Berdiri sejak 23 Oktober 2016, Komunitas Arek-arek Tuli (Kartu) Surabaya menjadi komunitas yang mewadahi para teman Tuli untuk saling mengembangkan potensinya.
Ardisa Daras Dewi, ketua Kartu Surabaya menuturkan, komunitas ini awal mulanya diinisiasi oleh Bunga Islami yang menjabat sebagai ketua Kartu Surabaya 2016 – 2018.
Yang melandasi terbentuknya komunitas ini, tutur Josephine Kintan, wakil ketua Kartu Surabaya, ialah karena adanya hambatan teman Tuli dalam mengembangkan potensinya di masyarakat.
“Selain itu juga untuk mengurangi diskriminasi yang ada selama ini. Serta karena adanya hambatan berkomunikasi antara Tuli dan masyarakat,” ungkap Josephine.
Dengan adanya komunitas ini, tutur Josephine, Kartu Surabaya berharap anak-anak muda Tuli dapat menentukan masa depannya sendiri, memiliki potensi, serta mengetahui identitas mereka sebagai Tuli.
“Misi kami adalah merancang program dukungan terhadap anak Tuli serta sebagai fasilitator. Kami juga ingin menumbuhkan empati dan kesadaran sosial untuk mewujudkan hak, identitas, dan budaya Tuli bagi para Tuli,” jelas Josephine.
Selain itu, lanjutnya, Kartu Surabaya memiliki misi sebagai jembatan antara Tuli, Dengar, dan masyarakat.
Kegiatan rutin yang digelar oleh komunitas ini, tutur Ardisa, adalahkelas Bahasa Isyarat Bisindo Indonesia (Bisindo) untuk mahasiswa atau masyarakat umum yang biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu.
“Selain itu juga ada sosialisasi Bisindo yang kami gelar setiap Minggu pagi ketika Car Free Day di dekat Taman Bungkul. Kami laksanakan sekitar jam 06.00 hingga 09.00,” tutur Ardisa.
Anggota Kartu Surabaya, tutur Josephine, merupakan para Tuli. Apabila teman Dengar ingin bergabung, lanjutnya, dapat melalui pembukaan relawan.
“Biasanya pendaftaran pembukaan relawan akan kami informasikan melalui akun instragram @kartusurabaya,” jelas Josephine.
Namun, sebelum mendaftar sebagai relawan, sebaiknya berlatih Bahasa Isyarat terlebih dahulu.
“Setelah bisa, baru bergabung sebagai relawan. Biasanya latihan abjad dalam Bahasa Isyarat,” Ardisa menambahkan.
Menurut Ardisa, Kartu Surabaya sangat membantu teman-teman Tuli dalam berkomunikasi.
“Dulu banyak hambatan teman-teman. Kami susah berkomunikasi. Tidak ada teks dan tidak ada penerjemah ketika belajar (di sekolah atau universitas). Ini merupakan hambatan,” jelas Ardisa.
Oleh karena itu, lanjutnya, Kartu Surabaya membuat ide pendaftaran relawan baru agar bisa membantu akses teman Tuli. Hal ini agar para Tuli semakin nyaman dalam berkomunikasi.
“Kami masih proses berkembang, beberapa kali kami belum bisa kumpul karena ada yang masih kerja atau kuliah,” tutur Ardisa.
Meski demikian, para anggota tidak berhenti untuk berjuang di Kartu Surabaya.
“Menurut saya, yang dibutuhkan teman-teman Tuli yaitu aksesibilitas fasilitas umum, subtittle di TV (berita, film, maupun program TV lainnya) dan aksesibilitas dalam pekerjaan sehingga anak-nak Tuli dapat produktif (bekerja) tanpa diskriminasi,” tutur Josephine.
Baik Ardisa maupun Josephine berharap agar teman-teman Tuli sering-sering kumpul dan berdiskusi.
“Kalau Tuli harus sering-sering kumpul nongkrong, rapat, diskusi penting biar senang. Bisa kompak. Jangan pisah, harus kompak selalu,” tutur Josephine.
Selain itu, lanjut Ardisa, berkumpul dapat membawa manfaat, ilmu baru, serta beraneka pengalaman mengenai apa saja.
Artikel ini telah tayang di Tribun Surabaya.
Penulis: Christine Ayu Nurchayanti
Editor: Eben Haezer Panca