokus memberikan pendidikan kepada kaum marjinal dan dhuafa.
Sekolah Raya diceritakan pria yang akrab dipanggil Agus ini bermula dari pendirian sebuah sekolah alam untuk kaum dhuafa pada 2006 silam dengan nama “Sekolah Alam Anak Soleh”. Sekolah ini berdiri atas kepedulian dan kesadarannya akan nasib dan perubahan kaum marjinal di Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat, lingkungan tempat tinggalnya.
Ia kala itu tak mau tinggal diam mengamini kenyataan dan mulai mengambil langkah kecil untuk membuat perubahan pertamanya dengan mendirikan Taman Kanak-kanak dan kemudian diikuti dengan pendirian Sekolah Dasar. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada 2014 lalu, setelah berhasil meluluskan tiga angkatan kelulusan, Agus memutuskan mendirikan Sekolah Raya.
Sekolah ini bukan sebuah sekolah baru atau institusi baru yang memilki gedung untuk aktivitas belajar, melainkan sebagai wadah penghubung atau hub atau jejaring afiliasi dari beberapa sekolah umum, utama pendidikan, sanggar belajar, pondok pesantren maupun padepokan di sejumlah daerah di Indonesia. Didalamnya terdapat banyak relawan dengan kepedulian yang sama akan pendidikan menerapkan desain kurikulum berdasar pada alam dan budaya.
Tambah Agus, “Sekolah ini hadir pedesaan dan hadir bagi kaum urban yang termarjinalkan. Dan sekolah ini ada untuk membuka akses pendidikan yang berisikan kurikulum baru yang memudahkan anak-anak marjinal menyerapnya, tidak seperti ilmu yang disampaikan di sekolah-sekolah pada umumnya.”
Pendidikan yang diberikan sekolah Raya ini disebut pendidikan tematik bukan pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan ini dikatakan Agus sangat berbeda dari pendidikan yang diberikan di sekolah umum. Coba tengok saja sejumlah pelajaran yang diberikan, mulai dari Fotografi Lubang Jarum, Coding, Tumbuh Bersama, dan Fertigasi. Memang kedengarannya nama-nama pelajaran itu tak familiar di telinga, namun ternyata ada pelajaran penting yang diselipkan didalamnya.
Mari telaah beberapa pelajarannya, mulai dari pelajaran Fotografi Lubang Jarum. Selain mengajarkan skill fotografi, pelajaran ini juga dapat memberikan pendidikan karakter kepada anak didik, pasalnya mereka diajarkan proses pembuatan kamera ini dari nol, mulai dari mengukur jarak objek, besar jumlah cahaya yang masuk dan proses kimiawi dengan larutan kimia.
“membuat KLJ atau Kamera Lubang Jarum ini secara tidak langsung mengajarkan anak belajar matematika, fisika, dan kimia, serta olah rasa melalui seni pengambilan gambar. Pendidikan karakter juga ditumbuhkan karena anak didik mengikuti proses pembuatan KLJ dari awal,” ujar Agus lewat tulisan tentang Sekolah Raya yang ia kirimkan lewat surel.
Pelajaran selanjutnya adalah Fertigasi. Pelajaran ini menyampaikan materi berupa teknik dan praktik menanam hidroponik tetes atau teknik penanaman dengan pengarian tetes. Bukan tanpa tujuan, kata Agus pelajaran ini berguna untuk memberikan life skill kepada anak didik agar dapat mengelola pertanian dan memajukan desanya.
Mengapa desa? Karena pria kelahiran Jakarta percaya bahwa segala aspek kehidupan masyarakat itu bermula dari desa. Desa adalah sumber kehidupan. Ia percaya bila sebuah desa dapat berkembang dan maju, maka akan tercipta keseimbangan ekologi antara desa dan kota yang tentu berdampak bagi kesejahteraan masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian yang juga jadi alasan Agus bersama relawan lainnya sepakat untuk menerapkan pendidikan berbasis alam dan budaya yang kaya akan kearifan lokal.
“Saya pernah bertanya kepada anak-anak siapa yang sudah besar nanti ingin jadi petani. Tak ada satu pun yang mengangkat tangannya. Mungkin karena citra yang sudah melekat pada sosok petani, yakni soal kemiskinan yang membuat anak-anak enggan meliriknya,” ujarnya.
Selain bertujuan membangun desa dari masyarakatnya sendiri, Agus menjelaskan kalau sekolah yang tak memiliki gedung fisik ini punya misi membantu kaum marjinal keluar dari rantai kemiskinan. Pasalnya ia juga percaya kalau pendidikan itu punya kekuatan yang mampu menarik seseorang keluar dari kemiskinan.
Lebih jauh Agus mengatakan kalau nilai-nilai yang ia terapkan di Sekolah Raya ini juga berpatokan pada ajaran guru besar H.O.S. Cokroaminoto yang menekankan nilai pendidikan kebangsaan. Kata Agus, Sekolah Raya dan para relawannya berusaha membentuk karakter anak-anak didik dengan menekankan rasa kebangsaan kepada anak.
“Saya berharap melalui sekolah ini dan nilai yang diberikan dapat menciptakan anak-anak atau generasi handal dan cerdas, serta berkarakter yang bisa memberikan kontribusi untuk pembangunan negara,” tutupnya.
Dokumentasi: Agustian Sekolah Raya