Komunitas #Ngopidikantor: Meracik Kopi, Menyuguhkan Kebersamaan

Siang yang panas di sudut jalan protokol kawasan arteri Pondok Indah, Jakarta, Selasa (16/5). Empat sekawan peracik kopi amatiran, begitulah mereka menyebut dirinya, disambut sekitar 20 pegawai di sebuah kantor. Mereka adalah kelompok barista alias peracik kopi yang disebut Komunitas #Ngopidikantor.

Suguhan kehangatan ngopi pada siang hari itu bukan dilakukan di kedai kopi ataupun kafe. Komunitas #Ngopidikantor itu terdiri dari Ijar Karim, Eko Punto Pambudi, Aji Yuliarto, dan Praga Utama. Sehari-hari mereka juga memiliki pekerjaan tetap di industri media massa nasional.

Komunitas “jemput bola” menjadi konsep baru mereka. Menikmati kopi tidak harus mendatangi kafe-kafe atau kedai kopi. Ngopi di kantor pun tetap oke.

Konsep ini ingin mematahkan anggapan bahwa semua orang bisa bebas ngopi, terutama pada jam-jam sibuk di kantor. Namun, jangan harap pula komunitas ini bisa diajak untuk menyuguhkan kopi di ajang yang ramai, seperti pameran ataupun bazar yang biasanya sekadar berkonsep jualan seduhan kopi, tanpa terbangun komunikasi.

“Istana wakil presiden pernah mengundang kami untuk bikin acara ngopi, tetapi dengan sangat terpaksa ditolak. Waktu itu, kami hanya diminta buka di salah satu sudut bazar yang digelar di kantor wapres,” kata Eko.

Menurut Ijar, komunitas barista ini berkomitmen mengangkat eksistensi kopi Nusantara. Kebetulan saja, hari itu kopi yang digunakan berasal dari Malabar, Jawa Barat. Konsepnya “Arabika Malabar Fully Wash”. Tak hanya meracik kopi, karyawan yang ikut pun bebas berinteraksi dengan barista.

Ijar menuturkan, komunitasnya disebut amatiran karena pengetahuan dan keterampilan meracik kopi itu diperoleh dari dengar sana-sini dan berbekal pengetahuan yang diperoleh dari Youtube. “Kami cuma belajar dari Unyu, universitas Youtube,” ujar Ijar.

Tepat dua tahun Komunitas #Ngopidikantor berdiri, ternyata bukan hanya menjadi gerakan cinta kopi dari kantor ke kantor. Tak sedikit sejumlah artis, bahkan duta besar, turut menikmati seduhan racikan kopinya. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pun pernah mengundang mereka untuk meracik kopi.

“Deg-degan juga sih meracik di kedutaan. Takutnya rasa kopi yang disuguhkan beda, tetapi prinsipnya, kopi yang pada dasarnya memang pas prosesnya, mulai penanaman, masa panen, hingga roasting, akan tetap mengeluarkan aroma kenikmatan yang pas sewaktu disuguhkan. Barista sebetulnya hanya memberikan sentuhan proses di bagian akhir sebelum disuguhkan kehangatannya,” kata Eko.

Semua dari biji kopi yang tersebar di seluruh Nusantara. Proses peracikan dimulai dengan penggunaan grinder (gilingan kopi) secara tepat tingkat kehalusannya. Lalu, alat seduh manual, seperti kalita, aeropress, V60, frenchpress, syphon, dan mokapot. Sementara alat pendukung terdiri dari timbangan elektrik, ketel leher angsa (karena aliran air panasnya mudah diatur sewaktu dituangkan ke dalam cangkir), filter kertas, termometer, dan server (wadah penyaji).

Praga mengatakan, barista kafe biasanya membutuhkan portafilter (wadah kopi giling untuk dipasang pada mesin espresso), tamper (alat pemadat gilingan kopi), termometer, dan stopwatch. Biasanya, alat-alat ini hanya dipakai kalangan profesional di kafe- kafe.

“Baracik”

Lain halnya dengan Ade Santoso (30) alias Udel. Selera penikmat kopi yang berbeda-beda selalu saja menyebut keinginan menikmati kopi yang berasal dari satu daerah tertentu. Dia pun mengubah sebutan barista menjadi baracik atau barista Indonesia yang meracik kopi.

Pengalaman menelusuri kekhasan kopi dari Lampung hingga Aceh mengantar Udel menjadi baracik di Kedai Kopi Baracik di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Bagi Udel, baracik merupakan profesi seni tersendiri. Mulai memilih kopi jenis robusta atau arabika hingga disuguhkan dikonsep menjadi khas Indonesia, seperti kopi tubruk, tungkup, siram, press, pres angin, dan tetes.

Pilihan jenis ataupun asal kopi bisa bebas dipilih.

Bahkan, Udel tak keberatan pula apabila ada penikmat kopi yang membawa biji kopi sendiri untuk diseduh di kedainya. Kebebasan ini sengaja diciptakan, tanpa harus merasa kecewa.

Namun, secara prinsip, baik barista maupun baracik sesungguhnya memiliki kesamaan, yakni menepis adanya jarak antara penikmat kopi dan peracik kopinya. Pola komunikasi interaktif sengaja dibangun atau malah terbangun bersama di sela-sela proses peracikan kopi. Tidak sekadar pesan, disuguhkan, dan minum secangkir kopi di sudut ruangan kafe.

Yang terpenting, baik barista maupun baracik sama-sama sependapat, kopi itu bukan “digunting”, melainkan diracik.

Sumber: ngopidikantor.com

FOTO DOK. Instagram @ngopidikantor

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *