Komunitas Bugar Di Tengah Pusaran Digital

JAKARTA – Wajah cerah bersinar tampak pada paras Anggiea Pracasti Adriningrum (43). Kulit putih kencang dengan rona segar, makin tampak saat berpadu dengan senyumnya yang manis. Ya, meski sudah berkepala empat, tubuh dari penerjemah lepas itu tetap terlihat bugar dan lincah.

Bukan sulap, bukan sihir, Anggi, begitu ia biasa dipanggil, memperoleh kebugaran dengan sejumlah usaha. Selama ini, ia menjadi pegiat Komunitas Yoga di Depok. Tak hanya aktif mengolah raga bersama komunitas tersebut, Anggi juga aktif menjadi pengurus komunitas tersebut. Tepatnya, ia didapuk sebagai pejabat hubungan masyarakat (humas) komunitas tersebut.

Menurut penuturannya, kegiatan yoga adalah aktivitas olah tubuh dan pikiran yang fokus pada kekuatan, fleksibilitas, dan pernapasan untuk meningkatkan kualitas mental dan fisik. Postur atau rangkaian gerakan dan pernapasan, adalah dua komponen utama dari olahraga ini.

Komunitas Yoga Depok sampai saat ini masih eksis dan bisa dilihat pada setiap hari Minggu, jam 7 pagi, di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI). Anggi sendiri menjadi bagian dari Komunitas Yoga Depok sejak awal komunitas ini berdiri pada tahun 2016.

Ketika ditemui Validnews di Little Grand Craft, Depok, Senin (26/8) siang, ia menuturkan kisah perjalanan komunitas yoga yang dia geluti. Awalnya, ia mencari kegiatan yoga atas rekomendasi seorang dokter.

Nah, kebetulan waktu itu pegiat yoga senior, Didot Halim, memberikannya undangan untuk mengikuti kegiatan yoga pada Minggu (31/7/2016), melalui akun Facebook Yoga Gembira, sebuah komunitas yoga yang berkegiatan di Taman Suropati, Jakarta.

Undangan acara yang ditawarkan Didot bertempat di Balairung UI. Kebetulan, Anggi tinggal di Depok, ia pun memutuskan mengikuti kegiatan yang kemudian bertumbuh menjadi komunitas yoga pertama di Depok. Dari situlah, Anggi terus menekuni kegiatan yoga itu hingga kini.

“Waktu itu latihan pertama tanggal 31 Juli 2016, 3 tahun lebih, dimulai dari pesan Mas Didot Halim yang kita anggap sebagai founder komunitas yoga Depok,” katanya.

Berawal dari kegiatan di Balairung kampus kuning, komunitas ini terus berkembang dan hadir setiap hari Minggu, jam 7 pagi di wilayah UI. Proses awal dari komunitas ini, tutur Anggi, masih banyak diisi oleh Didot sendiri sebagai guru yoga, sekaligus founder.

Kemudian, Didot mengajak teman-teman pegiatnya untuk mengisi pelatihan yoga di komunitas tersebut agar kegiatan komunitasnya terus berjalan. Tujuannya, kata Anggi, mengampanyekan hidup sehat di kalangan masyarakat Depok. Sekaligus, memperkenalkan yoga kepada masyarakat sebagai olahraga yang terbuka untuk siapa saja.

Dalam kegiatannya, komunitas ini juga membangun jejaring bersama komunitas yoga lainnya dan beberapa sanggar pelatihan. Dengan begitu, para anggota juga bisa mendapat harga khusus ketika ada suatu event yoga.

Suatu kali, komunitas ini sempat membuat kegiatan bersama dengan Perkumpulan Indonesia Berseru, sebuah lembaga yang mendedikasikan karyanya untuk kampanye perubahan sosial. Selain itu, juga terlibat dalam kegiatan yang digelar sebuah provider yang melibatkan berbagai komunitas yoga se-Jabodetabek.

Komunitas yoga di luar ruangan pertama yang dimiliki Depok ini juga menjadi pengisi acara perayaan Sumpah Pemuda dan World Mental Health Day, Oktober tahun lalu.

“Acara tersebut dipandu oleh Mas Didot Halim dengan tema yang menyiratkan yoga yang menyenangkan dan menyehatkan yang bisa diikuti oleh siapa saja, terbuka untuk segala kalangan, usia, jenis kelamin dan bentuk tubuh,” jelasnya.

Anggi menegaskan, selama tiga tahun, komunitasnya selalu mengadakan kegiatan yoga rutin setiap minggu. Ia mengakui komunitasnya jarang libur dari kegiatan olahraga ini.

“Kita itu jarang libur loh, sampai bulan puasa aja ada ngabuburit yoga, kita geser dari jam 4 sampai sebelum Magrib,” imbuhnya.

Alhasil, dengan rutinitas dan komitmen pegiat awal yang selalu konsisten, komunitas ini terus berkembang. Jika awalnya mereka membutuhkan guru yoga, kini mereka justru “kebanjiran” guru. Sebab, komunitasnya membebaskan para pengikutnya untuk mengikuti kegiatan sanggar atau pun pelatihan yoga lainnya.

Jadi, para pengikut komunitas juga bisa memberikan hasil materi latihannya dari tempat lain, untuk diajarkan di komunitas tersebut. Hingga kini, total guru yang pernah mengajar di komunitas yoganya sudah lebih dari 100 guru.

Berbeda dari sanggar atau pelatihan yoga lainnya yang mengutip bayaran tertentu untuk setiap latihan yang mendatangkan guru, di komunitasnya, kata Anggi, anggotanya dipersilahkan memberikan donasi sukarela untuk guru yoga dalam setiap sesi latihannya.

“Guru-guru itu mau berdarma di komunitas dengan fee by donation. Setiap habis sesi, kita kasih goody bag. Mereka (red: anggota) kasih seikhlasnya mereka,” ungkapnya.

Justru dengan metode-metode yang lebih cair itulah, jumlah anggota komunitasnya terus bertambah. Hingga kini, Anggi menyebut jumlah total anggota komunitasnya yang ada di grup media sosial hampir mencapai 100 orang.

Sementara untuk kegiatan rutinitas, jumlah anggota yang rutin datang latihan tiap minggu bisa mencapai 40 orang. Dari 40 orang tersebut, ia menyebut 75% anggotanya adalah emak-emak. Sisanya, ada anak muda dan laki-laki juga terlibat dalam kegiatan ini.

“Mayoritas ibu-ibu, tapi laki-laki banyak juga. Yang ABG (anak muda.red) juga ada,” katanya.

Ajang Sosialisasi
Kisah Anggi serupa dengan cerita yang dituturkan Achmad Yunan. Bedanya jika Anggi bergelut di dunia yoga dengan gerakan yang cenderung pelan, Yunan bergelut dengan olahraga keras yang menitikberatkan pada kelincahan dan kekuatan gerak. Pria ini menjadi anggota di Komunitas Parkour Jakarta.

Dari penuturannya, komunitas ini muncul karena inisiatif anak-anak muda yang ingin melakukan kegiatan parkour. Untuk diketahui, kegiatan parkour adalah seni halang rintang yang diadaptasi David Belle, seorang aktor Prancis. David Belle menginovasikan kegiatan halang rintang militer itu melalui berbagai teknik.

Yunan melanjutkan, inisiatif anak muda itu berasal dari video parkour yang tersebar di sosial media. Apalagi muncul orang Indonesia yang mengikuti kegiatan parkour di forum internasional.

Atas dasar itulah, mereka membentuk komunitas Parkour Jakarta pada 29 Agustus 2007 dengan tujuan menekuni kegiatan parkour. Yunan sendiri ikut komunitas ini sejak 2010.

Sebagai informasi, kegiatan komunitas ini masih ada dan bisa dilihat setiap hari Minggu, jam 9 pagi, di Taman Puring dekat Blok M, Jakarta, untuk biaya latihannya gratis.

Komunitas Parkour Jakarta, lanjutnya, terdiri atas dua bagian, anggota dan non-anggota. Kata Yunan, anggota adalah pengurus komunitasnya, mulai dari ketua hingga pemateri. Sementara, non-anggota adalah orang-orang komunitas yang sekadar latihan parkour.

Komunitasnya sendiri mengampanyekan parkour melalui sosial media dengan meunggah aksi mereka. Tapi, sepanjang pengalamannya, kegiatan parkour memang mengalami perkembangan yang naik turun.

Sejak Yunan ikut komunitas ini, hal yang baginya berkesan adalah saat kegiatannya masih berada di Taman Widaloka, Senayan 2012 silam. Kala itu, seingat dia, pegiat yang datang saat latihan bisa mencapai sejumlah 100 orang.

Namun, tak ada gading yang tak retak; komunitas ini pun turut menghadapi gejolak sepanjang berkembang. Kini, jumlah yang ikut hanya sekitar 10 hingga 25 orang setiap Minggu. Yunan mengatakan, para pegiat komunitas parkour yang konsisten ikut latihan, terseleksi secara alami.

Penyebab dari adanya seleksi alam ini adalah bobot latihan yang terlampau berat, mengingat latihan parkour melibatkan fisik secara keseluruhan. Para pegiat, banyak yang merasa kewalahan dengan bobot latihan. Hal ini menjadi pertimbangkan kembali untuk menggelutinya secara serius.

“Jadi, kalau yang benar-benar suka, ya akan lanjut. Yang kaget badannya atau kecapean, enggak datang lagi,” kata dia saat dihubungi Valildnews, Selasa (27/8).

Baik Yoga maupun parkour, keduanya merupakan bagian dari berbagai macam komunitas olahraga di Indonesia. Tujuannya sama, menggelar aktivitas untuk menjaga kebugaran dalam setiap pertemuannya.

Sebagai pegiat yoga di komunitasnya, Anggi merasa olahraga yang ditekuninya itu memberikan banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Mulai dari pola tidur yang teratur, sirkulasi tubuh, dan juga mood yang lebih bagus dialaminya setelah menekuni yoga.

Tak hanya itu, ia juga mendapatkan filosofi hidup dari yoga, seperti hidup sabar dan bersahaja. Manfaat yoga menurutnya juga bisa mengajarkan manusia untuk bersabar, dalam menghadapi proses kehidupan yang berjalan selangkah demi selangkah. Dengan yoga, ia belajar semua hal harus melewati sebuah proses.

Hal lainnya, kata Anggi, yoga mengajarkan orang untuk tidak membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. “Bedanya dengan olahraga lain, yoga lebih dalam filosofinya,” serunya.

Senada, Yunan pun merasa badannya lebih bugar saat berkegiatan parkour di komunitasnya. Pria yang memiliki penyakit asma sejak kecil itu, bahkan bisa menjadikan olahraga parkour sebagai terapinya. Sejak menekuni parkour, ia merasa napasnya justru lebih plong.

“Nah semenjak rutin parkour, alhamdulillah nafas lebih baik, jauh lebih baik dari sebelum rutin,” katanya.

Aktivitas Luar Ruang
Sejatinya, kemunculan komunitas-komunitas olahraga yang bertujuan untuk hidup sehat, ini tak lepas dari sifat dasar manusia. Pengamat gaya hidup Syahmedi Dean mengatakan, munculnya fenomena berbagai komunitas ini adalah bagian dari naluri manusia sebagai makhluk sosial.

Fenomena ini semakin terbentuk dengan perkembangan teknologi mutakhir yang menolong mereka secara alami memilih kelompok komunitas, sesuai dengan minatnya.

“Pada dasarnya, manusia itu makhluk sosial, senang bersosialisasi. Dengan adanya teknologi, masing-masing manusia ini berkumpul sesuai dengan interest-nya,” kata Syahmedi saat dihubungi Validnews, Selasa (27/8).

“Teknologi itu membantu mengiris kelompok sesuai minatnya,” tambahnya.

Dari berbagai macam keinginan bersosialisasi itulah, kata Syahmedi, terbentuk berbagai macam komunitas yang bermacam-macam, seperti komunitas di bidang kecantikan, film, dan juga musik.

Fenomena ini juga terpengaruh dari luar negeri. Syahmedi berpandangan, fenomena ini pengaruhnya sama seperti agama dan musik yang berasal dari luar. Fenomena tersebut berkembang terlebih dahulu di luar negeri, kemudian berkembang ke wilayah Asia.

Namun, karena populasi di Asia lebih banyak dibanding benua lainnya, Syahmedi mengatakan, jumlah komunitas yang terbentuk jadi lebih banyak.

Syahmedi meyakini, sebenarnya eksistensi komunitas lebih bertujuan untuk ajang sosialisasi antar anggota, dibanding gaya hidup maupun manfaat kesehatan. Dari sosialisasi itulah, kata dia, mereka berkumpul untuk mengembangkan diri sesuai dengan hobi yang sama.

Sementara, gaya hidup dalam komunitas itu dianggap Syahmedi hanya sebagai ekspresi, bukan suatu hal yang dominan. Seperti pada komunitas K-Pop, sepeda, memancing, Syahmedi menganggap mereka yang tergabung dalam komunitas tersebut, butuh berkumpul untuk tukar menukar informasi untuk saling memecahkan masalah atas dasar minat yang sama.

Karenanya, apapun alasannya, ia menilai keberadaan komunitas seperti ini bernilai positif. Sebab, kegiatan-kegiatan dari komunitas tak hanya sekadar berkumpul, namun terbukti melahirkan manfaat lainnya termasuk manfaat ekonomi.

“Karena dia berkumpul jadinya saling memicu untuk saling bergerak, berolahraga. Kemudian memicu bisnis. Akhirnya harus mengeluarkan dana untuk membeli sesuatu,” ungkapnya.

Sementara dalam sudut pandang sosiologi, komunitas olahraga ini menjadi penguat aktivitas masyarakat di luar ruangan. Sosiolog Agus Mauluddin mengatakan, dengan adanya komunitas, ada dukungan pada aktivitas masyarakat di luar ruangan di tengah perkembangan teknologi digital.

Saat ini, masyarakat menghadapi era teknologi 4.0 dengan basis digital yang fokus melakukan aktivitas yang terkait dengan gawai. Ditambah lagi, kalangan milenial lebih terakses dengan teknologi digital pada semua lini hidupnya, termasuk bisnis dan aktivitas sosialnya. Menurut Agus, hal itu menguras waktu aktivitas di dalam ruangan dan tidak terlalu sehat bagi fisik anak muda.

Atas dasar itu, Agus menganggap keberadaan komunitas sangat penting sebagai aktivitas di luar ruangan untuk mendukung dalam menciptakan sumber daya manusia unggul (SDM).

“SDM (unggul.red) ini bukan hanya kecerdasan, tapi juga dengan hidup sehat. Maka harus disinergikan,” kata Agus saat dihubungi Validnews, Rabu (28/8).

Makin minimnya aktivitas fisik masyarakat tercermin dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Hasil riset lima tahunan ini menunjukkan rata-rata nasional sebanyak 33,5% masyarakat berusia lebih dari 10 tahun yang memiliki aktivitas fisik kurang dari 150 menit dalam seminggu.

Angka ini memburuk dibandingkan Riskesdas 2013, di mana masyarakat yang aktivitas fisiknya kurang dari 150 menit per minggu hanya sebanyak 26,1%.

Ada 21 provinsi dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif yang berada di atas rerata nasional. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah terbanyak penduduk yang memiliki aktivitas fisik kurang. Angkanya mencapai 47,8%, memburuk dibandingkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 44,2%.

Sementara, provinsi dengan penduduk paling tinggi aktivitas fisiknya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Di provinsi yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia ini, penduduk dengan aktivitas fisik kurang dari 150 jam per minggu hanya mencapai 25,2%

Selain itu, Agus juga menekankan keberadaan komunitas ini juga penting untuk menguatkan ikatan dalam kegiatan di luar ruangan tersebut. Dengan adanya komunitas, kegiatan di luar ruangan bisa lebih terjaga keberlanjutannya.

“Kalau misal kita (berkegiatan.red) sendiri tanpa komunitas, kadang beberapa kali kita bisa beraktivitas. Tapi kalau tidak dikuatkan oleh komunitas, maka tidak akan berkelanjutan,” imbuhnya.

Baiknya, menurut Agus, komunitas ini dibiarkan saja berkembang dengan sendirinya, tapi bukan berarti pemerintah absen. Pemerintah bisa menyediakan ruang untuk komunitas tersebut.

“Bentuk dukungannya semisal diizinkan untuk beraktivitas di tempat publik, sebagai contoh car free day,” pungkasnya.

Penulis: Agil Kurniadi, Sanya Dinda, Zsazya Senorita
Artikel ini telah tayang di validnews

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *