MEREKA adalah sekumpulan wanita yang disatukan oleh kesamaan perasaan; jatuh cinta pada benang. Cinta dan kreatifitas itu menggerakkan jemari tangan untuk merajut helai demi helai benang menjadi karya yang memiliki estetika.
Para perajut di Kediri memiliki wadah yang diberi nama: Komunitas Rajut Kediri (KRK). Anggotanya ada yang sudah ahli, namun banyak juga yang baru belajar.
Kusumaningati Sulistya Wardhani, salah satu anggota KRK mulanya menggemari kegiatan merajut dari sekadar hobi. Ternyata, hasil rajutannya banyak digemari. Sebuah peluang bisnis ditangkap.
“Rasanya bahagia bisa menghasilkan suatu karya. Apalagi kalau karya kita disukai orang, banyak yang pesan. Jadi bonusnya juga mendapat pemasukan dari hobi ini,” kata wanita berjilbab yang akrab dipanggil Dhanie ini.
Hasil karya yang berkualitas menghadirkan kepuasan. Apalagi, jika karya itu bisa menghasilkan pundi rupiah, membantu suami menopang perekonomian keluarga.
Pada dasarnya, hasil rajutan bisa berupa apa saja. Misalnya, dompet, tas, perlengkapan bayi, taplak, tutup galon, tempat tisu, boneka, sepatu dan masih banyak lagi. Hasil rajutan bisa dilihat di foto-foto grup facebook Komunitas Rajut Kediri.
Harganya bervariasi. “Misalnya tas, berkisar Rp 150 ribu – Rp 400 ribu, bahkan bisa lebih. Bergantung ukuran, model, ukuran, dan jenis benang,” tambah Dhanie.
Dianing Lestari memajang foto-foto karya rajutannya di album facebook. “Di album saya, semuanya sudah terjual. Bahkan antrian yang order, sampai akhir tahun,” tukasnya.
Uniknya, meski sebagian menjadikan hasil rajutan lahan bisnis, namun tak terjadi persaingan. Kebersamaan dalam komunitas menjadi buktinya.
“Pentingnya komunitas: berbagi,” papar Dianing. Dia melanjutkan. “Kepuasan bukan saja pada rupiah yang pindah ke dompet saya. Tapi ketika orang lain bisa melakukan hal yang sama. Sama-sama bisa merajut.”
Lalu, siapa sosok yang mempelopori komunitas ini? Inisiator komunitas perajut ini adalah Dewi Fitriana. Masih lekat dalam ingatan Dewi. KRK terbentuk 6 Juni 2014, ketika Dewi menggelar tikar di Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) bersama-sama sejumlah orang yang sudah dikenalnya. “Tapi, kebanyakan orang jogging juga ikut nimbrung. Awalnya, kami kurang dari 10 orang,” kata Dewi.
Semakin hari, jumlah anggota terus bertambah. Grup di facebook sudah mencapai 153 orang, meski ketika kopi darat masih sedikit anggota komunitas yang hadir.
Hal ini tak mengurangi semangat anggota yang ada. Dalam pertemuan tiap dua pekan, mereka merajut bersama. Sebelumnya, mereka selalu menentukan tema, apa yang akan dibahas. Misal tema pekan ini bagaimana cara membaca pola rajut, dua pekan berikutnya sharing pola. Lokasi pertemuan juga berpindah-pindah ke rumah anggota komunitas.
Ternyata, banyak anggota yang juga baru belajar. Mereka yang sudah ahli tak pelit menularkan ilmu dan pengalamannya. Itu yang dimaksud Dianing pentingnya komunitas adalah berbagi. ”
Bahkan, menurut Dianing, dari komunitas ini banyak informasi pasar. Misal ada pameran, karya rajutan anggota komunitas juga ditenteng dan dipasarkan.
Sebuah komunitas yang patut mendapatkan apresiasi. Tak sekadar menyalurkan hobi, tapi juga berbagi ilmu dan bermanfaat bagi orang lain. Sehingga bisa mendongkrak taraf hidup anggotanya.
Mereka juga bedah karya. Salah satu perajut menunjukkan karya, kemudian anggota lain memberikan masukan. Dari sini, perajut profesional sekalipun tak pernah berhenti belajar meningkatkan kemampuan merajut.
Selain semangat berbagi juga ada persaudaraan dan persahabatan dalam komunitas ini. Dari urusan merajut benang juga merembet ke urusan rajutan rumah tangga. “Kadang juga dibahas program kehamilan, tumbuh kembang anak dan resep-resep masak,” kata Dhanie.
Suami-suami yang mengantar istrinya ngumpul, juga jadi akrab satu sama lain. “Tapi, kami nggak berencana membuat Komunitas Suami Perajut Kediri, lho.. haha, ” kata Rachman Lusana, suami dari Dhanie, sembari tergelak.
Sumber: KEDIRIPEDIA