Lakukan Kampanye, Aktivis Sirkam dan APIK Medan Tuntut Pengesahan RUU Anti Kekerasan

Sejumlah Komunitas dan Organisasi yang yang peduli terhadap kekerasan terhadap perempuan mengdakan puncak acara dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Lapangan Merdeka, Minggu (9/12/2018).

Komunitas seperti Sirkulasi Kreasi Perempuan (Sirkam), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Medan dan musisi menjadi bagian dalam kegiatan.

 Koordinator Pelayanan dan Bantuan Hukum LBH Apik Medan Rasina Padeni Nasution SH MH mengatakan hari ini adalah hari ke-15 dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

“Kita aksi long march, panggung seni, dan ada beberapa bahan kampanye yang disiapkan oleh Sirkam. Ini adalah rangkaian aksi sebelunya dari roadshow ke media, diskusi publik di FISIP USU,” jelasnya.

Isu yang mereka gaungkan selama 16 hari ini adalah tuntutan agar segera disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Anti Kekerasa Seksual.

“Masyarakat harus tahu kalau ada RUU yang harus disahkan dan itu penting. Setiap satu jam, ada tiga perempuan yang menjadi korban kekerasa seksual. Tahun 2018 ini ada 21 kasus yang ditangani oleh LBH Apik, belum dari lembaga lain,” terangnya.

Kasus tersebut diungkapkan Rasina tidak hanya berasal dari luar lingkungan, tetapi dari domestik. Terjadi di ranah keluarga seperti kekerasan dari ayahnya, paman dan suami.

“Mindset masyarakat kalau sudah berkeluarga boleh dieskploitasi. Orang enggak faham. Kan, kalau ada penyakit, akan terkena ke si perempuan,” lanjutnya.

RUU Penghapusan Kekerasan seksual ini tidak hanya berbicara mengenai hukum acara dan sangksi. Namun, ada pemulihan terhadap korban baik dar psikis dan ekonomi.

“Sebulumnya, korban masuk dalam objek. Ketika menjadi korban dan melapor, polisi hanya akan meminta laporannya. Tidak ada pemulihan kehidupan pribadinya setelah itu. Saat ini, RUU tersebut menempatkan korban sebagai subjek. Ada upaya pemulihan lebih kompleks. Pelaku juga mendapatkan bantuan psikologi.

RUU Penghapusan Kekerasan seksual bukan untuk perempuan saja. Tetapi untuk semua golongan. Baik itu laki-laki dan perempuan. Anak-anak, orang dewasa, ideologi gender apapun.

“Kita masih menganggap tabu hal ini. Anak-anak tidak diberi edukasi bagian mana yang tidak boleh disentuh, apa yang harus dilakukan,” jelas Rasina.

 RUU yang selama ini diperjuangkan akan fokus pada pemulihan dan hukum acara berspektif korban. Menurut Rasina sebenarya negara sudah hadir dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) namun, belum maksimal karena LPSK hanya ada di pusat Jakarta.

“Kenapa kita sangat mendesak, problemnya ini sudah mau memasuki 2019. Legislatif akan berganti. Artinya advokasi yang dilakukan dari 2015 akan mengulang kembli dari awal. Untuk itu ini harus disadarkan ke semua orang untuk ikut memperhatikan ini,” lanjutnya.

Baginya, berbicara mengenai kekerasan seksual bukan berkata tentang adat, budaya maupun agama tetapi tentang otak dan pemikiran. RUU ini sangat penting untuk disahkan. Kalaunpun hari ini bukan dirimu, bagaimana kalau besok saudaramu. Hari ini akan menetukan esok hari.

Kampanye kekerasan terhadap perempuan harus dihapuskan sebagai rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, sejak tanggal 25 November 2018 sampai 10 Desember 2018. Kampanye ini dilakukan secara internasional dengan mengusung berbagai tema dan berbagai kegiatan.

Sumber : Tribun Medan
Penulis: Nanda Rizka Nasution
Editor: Fahrizal Fahmi Daulay

 

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *