Sorasirulo Community Meditation, Komunitas Penjaga Warisan Aksara Karo

Berawal dari pertunjukkan seni tradisional Karo yang tampil di desa ke desa di Kawasan Delitua pada tahun 2008, sebuah Komunitas bernama Sorasirulo Community Meditation (SCM) menjelma menjadi sebuah sekolah untuk mempelajari kembali Aksara Karo.

SCM ingin menjaga warisan bahasa tertulis milik orangtua.

Tepat pada 2017, SCM membentuk sebuah les aksara Karo di Pasar 1, Setiabudi Medan, Kecamatan Medan Selayang.

SCM pun mengajarkan 25 anak-anak dari latar belakang suku dan agama berbeda terkait teknik menulis dan membaca Aksara Karo.

“Kita bekerjasama dengan Museum Sumatera Utara, waktu itu. Ada juga bantuan dari pihak Vihara untuk membantu operasional les Aksara Karo ini. Tetap saja, karena kita kekurangan buku atau naskah kegiatan belajar mengajar menjadi tersendat,” ujar Ita Ulina Tarigan yang merupakan salah satu penggagas SCM.

Tantangan-tantangan lainnya seperti kesibukan anak-anak dan mentor, alhasil SCM bubar. Padahal imbuh, Ita, kehadiran SCM seperti semangat baru belajar Aksara Karo.

“Dan karena kesibukan -kekurangan itu kami terpaksa harus membubarkan diri. Sekarang masing-masing diantara kami mengajar di tempat masing-masing,” ujar Ita.

Dalam waktu dekat Ita dan teman-teman dari eks SCM akan membuat sebuah buku yang berisi materi-materi mempelajari Aksara Karo.

Diharapkan buku ini nantinya memudahkan generasi muda untuk menguasai teknik penulisan warisan Bangsa Karo tersebut.

Sebagai seorang generasi yang bertanggung jawab dengan adat istiadatnya, Ita Apulina pun tahun ke tahun mempelajari Aksara Karo.

Ia belajar sampai 15 tahun dan bahkan sempat dipanggil oleh Perpustakaan Leiden salahsatu tempat penyimpanan arsip sejarah di Belanda.

Kedatangan Ita, pada tahun 2017 tak lain adalah untuk menerjemahkan Aksara Karo yang tertulis dalam sebuah kayu alim.

“Jadi saya dipanggil ke sana itu untuk menerjemahkan sebuah naskah kuno asal Sumatera Utara, Jadi mereka (orang belanda) hanya tahu Sumut ini hanya ada Suku Batak saja. Padahal ternyata naskah itu adalah Aksara Karo,” katanya.

Ita dan beberapa teman pegiat Aksara Karo di Belanda menemukan adanya perbedaan yang mendasar antara Aksara Karo dengan Aksara Batak.

“Kalau saya sendiri melihat antara kedua aksara ini perbedaannya ada pada huruf (ta). Itu berbeda. Memang untuk mengujinya mesti beberapa kali dibaca baru tahu, ini lho rupanya bedanya,” ujarnya.

Selain itu, perbedaan gaya penulisan masing masing orang membuat penerjemahan Aksara Karo menjadi lebih sulit.

Teranyar dirinya menemukan sebuah naskah beraksara Karo yang justru bukan merupakan naskah kuno Nenek Moyang.

“Jadi kita menemukan sebuah naskah buatan tahun 1928 yang isinya merupakan reportase milik seorang peneliti. Kita sempat bingung, apakah ini tulisan kuno atau bukan karena penulisannya berbeda. Ini juga menjadi tantangan untuk kita,” tambahnya.

Aksara Karo memiliki dua bagian yaitu Indung Surat (Induk Surat) yang berisi 21 huruf atau tanda.

Kemudian bagian lainnya adalah tanda pengubah yang berisi huruf huruf vokal seperti A-I-U-E-O yang disematkan untuk merangkai sebuah kata.

Selanjunya, untuk menuliskan sebuah kalimat dalam Aksara Karo, setiap tanda/huruf didekatkan untuk membentuk sebuah kata.

Ketentuan lainnya, Aksara Karo tidak mengenal spasi seperti penulisan pada ejaan Indonesia. Semua kata hanya perlu didekatkan saja.

“Jadi kalau merujuk Aksara Karo kuno sendiri itu gak ada spasinya seperti bahasa Indonesia. tapi memang untuk belajar kita agak buat spasi lah agar lebih mudah,” katanya.

Penulis: Alija Magribi
Editor: Royandi Hutasoit

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *