Heri Eriyadi: Pejuang Sejarah dan Hak-hak Pejuang Sipil yang Pantang Menyerah

“Jas Merah” atau Jangan sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Ingat perkataan bapak proklamasi yang tersusun rapi di bab-bab dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolahan dulu? Ya, pasti kita semua mengingatnya. Tetapi, sudahkah kita benar-benar melakukannya? Hmm, rasa-rasanya belum sepenuhnya. Atau jangan-jangan benar-benar ditinggalkan?

Coba kenal lebih dekat pria satu ini, Heri Eriyadi namanya. Ia patut dijadikan panutan masyarakat, khususnya anak-anak muda Indonesia karena semangatnya mempelajari sejarah dan mengajak masyarakat untuk kembali belajar sejarah, terutama sejarah perjuangan di Indonesia. Antusias yang tinggi terhadap sejarah ini bahkan mendorongnya mendirikan KCPI atau Komunitas Cinta Pejuang Indonesia pada 25 November 2011 silam.

Selain minat tinggi dengan sejarah, Heri—begitu ia biasanya dipanggil, punya alasan lain yang juga mendorongnya mendirikan KCPI. Alasan itu ialah melihat lunturnya rasa cinta tanah air di kalangan anak muda. Heri yang punya kesibukan sebagai guru pramuka dan multimedia honorer di beberapa sekolah dasar di Tangerang Selatan ini melihat kalau ada pergeseran sejarah yang perlu diperbaiki pada jaman ini dan ia juga melihat kalau anak-anak muda juga tidak antusias lagi belajar sejarah.

“Sejarah cuma 10% porsinya. Pelajaran sejarah sekarang cuma sekedar melihat, cuma tahu nama pahlawan, namun nggak tahu sisi dalam atau biografinya. Beda sama dulu, ada yang namanya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) ketika SMP, kita sama guru disuruh cari tahu seluk beluknya dan bahkan menirukan gayanya. Sekarang informasi juga kan global dan mereka mendapatkan informasi sejarah itu instan,” ujar Heri.

Pejuang yang Tertabrak Tembok Birokrasi

Bukan hanya cerita atau sejarah perjuangan saja, tetapi Heri juga peduli dengan pelaku perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka bukan veteran perang, tetapi hanya warga sipil yang secara sukarela ikut terjun membantu memerdekakan Indonesia di daerahnya masing-masing di tahun 1944-1955.

Kondisi mereka kini tidak baik-baik saja. Kata Heri dan beberapa pemberitaan di media massa, para pejuang ini hidup serba kekurangan karena tertabrak tembok birokrasi yang rumit dari pemerintah untuk mendapatkan bantuan. Tembok birokrasi tersebut berisikan persyaratan, mulai dari kepemilikan surat perang, teman hidup untuk dijadikan saksi perjuangan, kepemilikan seragam perang, hingga bukti fisik berupa luka di badan.

“Kalau veteran Indonesia kan sudah ada yang menjembatani ya, namanya Legiun Veteran Perang Indonesia, nah kalau mereka-mereka ini yang pernah berjuang dan bertempur setelah perang selesai, mereka kembali hidup sebagai rakyat. Mereka yang nggak punya surat perang karena sukarela ikut perang, sehingga dari sisi birokrasi ditolak dan prosesnya lama sampai mereka meninggal. Untuk itu kita berusaha merangkul mereka, membuat syarat kita sendiri. Syarat KCPI yang tentunya lebih manusiawi,” tukas Heri.

Ada pun syarat-syarat itu meliputi, pengakuan dari yang bersangkutan. Cerita dari pengakuan ini nanti akan disandingkan berdasar pedoman yang KCPI miliki, mulai dari catatan sejarah yang terjadi saat perang terjadi di beberapa daerah mulai tahun 1944-1955. Kemudian kemampuan berbahasa Jepang dan Belanda, pengakuan dari warga sekitar atau kerabat, hingga kemampuan bela diri dasar, seperti Kempo atau Judo. Bahkan untuk bukti, kata Heri, para pejuang yang sudah berusia senja ini diajak untuk mempraktikan keahlian bela diri mereka.

Para pejuang sipil yang sudah didata ini kemudian diberikan bantuan moril dan material oleh KCPI. Bantuan tersebut meliputi dana untuk berobat, kebutuhan hidup sehari-hari hingga urusan pemakaman. Pasalnya kata Heri, para pejuang ini tak membutuhkan penghargaan apapun sebenarnya, mereka hanya membutuhkan pengakuan dan perhatian di masa-masa senjanya. Bantuan ini berasal dari masyarakat yang peduli pada nasib pejuang.

Semangat Berjuang Kembalikan Sejarah

Mendirikan komunitas diakui Heri ini bukan perkara mudah. Seperti yang diketahui bahwa sejarah kini mulai ditinggalkan, ia dan teman-teman KCPI mesti kerja keras mengembalikan dan menghidupkan kembali kebiasaan akan pelajaran sejarah perjuangan ke bangku sekolahan. Karena ia percaya bahwa, sedini mungkin sejarah harus ditanamkan. Upaya yang ia tempuh hingga kini adalah edukasi dan sosialisasi ke sejumlah sekolahan, serta himbauan untuk memasang foto-foto pahlawan.

Bukan itu saja, Heri mengatakan kalau saat ini ia dan komunitasnya sedang mengupayakan PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa agar kembali lagi menjadi muatan lokal sekolah ke MPR. Pasalnya bagi Heri, menghilangkan PSPB sama saja menghilangkan pedoman moral anak-anak.

Ada pula tantangan soal pendanaan. Kata pria yang pernah mendapatkan medali Pancawarsa dari Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan untuk kesetiaan pada gerakan Pramuka ini, untuk pergi sosialisasi sejarah ke beberapa daerah di Indonesia, ia dan Komunitasnya membutuhkan dana yang cukup besar.

Akan tetapi karena semangat juangnya memperjuangkan sejarah perjuangan, ia tak pernah putus asa dihujam berbagai tantangan. Pasalnya Ia mengatakan kalau itu semua belum seberapa dibandingkan dengan berkah yang ia dapatkan dari kegiatannya menolong orang yang membutuhkan. Ia juga merasa senang karena bisa berpartisipasi membangun bangsa, sekecil apapun langkah yang ia buat.

Enam Tahun KCPI

Berusia genap enam tahun, Heri mengatakan sudah cukup banyak dampak yang terasa dari pendirian KCPI. Dampak yang paling terasa ialah awareness terhadap kegiatan sosial KCPI dan pengetahuan sejarah yang dibagikan oleh KCPI.  Contohnya, kata Heri kini makin banyak masyarakat yang melaporkan lokasi dan keberadaan pejuang-pejuang sipil disekitar mereka yang memerlukan bantuan melalui laman media sosial KCPI.

Kemudian ada lagi, kata Heri sekarang ini banyak masyarakat yang menunggu-nunggu informasi seputar sejarah yang diulas KCPI di laman media sosial, apalagi setelah KCPI membuat ulasan soal Letnan Anwar, seorang letnan perang tua yang kini hidup jadi gelandangan. Kata Heri, kebanyakan ulasan tentang sejarah yang dibuat KCPI ini tidak bisa ditemukan dimana pun atau bahkan membuat orang tercengang soal fakta sejarah yang baru saja ia ketahui.

Informasi soal sejarah yang diulas itu dikatakan Heri didapat dari kegiatannya melakukan diskusi dengan komunitas dan pemerhati sejarah. Tak berhenti disitu, setelah menemukan fakta-fakta tersebut dan membandingkan dengan data atau pedoman sejarah perjuangan yang lain, Heri dan teman-teman KCPI kemudian melakukan wawancara untuk memastikan data yang didapat kepada para pejuang yang pernah hidup di jaman-jaman perjuangan.

Dan sambil tersenyum mengatakan kalau ternyata banyak sejarah yang selama ini keliru atau bahkan belum diketahui. Misalnya dari hal paling sederhana saja, seperti mengucapkan kata “Merdeka” dengan tangan mengepal. Mungkin sebagian besar masyarakat akan mengepalkan tangan kanannya ketika mengucap kata “Merdeka”, namun ternyata hal itu salah. Tangan kiri lah yang semestinya dipergunakan, karena kata Heri, dulu tangan kanan dipergunakan untuk memegang senjata.

“Kami juga sekarang jadi pembicara tetap Kesbangpol DKI Jakarta (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik), melalui itu kami menyampaikan sejarah perjuangan di sekolah-sekolah. Bukan berfokus pada runtutan sejarah, tetapi alasan-alasan dibalik perjuangan dan sejarah. Dan banyak yang antusias dengan kegiatan kami,” tukas ayah satu anak ini.

Menyemai Bibit dan Menuai Buah Semangat Perjuangan

Ketika ditanya soal ketertarikan dan minatnya yang tinggi akan sejarah, pria kelahiran Jakarta tahun 1971 ini mengaku kalau bibit-bibit itu muncul ketika duduk di bangku sekolah dasar. Katanya dulu sekali ia selalu senang jika jam mata pelajaran sejarah tiba. Bahkan ia punya idola, seorang pahlawan perang yang berkuda, yakni Pangeran Diponegoro. Bukan itu saja, ada lagi yang bernama Supriyadi, pahlawan PETA atau pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar.

Bibit-bibit cinta sejarah perjuangan itu juga ia mulai tanamkan pada anaknya. Kata Heri, anaknya yang belum masuk sekolah ini ia mulai kenalkan dengan sejumlah pahlawan menggunakan media gambar. Katanya, jika sudah lebih besar anaknya mulai dikenalkan dengan cerita-cerita sejarah perjuangan lebih mendalam dan mencari mana pahlawan favoritnya. Dan bahkan, Heri berniat meneruskan KCPI kepada anaknya.

Kedepannya ia berharap agar KCPI makin dikenal banyak masyarakat dan memicu kembali semangat belajar sejarah perjuangan Indonesia. Ia juga berharap kalau kegiatannya ini segera diterima atau direstui pemerintah dan Presiden. Dan ini hal yang penting, ia ingin negara Indonesia ini dilihat negara lain kalau masyarakat Indonesia menghargai sejarahnya, karena negara Indonesia adalah negara pejuang.

Tutupnya, “Kedepannya ada rencana mendirikan yayasan untuk menampung pejuang-pejuang ini hingga mereka wafat. Namun ini kan membutuhkan uang yang cukup banyak ya. Sedang kita upayakan sekarang ini.”

 

dokumentasi: Heri Eriyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *