Sejumlah Aktivis dari Komunitas Perempuan Gelar Aksi Women’s March di CFD Taman Bungkul

Para aktivis perempuan menggelar aksi Women’s March di Car Free Day Taman Bungkul Surabaya. Aksi yang pertama dilakukan di Surabaya ini merupakan bentuk kepedulian dan penolakan terhadap diskriminasi untuk perempuan.

Aksi ini tidak dinaungi oleh organisasi atau pemerintah. Namun, peserta yang turun ke jalan, murni karena bentuk kepeduliannya untuk menyuarakan hak-hak perempuan.

“Acara ini tidak dinaungi organisasi, hanya relawan saja dari beberapa elemen masyarakat. Seperti ada anggota beberapa komunitas, mahasiswa hingga ibu rumah tangga,” ujar Poedjiati Tan, koordinator aksi Women’s March saat ditemui detikcom di Taman Bungkul, Jalan Raya Darmo, Surabaya, Minggu (4/3/2018).

Perempuan berusia 47 tahun ini menambahkan, dewasa ini banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya saja korban pemerkosaan, biasanya perempuan merasa takut untuk melapor. Hal ini karena, perempuan yang menjadi korban sering mendapat stigma negatif dari masyarakat.

“Biasanya, kalau mereka mau nikah lagi, orang akan bertanya pada mempelai pria “kamu yakin? Dia kan sudah pernah diperkosa,” Saya menyayangkan mengapa hal ini bisa terjadi,” ujar Co founder Komunitas Konde ini.

Poedji juga mengatakan, selama ini hukum masih belum memihak sepenuhnya kepada perempuan. Contohnya adalah ketika proses hukum laki-laki akan membela diri dengan dalih ‘suka sama suka’, atau hakim biasanya akan meminta saksi untuk menguatkan. Hal ini bagi Poedji tentu keliru lantaran kasus pemerkosaan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan tidak ada yang tahu.

Efeknya, perempuan akan merasa menjadi korban seumur hidupnya, mengalami trauma hingga depresi. Untuk itu, dalam aksi yang dilakukan saat Car Free Day, relawan yang begabung juga memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya wanita. Edukasi ini diberikan guna membekali diri dengan pengetahuan dan sedikit ilmu bela diri.

“Pertama, kita harus belajar untuk teriak sekencang-kencangnya ketika ada kejahatan yang mengancam,” ujar Poedji yang merupakan guru taekwondo ini.

Poedji menyarankan untuk berteriak “Maling” karena kata-kata ini lebih efektif untuk mengundang massa, daripada berteriak minta tolong. Tak hanya itu, Poedji juga memperagakan ilmu bela diri dengan menyerang titik-titik lemah pada laki-laki.

Selain relawan yang turun ke jalan dengan membawa spanduk penolakan diskriminasi pada perempuan, ada pula aksi penandatanganan petisi, orasi, deklarasi, edukasi perlindungan diri, pembacaan puisi, hingga penjualan merchandise yang hasilnya akan digunakan untuk menyumbang korban-korban khususnya perempuan.

Sumber: DETIK NEWS (Hilda Meilisa Rinanda)

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *