Potret Humas, Puluhan pemuda dari PMKRI, Pencinta Literasi, dan Komunitas Bhakti Sosial Lintas Agama Ketapang menggelar Saresehan “Napak Tilas Sumpah Pemuda 1928” dan Nonton Bareng (NOBAR) film Soekarno besutan Hanung Bramantyo di Aula Pastori GPIB Jl. Letkol M. Thohir Kel. Tengah Kec. Delta Pawan Ketapang Kalbar, pada Jum’at, (27/10/17) malam.
Lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebelum acara dimulai. Tampak hadir sebagai pemateri Nikodemus Dunga, Bapak Pendeta GPIB Ketapang Kalbar. Sebagai pendamping Dimas, dari Bhakti Sosial Lintas Agama, Reza dan Sulaiman dari Pencinta Literasi Ketapang kemudian inisiator Bhakti Sosial Lintas Agama Mohrizal sebagai moderator sekaligus Panitia Saresehan.
“Sedianya acara ini juga diisi oleh pemateri dari Ketua FKUB ketapang, Bapak Yance. Namun beliau berhalangan hadir.”Kata Bang Moh (Sapaan akrabnya).
Pemateri Niko dalam paparannya, mengingatkan pentingnya menyemai bibit-bibit toleransi di negeri ini. Menurutnya, intoleransi tumbuh lantaran kurangnya wawasan dan wawasan akan didapati manakala kita gemar mencari pengetahuan yang salah satu metodenya ialah dengan banyak membaca.
“Untuk itu, teman-teman pencinta literasi Ketapang rutin mengadakan kegiatan baca bareng setiap minggu sore di Taman Kota.” Tuturnya.
Niko melanjutkan, bahwa kelompok intoleran ada karena kurangnya wawasan. Untuk itu sebagai pemuda-pemudi kita mempunyai kewajiban untuk menambah wawasan. Dimulai dari diri kita dan orang-orang terdekat kita.
“Dengan banyaknya kelompok toleran maka kelompok intoleran akan mengecil paling tidak ruang geraknya terbatasi.” Imbuhnya.
Sesi diskusi, terlihat menarik dan interaktif sekali. Antuasiasme pemuda-pemudi Ketapang tampak jelas ketika mendiskusikan problematika kekinian bangsa ini kaitannya dengan mulai tergerusnya nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai toleransi yang terangkum dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika oleh kelompok-kelompok intoleran.
Ketua PMKRI Ketapang E. Henry, bertanya kepada narasumber, “Bagaimana kita supaya menjadi orang merdeka secara seutuhnya, sedangkan kita tahu banyaknya perusahaan Asing di Tempat kita tidak mengakomodir masyarakat lokal?” Tanyanya.
Hal itu kemudian juga ditanggapi oleh peserta lain yang kurang lebih sama bahwa pentingnya wawasan, pengetahuan supaya kita mempunyai kualifikasi sebagai orang yang layak dibeni tanggungjawab.
“Kita mesti bersyukur bisa kuliah, masih banyak Saudara-saudara kita yang tidak punya kesempatan seperti kita. Untuk itu tugas kita ialah dengan membantu memberikan wawasan kepada mereka.” Katanya Sarfin Longa salah satu peserta.
Begitu juga dengan Fira, dia menekankan bahwa modal awal adanya bangsa ini adalah keragaman. Menurutnya, dengan banyaknya warna Indonesia akan menjadi indah.
Reza pendamping dan Sulaiman menekankan akan upaya menjalin kerjasama tanpa rasa saling curiga. Menurutnya toleransi sudah dicontohkan oleh para pendiri bangsa kita dan figur-figur bijak penganut agama tertentu yg layak kita ikuti.
“Nabi Muhammad dan Imam Ali ra telah mengajarkan kepada kita tentang upaya nyata bertoleransi. Seperti perjanjian Nabi dengan Umat Kristen Gereja St. Catarina dimana umat Islam dilarang menzalimi orang-orang kristen.” Katanya
Hal senada diaminkan oleh pemateri pendamping, Dimas bahwa menurutnya yang senantiasa meributkan perbedaan hanyalah orang-orang yang kurang wawasan sebab perbedaan adalah keniscayaan. Sudah takdir bahwasanya di dunia ini tidak ada yang sama walau terlahir kembar.
Lanjut Dimas, adanya kelompok intoleran yang mengatasnamakan penganut agama tertentu bukanlah reperesentasi dari ajaran agama itu.”
“Saya meminjam kata-kata Gusdur, Bapak Bangsa kita. Terkait dengan toleransi beliau berkata, “Tidak penting apa agamamu. Ketika kamu berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu!” Katanya.
Selanjutnya, dalam membina toleransi langkah yang bisa kita tempuh ialah dengan cara memanusiakan manusia. Kemudian dia mengutip pandangan Ali Syariati kaitannya dengan kemanusiaan, dikatakan, “Ketika kita masih bisa merasakan derita itu pertanda kita masih hidup, namun ketika mampu merasakan derita yang orang lain rasakan, maka itu pertanda kita adalah manusia.” Katanya.
Jadi lanjut Dimas, memanusiakan manusia adalah kunci terjaganya pohon toleransi.
Acara diakhiri dengan pekikan merdeka dan ditutup dengan doa bersama.
Sumber: KETAPANG NEWS