Komunitas Qta Craft; Manfaatkan Waktu Luang Untuk Berkarya

RIUH dan dipenuhi canda tawa. Begitulah suasana ketika ibu-ibu anggota Komunitas Qta Craft sudah berkumpul. Mereka membahas hasil kreasi masing-masing dengan diselingi gojlokan dan guyonan. Apalagi, saat kumpul bersama, mereka mengagendakan hal lain seperti kulineran bareng. Layaknya anak muda, para anggota komunitas yang rata-rata berusia 40-an tahun itu biasa ngopi bersama. Di sela suasana santai tersebut, mereka membangun relasi.

“Biasanya makan bareng di tempatnya Bu Guntur itu, yang punya usaha kuliner,’’ terang Lilis, salah seorang anggota, sembari menunjuk orang yang dimaksud. Yang ditunjuk lantas tersenyum malu-malu. Bu Guntur merupakan panggilan Tjatur Susilowati. Berhubung suaminya bernama Guntur, jadilah dia dipanggil Bu Guntur.

Bukan hanya Tjatur, tetapi seluruh anggota yang lain pun sudah biasa dipanggil dengan nama suami. Misalnya, Lilis yang malah lebih dikenal dengan panggilan Bu Setyo. Merujuk kepada Setyobudiyanto yang merupakan nama sang suami. ’’Karena memang kami ini istri karyawan, nama sendiri jadi hilang,’’ sahut anggota lain, lalu terkekeh.

Sembilan perempuan yang sama-sama punya bakat sekaligus hobi di bidang kerajinan tangan tersebut dipersatukan dalam Komunitas Qta Craft. Kerajinan tangan menjadi salah satu subbidang di bawah naungan bidang pendidikan dalam organisasi Perkumpulan Istri Karyawan Petrokimia Gresik (PIKPG).

Produk yang dihasilkan sangat beragam. Mulai amigurumi, kreasi rajutan, decoupage, aksesori dari batuan, hingga kerajinan menjahit dan menyulam. Komunitas itu juga tidak pernah absen berpartisipasi dalam pergelaran Inacraft. Yakni, pameran kerajinan terbesar se-Asia yang diselenggarakan di Jakarta setiap tahun. Beberapa karya dari anggota komunitas juga sudah pernah dipesan hingga ke Malaysia dan Jepang.

Seluruh anggota produktif dan berlomba-lomba menghasilkan karya. Masing-masing juga saling memberikan masukan positif. Lantas, siapa yang kerap diberi kritikan? ’’Saya yang sering dikritik teman-teman,’’ ujar Rahayuningsih atau Bu Choirul, lantas tertawa dan mengacungkan tangan.

Rahayuningsih memang kerap ’’diprotes’’ anggota lain karena dianggap kurang matching saat memadukan warna pada hasil rajutan yang dibuat. Namun, tidak terlihat sedikit pun rasa dongkol atau kesal pada raut wajah perempuan 47 tahun tersebut. Mendapatkan masukan itu, Bu Choirul bisa belajar memilih paduan warna yang disukai banyak orang.

Karena menjadi ibu rumah tangga, semua menyatakan baru umek membuat kerajinan ketika suami telah berangkat kerja dan anak sudah meluncur ke sekolah. Namun, tidak jarang mereka nyambi. Misalnya, Lukky yang menemani suami ngopi sambil merajut. Atau, Mamik yang menjahit tas katun sambil ngobrol dengan suami dan anak-anaknya yang tengah nonton televisi di rumah. Tidak ada kata nganggur karena waktu luang dimanfaatkan untuk berkarya.

Suhertik, anggota yang juga perajin daur ulang, menuturkan bahwa keakraban kadang-kadang juga diselingi perselisihan atau salah paham. Tetapi, kondisi itu tidak akan lama. Sebab, setiap kali kumpul, guyonan dan candaan melebur segalanya. Misalnya, gojlokan yang dialamatkan kepada Tjatur sebagai ketua komunitas sekaligus ’’anak sulung’’. Juga Lilis dengan gelar ’’anak bungsu’’ yang suka ngerameni. ’’Bu Setyo (Lilis) itu umurnya seksi alias seket siji (51 tahun, Red),’’ celetuk Muji Rahayu yang disambar gelak tawa seluruh anggota.

Sumber: JAWA POS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *