MAWWS, Komunitas Penulis Perempuan asal Malang yang Menggugat Streotip

Malang Women Writers’ Society (MAWWS) atau Perhimpunan Penulis Perempuan (asal) Malang ini berbeda dengan komunitas penulis pada umumnya. Selain anggotanya mayoritas perempuan, komunitas ini juga berusaha melawan stereotip kultur budaya dalam karya sastra dan media arus utama. 
Seperti apa maksudnya? Komunitas ini masih memiliki 6 anggota dan baru diresmikan Sabtu (9/2/2019) siang tadi. Kendati demikian, mimpi komunitas ini begitu besar.
Yakni melalui sebuah karya, mencoba menciptakan sebuah pandangan asli budaya dan menggugat stereotip-stereotip yang ada.

Komunitas ini digawangi oleh sang founder Aquarina Kharisma Sari (novelis), serta 5 rekan co-founder yakni Fitrahayunitisna (dosen dan peneliti), Isti Hasan (cerpenis), Dika Sri Pandanari (mahasiswi pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM)), Firdausya Lana (mahasiswi pascasarjana UM), dan Eva Ria Fransiska (guru dan peneliti).

Founder MAWWS Aquarina Kharisma Sari mengatakan, banyak karya cerita yang dianggap merendahkan perempuan, atau membuat stereotip terhadap suatu budaya atau kelompok tertentu.
Hal itulah yang ingin mereka benahi, yakni dengan karya sastra dan pandangan yang berbeda. Rina, sapaan akrabnya, mencontohkan sebuah cerita film Inem Pelayan Seksi yang menstereotipkan perempuan Jawa dengan pakaian kebaya, ndeso, sedangkan sang majikan berpakaian ala barat.
”Jadi saat ini hanya ada narasi tunggal, oleh karena itu kami ingin ada narasi-narasi lainnya,” terang perempuan yang berprofesi sebagai penulis dan penerjemah ini. Dirinya menjelaskan bahwa narasi tunggal tersebut adalah cerita-cerita dengan stereotip terhadap budaya tertentu saja, dan ditulis oleh seorang yang bukan dari daerah atau mengerti suatu budaya tersebut.
Hal itupun menjadi tagline komunitas tersebut. Yakni “Menggugat narasi tunggal dalam sastra dan media arus utama.” Proses mendirikan komunitas inipun bisa tergolong sangat cepat, yakni kurang lebih 4 bulan saja sejak akhir tahun lalu lalu. Yakni berawal dari Kafe Pustaka UM (Universitas Negeri Malang) sekitar bulan September lalu.
Berkumpul, berbagi ide dan gagasan, dan idealisme. Tak hanya itu, Aquarina juga menuturkan bahwa komunitas itu dilatari oleh seorang novelis Amerika, yakni Toni Morrison. ”Jadi saat itu ada job menerjemahkan buku Karya Toni Morrison berjudul Home. Dan saya tahu bahwa ternyata penulis novel itu adalah perempuan Amerika keturunan Afrika,” imbuhnya di sela-sela launching komunitas ini di Toko Buku Toga Mas, Kota Malang. Yang membuatnya terheran adalah genre dari novelis tersebut, yakni literatur african-american (orang Amerika keturunan Afrika).
“Jadi saya sadar bahwa novelnya selalu konsisten menceritakan tentang kehidupan perempuan Amerika keturunan Afrika,” imbuh perempuan kelahiran Malang, Januari 1984 itu. Ia menjelaskan bahwa banyak kisah dan karya sastra yang menceritakan suatu daerah seperti pedalaman Papua, masarakat Sumbawa ternyata banyak produk dari orang Jakarta, pusat arus media utama. ”Jadi Jakarta bercerita, tidak hanya tentang kaum urban, namun juga bercerita tentang orang-orang luar, dari sudut pandang mereka sendiri, dan dengan narasi mereka sendiri,” gugatnya.
Dirinya juga mengkritisi bahwa narasi cerita dalam media arus utama itu seakan memberikan standar sendiri. Ia mencontohkan cerita tentang Islam dibuat berstandar metropolis di Jakarta, dan Islam yang berada di pedalaman Jawa dianggap sebagai klenik.


Para Founder dan Co Founder MAWWS dalam sebuah sesi foto, beberapa waktu lalu (foto: MAWWS for tugumalang.id)

Oleh karena itu, dengan komunitas MAWWS itu, dirinya dan lima orang pendirinya itu ingin agar budaya lokal itu dapat mencerinkan budaya melalui karya tulisan baik fiksi maupun non fiksi yang ada.

Tanpa campur tangan orang luar. ”Kalau kami tentu fokusnya ingin menguatkan Malang. Karena aku cinta Kota Malang, dan menguatkan Jawa Timur sebagai sebuah kultur.
Jadi kami ingin bernarasi sendiri dalam hal apapun,” imbuh alumnus jurusan Bahasa Asing Universitas Negeri Surabaya itu. Dirinya juga menegaskan bahwa komunitas itu bukanlah komunitas pejuang gerakan feminis.
Melainkan hampir semua stereotip budaya yang ada saat ini. “Jadi ada yang bilang kami feminis, tapi saya tegaskan kami bukan penganut feminisme. Kami hanya ingin masyarakat tidak hanya berpacu pada narasi tunggal. Jadi setiap daerah dan budaya bisa bernarasi sendiri-sendiri,” tegas alumnus SMAN 8 Malang itu. Sementara itu, Guru Besar Sastra Universitas Negeri Malang (UM) Prof Djoko Saryono yang hadir dalam acara tersebut menyambut positif terkait launching acara komunitas yang digawangi oleh 6 perempuan tersebut.
”Ini mungkin bisa saya sebut sebagai Enam Srikandi. Dan ini bisa menjadi sebuah variasi. Baik di Malang atau tempat lain,” terang Djoko. Tak hanya itu, ia juga menyarankan bahwa nantinya anggota komunitas tersebut tidak hanya saja berawal dari Malang saja, melainkan juga bisa dari luar daerah.
“Menurut saya bagi siapa yang berkarya, mengambdi, dan menghormati Malang bisa bergabung dengan komunitas ini (MAWWS),” sambungnya. Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa didirikan komunitas penulis perempuan itu adalah suatu hal yang bermanfaat. “Ini sesuatu yang positif, kita tunggu kiprah nyatanya dengan karya-karyanya,” tutupnya.
Reporter : Gigih Mazda Editor : Irham Thoriq
Sumber : Kumparan
Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *