Komunitas Wayang Gaga (Kowaga) Semarang; Edukasi Masyarakat Dengan Media Wayang

BERKEMBANGNYA kebudayaan, tak harus meninggalkan budaya leluhurnya. Hal itulah yang dilakukan Komunitas Wayang Gaga (Kowaga) Semarang, dalam menjaga dan melestarikan budaya Jawa agar tidak tergerus perkembangan zaman modern yang serba digital.

Komunitas tersebut kali pertama berdiri awal 2014 lalu di Mijen, Kota Semarang. Semula, digagas oleh tiga pemuda, yakni Pambuko Septiardi, Novanto Krish Prabowo dan Teguh Arief Romadhani. Bersyukur, sekarang anggotanya mencapai 20-an lebih yang mayoritas anak-anak.

Koordinator Kowaga Semarang, Pambuko Septiardi mengatakan bahwa komunitasnya merupakan kegemaran yang membuat figur wayang dari bahan suket (rumput, Red) atau bahan kebun lainnya. Dalam pembuatan wayang, langsung diajarkan kepada anak-anak dengan harapan ada kepedulian yang terbangun sejak dini, untuk menjaga moral dan budaya leluhur serta melaksanakannya dengan baik.

Ia menjelaskan, Gaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kebun, memiliki konsep alami yang berasal dari tumbuhan di ladang atau kebun. Bahan pembuatan serta penyebutan bagi setiap wayang Gaga juga berbeda-beda. Seperti wayang suket disebut Ki Kolonjono, wayang oyot disebut Ki Oyot, wayang jagung disebut Ki Polowijo, dan wayang daun singkong yang disebut Ki Godong. Bahan-bahan tersebut digunakan sebagai media edukasi dalam bentuk boneka atau wayang. Ini yang menjadikan keunikan dari komunitasnya.

”Saya merasa kalau apa yang saya lakukan ini hanya secuil. Bahkan, mungkin sama sekali belum memiliki arti yang kuat bagi orang banyak. Namun, saya merasa memiliki keyakinan kuat, kalau apa yang kami lakukan sekarang ini didasari dengan keinginan untuk berbuat baik,” kata Pambuko saat ditemui Jawa Pos Radar Semarang, Senin (10/4) kemarin.

Menurutnya, dari sekian banyak jenis wayang Gaga, jenis Wayang Suket yang memiliki keluwesan dan makna luas karena bisa mengajak manusia untuk memikirkan sifat-sifat Tuhan. Salah satunya, lanjut Pambuko, welas asih dan pemaaf. Ia menyebutkan, suket atau rumput jelas diciptakan oleh Tuhan dengan sukarela bahkan selalu dicabuti dan dipangkas oleh manusia untuk makanan ternak, maupun pupuk. Bahkan, bisa dibuat permainan sederhana seperti Wayang Suket. ”Rumput mungkin saja bisa protes dengan cara dia. Namun, dia rela saja kita pangkas dengan berbagai alasan. Karena kita anggap sebagai gulma, tapi rumput tetap menjalankan tugasnya secara ikhlas,” ujarnya.

Dengan demikian, lanjut Pambuko, rumput atau suket mengambarkan sebagai bentuk darma makhluk hidup kepada makhluk hidup lainnya. Di dalamnya ada sifat Tuhan, saling membantu dan berbuat baik, tanpa pamrih.

Dia juga menyesalkan bahwa budaya Jawa kini seolah semakin ditinggalkan. Hal itu, karena kurangnya minat dari masyarakat. Bukan karena tidak adanya ruang untuk berkreasi. Ia berharap hasil karya dari komunitasnya dapat menjadi salah satu cenderamata asli Jawa, khususnya Kota Semarang. Karena banyak masyarakat yang mengaku seperti bernostalgia dengan masa kecilnya, saat melihat wayang Gaga. ”Tujuan dari komunitas kami hanya untuk mengedukasi masyarakat dengan media wayang. Dengan harapan bisa menghidupkan budaya zaman dulu dan disisipkan nilai moral, khususnya pada anak-anak karena perkembangan teknologi.” ungkapnya.

Selain menjadi pendalang, anggota komunitas ini juga menjadi perajin Wayang Gaga. Melalui berbagai gelaran yang diadakan oleh pemerintah dan berbagai kegiatan yang mereka adakan dengan swadaya sendiri, komunitas ini semakin dikenal masyarakat luas. Terbukti, anggotanya semakin banyak, walau didominasi anak-anak.

”Ini bukan soal mau jadi apa atau mau bagaimana. Persoalan yang cukup mendesak adalah bagaimana supaya tradisi rakyat ini tidak punah. Bukan cuma keseniannya, namun meliputi tentang moral dan etik ketimuran yang hampir terkikis,” sebutnya.

Anggota Kowaga Semarang, Teguh Arief Romadhani menambahkan, bahwa komunitasnya memang sengaja berkegiatan bersama anak-anak. Karena anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang masih berpotensi belajar banyak hal. Bahkan bukan cuma secara akademis, mempelajari juga sikap, norma, dan tepa salira atau dapat merasakan dan menjaga perasaan orang lain. ”Kita lihat sekarang, anak-anak sekolah banyak yang kurang mengaplikasikan makna sopan dan tenggang rasa. Ini sangat miris kalau dibiarkan terjadi begitu saja,” imbuhnya.

Baginya, dapat bertukar pengalaman dengan anak-anak di beberapa daerah dapat memberikan kesegaran tersendiri. Hal itulah yang komunitasnya gencarkan dengan memberikan pelatihan membuat Wayang Suket kepada siapa saja yang mau belajar bersama-sama. ”Bagi kami yang penting adalah proses pembelajaran secara bersama-sama. Bagaimana proses saling mengenal, bagaimana makna dari alang-alang atau rumput itu dapat dipahami secara universal oleh anak-anak,” ungkapnya.

Sumber: JATENG NEWS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *