Komunitas 22 Ibu: Kenalkan Bahan Batik yang Ramah Lingkungan

Di dekade 1980-an, masyarakat Jawa masih bisa menikmati bubur klungsu. Saya termasuk yang masih bisa mencicipinya. Di kebun kakek ada empat pohon asam jawa. Satu di antaranya sudah cukup tua dilihat karena besarnya batang pohonnya, dan pohon inilah yang paling lebat buahnya.

Orang Jawa menyebut biji asam jawa dengan nama klungsu. Daging dari klungsu inilah yang dibuat bubur, dan ternyata mengandung gizi yang tinggi. Menurut data di Litbang Kementerian Pertanian (2011), klungsu mengandung 20 persen protein, 5,5 persen lemak, 59 persen karbohidrat. Di luar itu masih ada vitamin B dan albuminoid dan globatanin.

Kini, klungsu dibuat menjadi malam untuk kebutuhan industri tekstil. Komunitas 22 Ibu rajin memanfaatkan klungsu sebagai olahan material di setiap lokalatih batik eco green. Maka, untuk kesekian kalinya mereka mengadakan lokalatih batik dingin di Bali, menyambut Hari Kartini, bekerja sama dengan Bentara Budaya Bali. Mereka juga mengadakan pameran di sini.

Ahad (22/4) lalu, mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha, ISI Denpasar, dan para siswa SMP-SMA bersama masyarakat umum sibuk dengan kain sejenis poliester yang dibentang di atas spanram. Mereka membuat garis dan lingkaran sehingga membntuk objek. Ada flora, ada fauna.

Mereka memanfaatkan pasta dari klungsu sebagai pengganti malam panas yang ditaruh di canting. Pasta dari klungsu yang tak perlu dipanaskan itu juga dipakai sebagai penghalang, seperti halnya malam panas dalam proses membatik secara tradisional. “Material lilin dingin ini berupa adonan dari bubuk biji asam jawa ditambah sedikit mentega atau margarine,” ujar Ariesa Pandanwangi, pelatih batik dingin.

Teknik membatik menggunakan bubuk klungsu dicetuskan oleh Niken Apriani, guru SMP negeri di Cimahi yang kini sedang menunggu penempatan sebagai kepala sekolah. Berkat temuannya ini, ia sering diminta Dinas pendidikan memberikan pelatihan di Jawa Barat bahkan di luar negeri atas prakarsa Atase Pendidikan di berbagai KBRI.

Ariesa menjelaskan, proses pembuatan adonan yang disebut gutha tamarin itu dengan cara menumbuk daging biji asam jawa. Bubuk itu setelah diberi mentega atau margarine, kemudian dituangi air panas, lantas diaduk hingga merata. Baru kemudian diberi air dingin diaduk lagi hingga kalis.

Setelah didiamkan semalam, kata Ariesa, ‘’Adonan biji asam jawa ini siap untuk digunakan sebagai perintang warna sekaligus pengganti lilin malam panas dalam proses pembatikan.’’ Untuk menuangkan adonan di kain, digunakan contong plastik yang ujungnya dibuat lubang kecil.

Karena fungsinya sebagai perintang, maka penuangan gutha dari contong plastic ke kain tidak boleh terputus. ‘’Setelah selesai objek yang sudah jadi dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan bantuan hair dryer,’’ ujar Ariesa yang juga tergabung di Komunitas 22 Ibu itu.

Komunitas ini terbentuk setelah mereka mengadakan pameran pada 21 April 2013 dan 22 Desember 2013. Ada 60 anggota, terdiri dari dosen, guru, desainer, pengusaha, dan seniman,yang bergabung di dalamnya. Mereka berasal dari lintas institusi dan lintas generasi. Dari yang termuda berusia 23 tahun, hingga yang tertua berusia 70 tahun.

“Komunitas ini berbasis di Bandung, dan sudah berdiri sektor Jakarta pada 2017,” ungkap Nurul Primayanti, dosen desain produk Universitas Podomoro, yang berpartisipasi dalam pameran Komunitas 22 Ibu di Bendata Budaya Bali.

Menurut Nurul, loka latih batik dingin sering mereka adakan dengan tujuan agar masyarakat mengenal manfaat bubuk biji asam jawa sebagai bahan batik yang eco green. “Juga untuk meningkatkan life skill masyarakat melalui batik yang ramah lingkungan,” ujar Nurul yang bergabung di Komunitas 22 Ibu sejak 2015.

Nurul berharap dengan bergabung di Komunitas 22 Ibu ini dapat melakukan banyak hal, seperti mempublikasikan karya seni menggunakan adonan biji asam jawa yang juga dikenal dengana istilah gutha tamarin. Gutha berasal dari bahasa Sanskerta. Saat ini, menurut catatan Litbang Kementan 2011, Indonesia masih mengimpor gutha tamarin dari India. “Saat ini tepung biji asam sangat berperan dalam industri tekstil Indonesia, yaitu sebagai pengental cetak tekstil.” Demikian catatan Litbang Kementan pada 2011.

Menurut catatan Litbang Kementan itu, tepung biji asam jawa sebagai pengental menghasilkan kekakuan kain dan kekuatan warna yang lebih baik daripada pengental komersial yang beredar di pasaran. Gutha tamarin juga tidak bereaksi dengan serat kain maupun zat warna.

Komunitas 22 Ibu, menurut Nurul, juga memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat melalui lokalatih pengembangan batik. Melakukan pula penulisan buku terkait dengan tema yang diusung dalam setiap pameran.

Desember 2017, mereka mengadakan pameran pahlawan nasional, juga menggunakan gutha tamarin. ‘’Saya sudah mempunyai hak cipta untuk karya seni saya,’’ kata Nurul.

Sumber: REPUBLIKA

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *