Komunitas Tikar Merah; Berkontemplasi Lewat Sastra

LAKI-LAKI berjaket kulit cokelat itu duduk di salah satu sudut kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA). Dia tidak sendiri. Ada empat laki-laki lainnya. Mereka duduk bergerombol beralas lantai.

Sembari menikmati siang yang beranjak sore, mereka memainkan alat musik. Ada yang membawa gitar, ada yang membawa jimbe. Alat musik tabuh itu dipukul pelan, mengiringi petikan gitar yang sedang dimainkan.

Buku bersampul putih berada di tangan salah seorang lainnya. Judulnya Dari Tukang Kayu sampai Tarekat Lembu. Buku karya A. Muttaqin itu berisi sehimpun puisi. Tak berselang lama, deklamasi puisi pun terdengar. Menyusup di tengah irama musik yang disenandungkan sore itu.

Orang-orang itu menggabungkan diri dalam Komunitas Tikar Merah. Sebuah komunitas sastra yang dibentuk para mahasiswa. Bukan sembarang mahasiswa. Melainkan mahasiswa yang jatuh cinta pada sastra.

Saat itu, 2011, Komunitas Tikar Merah masih bernama Rel Kereta. Sederhana saja. Nama itu diambil karena mereka sering berkumpul di pinggir rel kereta di sekitar kampus UINSA.

Namun, salah satu puisi Alek Subairi, sastrawan Surabaya, menginspirasi mereka. Judul puisi tersebut Tikar. Dengan usulan dari si empunya puisi, yang juga salah seorang pemenang Ubud Writers & Reader Festival, mereka sepakat mengubah nama menjadi Tikar Merah pada Januari 2012.

Tikar menjadi idiom bahwa mereka sering duduk lesehan. Tikar ibarat tempat duduk yang luas. Banyak orang bisa bergabung dalam tikar itu.

”Duduk di alas tikar itu juga bisa didatangi dari arah mana saja,” ujar M. Faqieh Ahmad, salah seorang anggota Komunitas Tikar Merah. Merah menyiratkan sebuah semangat.

Tikar pun menginspirasi mereka untuk membuat sebuah lagu. Judul lagu itu Datangi Kami dari Mana Saja. Dalam Tikar Merah, tidak ada yang namanya diklat. Siapa pun yang ingin masuk dipersilakan.

”Kita bisa belajar bareng-bareng. Duduk bersama tanpa ada kelas-kelas,” tuturnya. Tikar Merah muncul dari kegelisahan mereka saat di kampus. Berita-berita politik terkadang tidak bisa dihindari.

Rasa jengah mereka tentang isu politik lantas dialihkan pada sastra. Ya, bagi mereka, sastra adalah solusi yang bisa membikin adem pikiran mereka. Mereka bisa berkontemplasi melalui puisi, cerita pendek (cerpen), dan esai.

Meski tidak langsung berkaitan dengan akademik, setidaknya sastra berpengaruh bagi diri mereka masing-masing. Faqieh mengaku, beberapa anggotanya memiliki dasar-dasar teater. Itu dimiliki saat mereka belajar di pondok pesantren.

Jadilah, kecintaan mereka pada sastra dikolaborasikan dengan teater serta musik. ”Improve ke teater, juga musikalisasi puisi,” terangnya.

Tak sekadar kongko atau nongkrong, melalui karya, Tikar Merah juga pernah manggung dalam pentas Bang-Bang Wetan Cak Nun. Bahkan, mereka pernah ambil bagian dalam penampilan Opick di JTV dan ikut serta dalam Festival Seni Surabaya.

Tidak ada kategori khusus untuk menjadi anggota Tikar Merah. Saat ini anggotanya berjumlah 12–15 orang. Anggota tidak hanya dari UINSA. Beberapa berasal dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.

Di antara para anggota itu, ada yang menyukai musik, ada yang suka dengan sastra, dan puisi. Mereka bertemu untuk sekadar ngopi bareng dan bertegur sapa. Termasuk menggagas kegiatan rutin.

Tidak ada rekrutmen dalam Tikar Merah. Yang berminat boleh bergabung. Faqieh menyebutkan, kegiatan paling rutin adalah diskusi. Di antaranya, diskusi sastra setiap minggu. Banyak hal yang dibicarakan dalam diskusi itu.

Mulai perkembangan sastra, tokoh-tokoh sastra, hingga mengulas karya dari rekan-rekan sendiri. Mereka yang suka pada musik juga berkumpul dan berdiskusi setidaknya sekali dalam dua minggu.

”Biasanya, ada narasumber baru. Tapi, itu selingan. Yang rutin menanggapi puisi atau cerpen,” jelasnya. Tikar Merah juga sudah menghasilkan sebuah buku, Antologi Tikar.

Buku yang terbit pada 2015 itu berisi karya-karya komunitas Tikar Merah. Ada lima orang yang menulis puisi dalam buku tersebut. Terdapat sekitar 50 puisi yang terangkum di dalamnya.

Faqieh mengakui, kehadiran sastra penting bagi mereka. Tanpa sastra, mereka merasa kering. Mereka merasa lebih adem dengan menyentuh sastra. Mereka bisa berkontemplasi dengan sastra.

Jadi, imbuh dia, wawasan yang sudah diterima saat di pondok pesantren sebelum menjadi mahasiswa tidak hilang. Yang menarik, mereka juga sering ngamen puisi.

Lubet Arga Teguh, koordinator Komunitas Tikar Merah, menyebutkan bahwa meski bukan rutinitas, ngamen puisi kerap menjadi pilihan mereka. Terutama untuk menggalang dana jika sedang ada kegiatan.

”Biasanya, kami bantingan, urunan kalau ada acara. Lalu, ditambah ngamen,” ujarnya. Mahasiswa seni teater STKW Surabaya itu mengatakan, Komunitas Tikar Merah merupakan komunitas independen.

Artinya, tidak ada pihak yang mendukung pendanaan. Karena itu, jika ingin menghelat acara, mereka mengumpulkan dana dengan berbekal solidaritas. Mereka bisa ngamen di sekitar Jemur Andayani sampai Margorejo.

Lalu, balik ke kampus UINSA. Sempat ada fakultas yang ingin mengayomi Tikar Merah. Namun, mereka memilih menjadi komunitas yang netral. Selain untuk acara, hasil sekali ngamen yang mencapai Rp 50–100 ribu itu dikumpulkan.

Hasilnya kadang digunakan untuk membeli alat musik. Alat musik seperti gitar, jimbe, dan seruling akan bermanfaat saat mentas. Tikar Merah kerap diajak mengisi acara komunitas maupun acara kampus.

Selain produktif dalam karya puisi, Tikar Merah memiliki 10 lagu yang kerap ditampilkan saat pentas. Lagu-lagu itu juga terinspirasi dari puisi. Sejatinya, komunitas tersebut sudah punya 30 lagu. Tapi, hanya 10 lagu yang kerap dibawakan.

”Itu belum dalam bentuk album,” jelas Lubet. Tikar Merah, imbuh Faqieh, berbeda dengan komunitas serupa yang ada di kampus. Sebelumnya, pernah ada komunitas yang juga independen.

Namun, bahan diskusinya lebih banyak filsafat, bukan sastra. Nah, Tikar Merah banyak mengusung sastra. Memang ada UKM teater di kampus. Namun, UKM itu juga berbeda dengan Tikar Merah.

”Kami berangkat dari sastra dan puisi, tapi lalu ditanggapi dengan teater. Sastra diterjemahkan melalui teater,” tuturnya. Tikar Merah juga sempat menerbitkan buletin bulanan sebagai wujud eksistensi.

Bersama komunitas sastra yang lain, seperti Rabosore dari Unesa dan Gapus dari Unair, mereka juga kerap berdiskusi. Meski tidak ada acara, pertemuan diintensifkan untuk sekadar ngobrol dan berbagi inspirasi.

Bersama rekan-rekannya, Faqieh, Lubet, dan rekan-rekannya merasa menemukan tempat. Bahkan, seolah sudah menjadi keluarga. Bagi Lubet, komunitas sastra memberinya ruang untuk berproses. Sejak awal, dia memang suka menulis.

Namun, kegemaran menulis itu bisa saja berhenti jika tidak ada komunitas yang mendukungnya. ”Ketemu teman-teman, kebersamaan seperti saudara sendiri, ini paling berkesan buat saya,” tuturnya.

Ke depan, dia ingin tidak hanya membangun komunitas. Bahwa yang hadir itulah yang aktif. Namun, harus lebih dari itu. Tikar Merah adalah wadah untuk berkarya. Dengan karya-karya yang dihasilkan, komunitas mereka bisa dikenal.

”Kami bukan EO (event organizer, Red) yang sukanya bikin acara. Kami padat karya. Kami ingin karya yang berbicara. Dengan karya, komunitas itu ada,” ujar mahasiswa semester V itu.

Sore itu, sebuah puisi dibawakan bersama hati. Di bawah tiang bendera yang mengibarkan Merah Putih, puisi tersebut disenandungkan.

Diiringi gitar dan jimbe yang ditabuh halus. Sisa gerimis sore itu ikut membawa mereka dalam sebuah penghayatan di hati paling dalam.

Sumber: JAWA POS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *