Beberapa tahun belakangan tepatnya sejak Agustus 2011, 23 keluarga di Dusun Tengaran, Sumberejo Semin Gunungkidul terlihat berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya. Sepeda motor yang dulunya butut kini berganti model baru, televisi yang dulu hanya bisa ditonton di rumah tetangga kini sudah terpasang di ruang tengah dengan layar cukup besar bahkan berparabola.
23 keluarga di dusun tersebut ternyata menjadi anggota Kelompok Batik Sekar Arum yang digagas segelintir orang di wilayah tersebut. Modal awalnya pun ternyata berasal dari iuran warga sendiri yang kemudian ditambah oleh Kementrian Sosial sebanyak Rp 30 juta pada tahun tersebut karena melihat keseriusan mereka.
Sri Rahayu, Ketua Kelompok Batik Sekar Arum mengungkap sebelum diputuskan membentuk komunitas batik, warga di dusunnya terbilang miskin dan hanya mengandalkan hasil dari ladang sawah. Melihat hal tersebut, ia bersama beberapa warga lantas mencari jalan untuk bersama-sama lepas dari belenggu keterbatasan ekonomi.
“Kami tahu potensi batik yang bisa dilakukan oleh para ibu yang selama ini hanya membantu di sawah. Kami beli alat membatik dan akhirnya memproduksi batik dengan ciri khas motif walang, bekicot dan kupu-kupu,” ungkapnya.
Para ibu yang dinilai banyak pihak tak lagi produktif karena usia nyatanya bisa berkarya menghasilkan kain batik yang bermotif khas dan ternyata digemari. Karya original dan otentik dari Batik Sekar Arum bahkan laku dijual dengan harga yang terbilang cukup tinggi dengan omset yang mencapai Rp 250 juta saat ini.
“Saat ini kami produksi batik cap, batik tulis, kombinasi batik dsn kaos sablon. Kami sudah bisa memasarkan hasil karya kami ke beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Jakarta, beberapa wilayah Kalimantan dan Medan,” imbuhnya.
Meski sudah sangat berkembang dibanding saat pertama kali dicetuskan, namun ternyata Batik Sekar Arum masih memiliki keterbatasan yakni kurangnya jumlah pembatik. “Kami berharap semakin banyak warga khususnya kaum ibu yang mau ikut membatik, karena permintaan pasar semakin besar dan kami masih kekurangan pembatik,” harap Sri.
Tak hanya itu, kelompok batik tersebut juga masih mengalami kendala dari sisi pemasaran dan sumber air untuk proses produksi batik. Mereka berharap ada pihak yang membantu mengurai permasalahan tersebut agar tujuan utama menyejahterakan masyarakat semakin terwujud nyata.
“Pemasaran kami memang masih menggunakan media konvensional seperti pameran, kunjungan studi banding maupun menitipkan pada pendamping. Mudah-mudahan bisa berkembang lagi ke depan agar semakin dikenal luas dan masyarakat semakin sejahtera,” pungkasnya.
Sumber: KRJOGJA