Christoforus Paskalis Gilly: Semangat Berbagi Manfaat lewat Komunitas Pendidikan Bahasa Asing

Christoforus Paskalis Gilly punya minat tinggi dalam mempelajari bahasa asing sejak duduk di bangku sekolah, akan tetapi ia tak pernah melangkahkan kakinya ke tempat-tempat kursus yang biasanya mematok harga tinggi untuk setiap kelasnya tersebut. Bahkan unik, kedua orang tuanya tidak mengarahakannya ikut kursus, justru memberikannya permainan-permainan dan video games dalam bahasa asing.  Ia mengaku, dari situlah ia kemudian banyak belajar bahasa Inggris selain mempelajarinya lewat pelajaran di sekolahnya.

Minat akan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang terpupuk itu kemudian tumbuh subur dalam dirinya. Pria kelahiran Jakarta ini pun terdorong mengambil jurusan Hubungan Internasional ketika menempuh pendidikan tinggi di kampus tercinta IISIP Jakarta. Alasannya sederhana, selain minatnya dengan bahasa asing, ia ternyata juga tertarik belajar banyak budaya asing.

Kemudian Setelah lulus dengan baik dan berhasil menggaet gelar S.Sos, di belakang namanya, kecintaannya akan bahasa asing yang kuat ditambah dengan ilmu yang sudah berhasil ia himpun mendorongnya mendirikan komunitas belajar bahasa asing. Komunitas yang ia beri nama Depok Lingua ini ia dirikan bersama teman-teman yang ternyata punya kesamaan minat dalam bahasa asing, yakni Anette Talitha Aji Mahanani, Faisal Destryan, Lathifa Krisna, Joody Anugrah Chaniago, Maria Cherry, dan Brahmanta Prahara Wahid.

“Saya kala itu kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol sama mereka. Dari obrolan itu saya jadi tahu ternyata mereka punya minat yang sama dengan saya dan kita sepakat mendirikan komunitas ini pada akhir November 2015 di kota Depok. Dan ternyata peminatnya banyak sampai sekarang. Saya kadang salut sama mereka yang antusias ikut kelas dan merelakan waktu libur, ” ujarnya melalui pembicaran lewat telepon.

Kelas-kelas bahasa yang diselenggarakan komunitas ini beragam, mulai dari bahasa Inggris, Perancis, Italia, Rusia, Spanyol, Turki, Korea, Jepang, Belanda, Jerman dan Arab. Tak tanggung-tanggung, bukan bahasa asing saja, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ternyata juga masuk dalam program komunitasnya. Dan tentu, karena sifatnya komunitas, Gilly—begitu ia biasa dipanggil, dan pengurus lainnya tidak mematok harga untuk setiap kelas yang diikuti anggotanya, ia hanya mengumpulkan uang kas untuk operasional dan kegiatan komunitas.

Tak hanya belajar bahasa, Gilly dan teman-teman pengurus juga memberikan materi kebudayaan untuk anggotanya. Materi kebudayaan yang diberikan ini dikemas dalam kegiatan yang menyenangkan dan dapat memicu kepercayaan diri seseorang dalam belajar bahasa asing. Contohnya adalah kegiatan bertajuk “Culture Day” dan “Garden Party” yang diselenggarakan rutin setiap bulannya. Dalam kegiatan tersebut para anggota diajak untuk unjuk kebolehan memperkenalkan kebudayaan masing-masing dan juga kuliner khasnya.

“Biasanya ini ramai sama peminat bahasa dan kebudayaan Korea. Mereka akan antusias sekali menunjukan kebudayaan dari Korea, mulai dari makanan-makanannya dan unjuk kebolehan juga dalam mengenakan pakaian tradisional Hanbok,” ujar Gilly diiringi tawa kecil.

Ketika ditanya mengapa tidak mendirikan lembaga kursus saja ketimbang komunitas, pria berdarah campuran Jawa Tengah dan  Nusa Tenggara Timur ini mengatakan bahwa ia dan teman-teman pengurus tidak punya niatan sama sekali mencari profit atau keuntungan. Ia katanya hanya ingin berbagi kesenangan dan ilmunya kepada orang lain, serta mengajak orang lain untuk berbagi ilmu, khususnya bahasa asing dan belajar bersama-sama.

Tambahnya, “Saya senang menemukan teman dengan kesamaan minat dan berbagi ilmu dan berbagi manfaat melalui kegiatan mengajar. Bagi saya, mengajar itu sama saja dengan belajar kembali. Ilmu-ilmu saya justru makin kuat. Ini cara yang saya tempuh untuk berbagi. Karena berbagi itu nggak selalu materi.”

Akan tetapi meski berwujud komunitas dan sifatnya berdaya, bukan berarti komunitas ini tak memiliki standar belajar dan penilaian yang serius. Untuk bisa naik level dalam suatu kelas bahasa, ada standar nilai yang harus dipenuhi anggota. Standar nilai itu didapat dari jumlah kehadiran anggota dan nilai-nilai yang didapat dari ujian tengah dan akhir di suatu kelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa, standar belajar dan penilaian komunitas ini telah dipikirkan matang-matang.

Sistem pembelajaran dan materinya juga dirancang dan disusun rapih dalam sebuah silabus pembelajaran. Akan tetapi hal ini dikatakan Gilly menjadi tantangan tersendiri buatnya. Ia dan pengurus lainnya harus putar otak dan memikirkan matang-matang standar penilaian agar tak memberatkan anggota dan kegiatan belajar bahasa.

“Ada mungkin yang berpikir, aduh komunitas kok strict amat sih sistemnya. Nah, saya selalu menekankan hal ini penting, pasalnya para anggota ini kan pasti ingin mencapai sesuatu, kan saat ikut Depok Lingua. Ya, standar penilaian ini penting untuk membantu anggota untuk mencapai tujuan itu,” ujarnya dengan percaya diri.

Sebelum menutup telepon disela-sela waktu istirahatnya bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, GiIly menyisipkan harapan untuk komunitas di masa mendatang. Anak dari pasangan Fransiska Fenny Hartati dan Robertus R. Gilly ini berharap komunitasnya makin solid dan terus semangat berbagi manfaat positif melalui pendidikan bahasa dan budaya kepada lingkungan sekitar, tak hanya di kota Depok saja.

Meski begitu, dampak dari kehadiran kelompok belajar bahasa asing berbentuk komunitas bernama Depok Lingua ini dikatakan Gilly mulai terasa. Meski baru berjalan dua tahun, komunitas ini sudah menghimpun ratusan anggota dari beragam kalangan, bukan asal kota Depok saja, melainkan kota-kota lain yang jaraknya juga tidak berdekatan dengan kota Depok. Hal inilah yang membuatnya kagum sekaligus semangat terus berbagi ilmu melalui komunitasnya.

Dokumentasi: Christoforus Paskalis Gilly

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *