Berfokus untuk memberdayakan anak pingiran dan kaum-kaum termarjinalkan agar mendapatkan pendidikan berkualitas, Sikolatta memberikan 400 buku sebagai bahan pengajaran. Buku-buku yang berhasil mereka kumpulkan selama dua minggu ini diletakkan di sebuah kotak berbahan papan triplek berjalan, yang dinamakan Mobil Library.
“Kami ingin menyebarkan semangat literasi kepada anak-anak di sini,” ungkap Founder Sikolatta Oktavianna Winda saat ditemui di Tanah Lapang Jalan Dahlia, Medan Maimun, Kota Medan, Senin (12/11/2018).
Mobil Library berisikan komik dan buku-buku pelajaran ini pertama kali dibuka di depan anak-anak yang telah berkumpul di sana. Bekerja sama dengan mahasiswa Fakultas Teknik Kimia USU stambuk 2014 dan 2017, kegiatan Sikolatta ini disambut oleh antusias sekira 20 anak-anak. Keika pintu mobil terbuka, mereka lantas berebut untuk menemukan bacaan favoritnya dan membaca bersama.
“Saya pernah punya pengalaman, ada anak-anak yangbsemangat sekali ketika ingin diberi buku. Kolaborasi ini (dengan mahasiswa Teknik Kimia) juga mewujudkan mimpi yang lama,” tutur Okta.
Dengan adanya Mobil Library ini, Okta ingin anak-anak yang dianggap terpinggirkan punya semangat dan punya kepercayaan diri bahwa mereka punya mimpi.
“Terlepas dari keterbatasan entah itu ekonomi, lingkungan atau orangtua, saya ingin mereka tetap punya mimpi yang bisa diwujudkan,” ujarnya.
Mobil Library ini akan dititipkan satu minggu di Kampung Badur dan satu minggu di Mangkubumi. Para anak-anak yang mau membaca boleh meminjamnya. Sikolatta sendiri adalah program sosial penerima Beasiswa XL Future Leader yang diwajibkan membuat sosial innovation projek.
“Sikolatta ini social entreprise project dari saya dan tiga orang teman saya lainnya,” terang Okta.
Okta dan 20 teman relawannya mengajarkan minat dan bakat yang sesuai dengan anak-anak pinggiran miliki. Mereka belajar berenang, menggambar, bermain basket dan bermain bola. Sikolatta yang berasal dari bahasa Batak, Sikola dan Hita, bukan hanya mengajar anak-anak pinggiran. Mereka juga menghasilkan produk-produk yang melibatkan anak-anak dalam proses pembuatannya.
“Kemarin kita buat kotak pinsil dari kain. Kita ajarkan anak-anak untuk menjahir. Keuntungan dari penjualannya kita berikan untuk anak-anak lagi,” tambah Okta.
Okta yang menganggap anak pinggiran sebagai invisible hero, berharap dapat berbuat lebih lagi bagi anak-anak pinggiran. Ia ingin membuktikan anak-anak pinggiran mampu dan bisa berkembang sesuai minat dan bakat mereka.
sumber : tribun medan