A DAY TO WALK; Bukan Sekadar Komunitas Jalan-Jalan

Tiga anak muda penggagas komunitas ini bisa dibilang mempunyai kebiasaan tak lazim. Jika anak muda lain banyak menghabiskan waktu senggang dengan jalan-jalan ke mal atau kongko di kafe, mereka, yakni Sindy Ridho Asta Sumartono, Gaharu Jabal, dan Lintang Kertoamiprodjoe, justru hobi jalan-jalan untuk menyusuri bangunan bersejarah.

A Day to Walk bukanlah sekadar komunitas jalan-jalan saja. Namun, lebih dari itu. Sebab, komunitas ini juga berusaha melestarikan bangunan-bangunan bersejarah di Kota Malang.

Awalnya, Sindy berperan sebagai penggerak sekaligus tour guide-nya. Hampir setiap Minggu, dia mengajak 20 orang dari berbagai kota untuk berjalan-jalan, mengenalkan gedung-gedung bersejarah, dan berkampanye cinta sejarah.

”Awalnya, saya memang suka jalan kaki. Apalagi, saya suka diajak ayah jalan-jalan saat kecil, juga nonton di Bioskop Merdeka ketika bioskop itu masih ada,” ujar Sindy, kamis (11/5).

Hobinya itu pun kian menjadi-jadi setelah pertengahan 2013 lalu. Sayangnya, Sindy mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa mengendarai motor. Padahal, dia sangat ingin jalan-jalan. ”Sekitar Agustus 2013 itu pertama kali mulai jalan-jalan. Awalnya sendiri, ternyata itu asyik,” jelasnya. Kemudian, Sindy mulai membagikan pengalamannya saat jalan-jalan ke media sosial (medsos).

Anak sulung dari tiga bersaudara itu juga selalu bersemangat menceritakan asyiknya jalan-jalan kepada teman-temannya. ”Ada yang mulai tertarik. Satu, tiga, lima, lalu tujuh orang, lama-lama menjadi banyak,” ujarnya. Saat ini, setiap mengadakan kegiatan, puluhan orang sudah bergabung. Pesertanya bukan hanya dari Malang Raya, melainkan juga dari Surabaya, Bali, Jogjakarta, Semarang, hingga Jakarta.

Komunitas A Day to Walk resmi mengudara pada 2015. Makin banyaknya masyarakat yang tertarik, membuat Sindy dan teman-temannya benar-benar serius dengan aksi jalan-jalannya pada 2015 itu. Awalnya, dia single fighter alias berjuang sendiri mulai publikasi, merancang acara, hingga menjadi tour guide para peserta yang ikut jalan-jalan.

Namun sekarang, sudah ada beberapa teman seperjuangan yang membantunya. Jadi, kegiatan jalan-jalan itu lebih rutin dilaksanakan. Di antaranya, Gaharu Jabal, Amri Aly, Yahya Andri, Annisa Melati, Lintang Kertoamiprodjoe, dan Rizqi Arga.

Semua kegiatan komunitas ini gratis. Selain itu, siapa saja boleh bergabung. ”Mereka yang menghidupkan komunitas ini. Bahkan, mereka kadang ikut sibuk menyiapkan rute dan materinya,” ujar perempuan yang tinggal di Jalan Candi Sari Utara Nomor 95, Kecamatan Blimbing itu.

Komunitas A Day to Walk memang selalu serius dalam mengagendakan kegiatan jalan-jalan untuk melakukan nguri-uri (mempertahankan sejarah). Setidaknya, ada dua buku yang dijadikan sumber referensi terkait bangunan-bangunan tua di Kota Malang.

Dua buku itu berjudul Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Ir Handinoto dan Ir Paulus H Soehargo; serta buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo. ”Buku Malang Tempo Doeloe itu dikirim penulisnya langsung sebagai bentuk apresiasi aktivitas saya dan teman-teman,” jelas perempuan yang saat ini menjabat sebagai quality assurance (QA) di perusahaan pengolah susu Malang Selatan tersebut.

Dia juga sering datang langsung ke lokasi-lokasi itu dan berdialog dengan orang-orang yang tinggal lama di daerah tersebut. ”Misalnya, di daerah Kayu Tangan, ada Toko Riang yang berdiri sejak puluhan tahun. Mereka mau kok bercerita sejarahnya, mulai sejak kapan gedung itu berdiri hingga bangunan-bangunan di sekitarnya ditempati,” jelas alumnus SMAN 7 Kota Malang tersebut.

Alumnus jurusan Bisnis Administrasi LP3I Malang itu juga geram dengan banyaknya gedung bersejarah di Malang yang ditinggalkan begitu saja. ”Banyak gedung-gedung baru dibangun di bekas gedung lama. Itu karena belum ada dukungan dari pemerintah untuk pelestarian cagar budaya,” jelas Sindy.

Dia mencontohkan, bangunan di Jalan Besar Ijen yang berubah fungsi dari rumah hunian lantai satu menjadi bangunan usaha yang mengubah konsep bangunannya.

”Padahal, itu hasil rancangan Ir Herman Thomas Karsten yang mengadopsi vila-vila peristirahatan di Belanda. Sengaja dibuat satu lantai, tapi luas agar masyarakat tetap dapat menikmati pemandangan gunung-gunung yang mengitari Kota Malang,” ujarnya tampak geram.

Selain itu, komunitas ini dibentuk karena Malang adalah kota yang memiliki banyak potensi wisata. Namun, kota ini kekurangan daya tarik terhadap wisata di kotanya sendiri. Jika dilihat, sekarang Malang justru banyak dipenuhi kafe-kafe. Malang hanya dijadikan sebagai tempat transit oleh para wisatawan yang lebih memilih ke Batu atau Malang Selatan untuk berwisata.

”Malang itu punya banyak peninggalan sejarah dari zaman kolonial Belanda, berupa tata kota yang sangat bagus. Beberapa bangunan kuno bersejarah akan sia-sia jika tidak dieksplor. Jadi, dari situlah saya membentuk komunitas ini. Jalan-jalan sambil belajar tentang sejarah Kota Malang,” ujarnya.

Sumber: RADAR MALANG (Pewarta: Nurlayla Ratri)

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *