Komunitas Reenactor Indonesia, Ketika Penggila Sejarah Hidupkan Lagi Soekarno hingga Tentara Nazi

Begitu banyak peristiwa sejarah di masa lampau yang meninggalkan kesan tersendiri bagi sebagian orang. Ada yang terkesan dengan momen saat Soekarno membacakan teks proklamasi, momen ketika pecah Perang Dunia II, atau pembacaan sumpah pemuda.

Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengenang momen sejarah yang berkesan tersebut. Salah satunya melalui komunitas bernama Komunitas Reenactor Indonesia.

Reenactor berasal dari kosa kata Bahasa Inggris yakni reenact yang artinya menghidupkan kembali. Sehingga, reenactor dapat diartikan sebagai seseorang yang menghidupkan kembali momen-momen sejarah tertentu.

Cara yang dilakukan untuk menghidupkan kembali momen bersejarah. Bukan sekedar diskusi warung kopi atau koleksi benda sejarah, tetapi para pecinta sejarah ini membuat suatu reka adegan peristiwa bersejarah lengkap dengan mengenakan pakaian-pakaian yang ada pada masanya.

Seperti apa kegiatan komunitas ini?

Kompas.com berkesempatan mewawancarai salah satu anggota Komunitas Reenactor Indonesia bernama Ullifna Tamama pada Selasa (16/7/2019) lalu.

Tama menceritakan dirinya bergabung sebagai anggota Komunitas Reenactor Indonesia sejak tahun 2015. Sementara itu, komunitas tersebut telah berdiri sejak tahun 2008.

Komunitas itu didirikan atas dasar kesamaan hobi yakni mencintai sejarah, mengoleksi pakaian momen sejarah tertentu, serta melakoni reka ulang momen sejarah tertentu.

“Komunitas Reenactor ini cakupannya luas hampir menyeluruh se-Indonesia. Pada dasarnya komunitas ini terbentuk karena memiliki hobi yang sama yakni menyukai sejarah dan keinginan untuk menggunakan seragam melakoni adegan dalam momen sejarah tertentu,” kata pria yang akrab disapa Tama tersebut.

Anggota komunitas tak hanya mempelajari sejarah melalui internet atau buku begitu saja, mereka juga menghidupkan kembali suatu peristiwa sejarah.

Caranya dengan memerankan adegan suatu peristiwa sejarah dan mengenakan pakaian yang mencerminkan momen sejarah itu.

“Saat memerankan adegan itu, kita tidak hanya asal mereka ulang saja. Kita juga mempelajari nilai sejarahnya,” ujar Tama.

Salah satu kegiatan yang baru dilakukan adalah melakukan sesi foto reka ulang perjuangan pergerakan pemuda Indonesia dengan tema Boedi Oetomo dan Siswa STOVIA di Museum Kebangkitan Nasional tanggal 13 Juli lalu. Mereka juga pernah memerankan momen Perang Dunia II lengkap dengan mengenakan atribut tentaranya.

Tama menjelaskan, anggota komunitas biasanya mendapatkan baju-baju tersebut dari kolektor sejarah di Indonesia maupun luar negeri.

“Kalau tahun 2008, sistem komunikasi kan masih terbatas, enggak seperti jaman sekarang makanya kita memanfaatkan informasi forum-forum kolektor di surat kabar. Sekarang kan sudah serba online, jadi kita memanfaatkan internet untuk mencari pakaian,” ujar Tama.  Tak jarang, anggota komunitas harus rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan pakaian sejarah yang diinginkan sebelum melakoni reka ulang.

Tama menyebut, pakaian yang sulit didapatkan adalah pakaian tentara Jerman pada Perang Dunia II.

Anggota komunitas harus rela mengimpor pakaian tersebut dari negera asalnya, Jerman. Tak jarang, pakaian yang mereka dapatkan telah mengalami kerusakan pada bagian tertentu.

Menurut Tama, pakaian yang dikoleksi tak harus pakaian asli yang dikenakan oleh tokoh sejarah tertentu.

Mereka dapat membeli pakaian yang memiliki tingkat akurasi dan kecocokan yang sama persis dengan pakaian kala itu.

“Bedanya komunitas Reenactor dan cosplay biasa adalah kita enggak sembarang membeli dan mengoleksi pakaian. Walaupun tujuannya sama untuk diabadikan dalam foto, tapi kita benar-benar ingin semuanya sama seperti yang dipakai saat momen itu. Misalnya pelajar STOVIA dulu memakai dasi kupu-kupu, maka kita harus memakai seperti itu juga,” jelas Tama.

“Kita enggak asal pakai atau membeli pakaian karena kita tidak ingin mengabaikan nilai sejarahnya. Boleh saja sih kalau pakaian itu merupakan produksi ulang, tapi harus memiliki tingkat kecocokan hampir 99 persen dengan pakaian kala itu,” lanjutnya.

Tama mengatakan, Komunitas Reenactor Indonesia tak memiliki agenda rutin untuk kopdar (berkumpul) karena masing-masing anggota memiliki kesibukan berbeda. Mereka biasanya hanya mengatur agenda melalui grup aplikasi pesan singkat WhatsApp untuk menentukan jadwal pertemuan atau pertunjukan.

“Anggota kita kan ada yang mahasiswa, karyawan swasta, jadinya sulit untuk menentukan jadwal kumpul. Kita fleksibel aja asalkan tetap saling sharing (berbagi) dan berkomunikasi melalui grup WhatsApp,” ungkap Tama.

Penulis : Rindi Nuris Velarosdela
Editor : Sabrina Asril

Artikel ini telah tayang di KOMPAS.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *