Komunitas film di Surabaya tak hanya sibuk membikin film. Sebagian yang lain fokus pada pembangunan bioskop alternatif untuk menampung karya-karya film komunitas. Komunitas Sinema Intensif, salah satu diantaranya, yang sejak awal rajin menggelar pemutaran rutin bulanan di Wisma Jerman, Surabaya.
Suwardi Aditya, pegiat film di Sinema Intensif mengakui, kerja komunitas film Surabaya yang berfokus pada distribusi film mulai mendapat apresiasi dari masyarakat Surabaya.
“Penonton yang hadir di pemutaran kami tidak hanya dari kalangan pegiat film, tetapi juga dari masyarakat umum.”
“Rata-rata yang hadir antara 50 sampai 80 orang, hal ini bisa menjadi angin segar bagi pembuat film komunitas, karena menandai karya–karya mereka mendapat respons dari publik,” ujar Aditya, akhir pekan lalu.
Tak hanya pemutaran rutin tiap bulan, Sinema Intensif juga menyelenggarakan festival film berskala nasional. Tujuannya, menunjukkan Surabaya sebagai kota yang mandiri secara kreativitas dan dapat bersaing dengan kota-kota lain.
“Sejak 2016, kami menggelar festival film bertajuk Festival Kecil (Festcil) yang memang berfokus pada film-film pendek komunitas se-Indonesia.”
“Di tahun pertama, kami menerima total 220 film, dan di 2017 jumlahnya naik 60 persen,” kata Aditya, peraih best documentary dalam ajang perlombaan Go-Video 2017.
Ia memaparkan, kepercayaan pembuat film kepada penyelenggara merupakan modal penting untuk menuju kelancaran sebuah penyelenggaraan festival.
“Proses promosi Festcil dibagi dalam dua cara. Pertama secara manual, menjalin jejaring dengan berbagai komunitas.”
“Sedang secara teknologi, media sosial juga menjadi sarana dalam promosikan festival yang akan digelar,” tegasnya.
Adit berharap, sistem jejaring komunitas film di Surabaya berada pada titik yang stabil. Hal ini karena setiap pembuat film selalu berharap filmnya akan diputar dan mendapat penonton. Jika bioskop alternatif sudah stabil, lanjutnya, maka akan menjadi semangat bagi pembuat film untuk terus produksi film-film berkualitas.
“Saya rasa ini bukan hal yang tidak mungkin, apalagi jika tren bioskop arus utama cenderung seragam sehingga tidak menawarkan keragaman cerita, maka penonton akan menjadi jenuh dan mencari tontonan lain,” papar Adit.
Bioskop alternatif ini merupakan solusi bagi penonton yang jenuh menonton film di bioskop arus utama.
“Begitu juga teman-teman komunitas yang produksi film, butuh penonton yang kritis lewat diskusi seusai pemutaran, sehingga bermanfaat bagi proses berkarya selanjutnya,” tukas Aditya.
Sumber: TRIBUN NEWS