Isu sampah plastik di Jakarta terus menjadi perbincangan di setiap kota di Indonesia. Terutama kota-kota besar seperti Jakarta yang menjadi pusat ibukota. Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Isnawa Adji mengatakan DKI Jakarta merupakan kota dengan volume sampah sebesar 6.500 -7.000 ton per hari.
Volume tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa yang hanya menghasilkan sampah 1.500-2.000 ton per hari.
Sungai, laut, dan pesisir menjadi imbasnya. Sampah plastik menjadi musuh besar bagi ekosistem laut terutama bagi habitat flora dan fauna.
Berangkat dari hal itu, Komunitas KeMANGTEER JAKARTA yang berfokus pada upaya pelestarian mangrove menggelar aksi Kegiatan Tanam dan Pelihara (KETAPEL MANGROVE) yang berlokasi di Pesisir Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (06/05/2018).
Pada edisi bulan Mei ini, kegiatan yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali ini hanya berfokus di aksi Pemeliharaan yang di antaranya bersih-bersih sampah plastik (clean up) dan membersihkan hama tritip di batang mangrove.
Kegiatan KETAPEL MANGROVE dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, aktivis lingkungan dan berbagai komunitas lingkungan di Jakarta. Seperti Earth Hour, Save Mugo, Youth In Sustainability, Masyarakat Relawan Indonesia (MRI Ciliwung), dan Hutan Itu Indonesia.
Selain berbagai aktivis yang peduli dengan alam, Pasukan Orange dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH DKI Jakarta) dan Perusahaan Air Minum (PAM JAYA) turut mendukung aksi clean up dengan menyediakan truk pengangkut sampah dan truk air bersih.
Ketua KeMANGTEER JAKARTA Nathasi Fadhlin mengatakan aksi clean up di lahan mangrove ini merupakan wujud dari komitmen komunitas KeMANGTEER JAKARTA dalam menjaga dan memelihara mangrove di Jakarta.
“Tidak hanya mengkampanyekan untuk menanam dan menjaga mangrove, kami juga melakukannya dengan aksi. Salah satunya dalam program KETAPEL MANGROVE,” tutur Nathasi.
Dikatakan Nathasi, dalam merehabilitasi mangrove memang harus dilakukan secara nyata, dan dengan tangan sendiri. Adanya program yang berkelanjutan juga menjadi upaya rehabilitasi untuk melestarikan sabuk hijau di wilayah pesisir.
“Menanam dan membersihkan lahan mangrove nggak bisa diwakilin sama mesin, semua harus dilakukan dengan tangan sendiri. Lahan mangrove itu berbeda, banyak celah, akar-akar yang melilit, belum lagi ada propagule yang baru tumbuh. Bersih-bersih di lahan mangrove perlu kehati-hatian dan kesabaran,” paparnya.
Sampah kantong plastik menjadi penyumbang terbesar di lahan mangrove. Hal ini dikarenakan kantong pastik berukuran cukup lebar dan ringan. Sehingga mudah terbawa arus air dan menyangkut di akar-akar mangrove yang meliuk.
“Tunas baru, dan daun-daun kelilit kantong kresek, jadi memperlambat pertumbuhan mangrove,” ujar Odite salah satu peserta clean up.
Belum lagi sampah ban bekas, dan furniture yang sering kali menyangkut di lahan mangrove saat musim angin barat yang belum lama menerjang hampir sebagian pesisir, dan imbasnya selalu bermuara di hutan mangrove.
Di Jakarta sendiri, isu sampah di hutan mangrove masih kurang disorot. Padahal salah satu benteng pertahanan pesisir (green belt) adalah ekosistem mangrove.
Melalui KETAPEL MANGROVE, Nathasi berharap dapat menguggah kepedulian masyarakat ibu kota dengan hutan mangrove yang kini menjadi ancaman sampah plastik.
Dalam kegiatan ini berbagai lintas komunitas juga saling mengajak peserta yang didominasi kalangan anak muda agar hidup ramah lingkungan. Salah satunya mengurangi penggunaan kantong pastik dan sedotan plastik dengan cara membawa kantong belanja (totebag) dan beralih ke sedotan kaca atau bambu. (nat)