Jalan-jalan kelilingi kota tua di Makassar, Komunitas Lembaga Lingkar pun berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itu untuk merefleksi memori atas sejarah Kota Makassar.
Agendanya “Djalan Djalan ke Bangoenan Bersedjarah di Kota Makassar”. Ada 11 tempat yang akan dikunjungi. Starnya pukul 07.00 Wita, Sabtu, 14 September dari Fort Rotterdam dan berakhir di Museum Kota Makassar.
Kunjungan pertama Komunitas Lembaga Lingkar di Fort Rotterdam. Benteng Ujung Pandang diduduki Belanda pada tanggal 18 November 1667. Diubah namanya menjadi Rotterdam oleh Speelman.
Selanjutnya, Radio Republik Indonesia (RRI), punya kisah tersendiri yakni dibuatnya taman agar warga kota khususnya bangsa Eropa merasa berada di negeri sendiri. Taman -taman yang didirikan pada masa ini diantaranya Prince Hendrik Plein di utara Benteng Rotterdam. Di atas Prince Hendrik Plein sekarang berdiri Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) yang sebelumnya menggunakan rumah kediaman Haji Lala di Jalan Penghibur.
Kunjungan berikutnya Komunitas Lembaga Lingkar, Rumah Leluhur Kapiten Lie dan Ibu Agung Bahari. Sebelumnya, Vlaardingen berkembang menjadi Kampung Cina (Pecinan). Bangunannya berpola campuran Medieval dan Tionghoa dengan rumah rumah berpagar tinggi, tanpa halaman depan. Beberapa bukti peninggalannya adalah Vihara Ibu Agung Bahari/Thian Ho Kong (1738) yang terletak di Jalan Sulawesi.
Gedung Kesenian pun masuk agenda kunjungan. Gedung di sebelah utara Benteng Rotterdam, atau sekarang bernama Jalan Riburane, dibangun gedung Societeit de Harmonie, pada tahun 1896, terdapat Zwembad Harmonie (kolam renang Harmonie”) sekarang deretan rumah toko.
Adapun Gedung CKC yang gedung CKC (didirikan tahun 1910) yang berfungsi sebagai kantor gubernur. Selanjutnya, Kantor Wali Kota yang dulunya merupakan kantor Gubernur.
Gereja Immanuel. Gereja Protestan Immanuel tahun 1885 di bagian timur Benteng Rotterdam. Gereja ini masih berfungsi.
Kantor Pos atau, Post Cantoor (1925). Selanjutnya Kantor Telegram (Post en Telegraf Cantoor, 1940). Komunitas Lembaga Lingkar juga akan kunjungi, Museum Kota. Museum dalam sejarahnya, Kota Makassar menjadi daerah otonom dengan nama Gemeente Van Makassar pada tanggal 12 Maret 1906 berdasarkan Stadblad No. 17 yang secara resmi digunakan pada tanggal 1 April 1906. Guna mengukuhkan status kota tersebut. Di antaranya dibangun gedung Balai Kota atau Gemeentehuis pada tahun 1918, di Jalan Balaikota (sekarang berfungsi sebagai Museum Kota Makassar).
Koordinator Komunitas Lembaga Lingkar, Anna Asriani Muchlis mengatakan, Pasca Perang Makassar memaksa adanya perubahan yang cukup mendasar atau sering kenal sebagai adanya keterputusan historis.
Awalnya Benteng Sompa Opu yang dibayangkan menjadi basis pusat akan terbentuknya sebuah kota di masa depan, tapi setelah Perang Makassar telah usai, VOC dan sekutunya Bone menjadi pemenang dalam perang tersebut, telah menghadirkan nerasi sejarah cukup berbeda.
Benteng Ujung Pandang (sekarang lebih dikenal sebagai Benteng Rotterdam), menjadi salah satu pilihan mungkin paling tepat bagi VOC untuk memindahkan pusat pemerintahan kedepannya.
Peralihan pusat kekuasaan ini di abad ke 17 dari Benteng Sompa Opu ke Benteng Ujung Pandang, yang juga di barengi pergantian nama menjadi “Benteng Rotterdam” bisa dipahami adanya keinginan pemerintah VOC menciptakan nuansa baru di Makassar pada saat itu.
Eksklasi perubahan terus terjadi yang diteruskan terbentuknya pmukiman penduduk disebalah utara benteng yang kemudian dikenal sebagai Vlardingen. Pertumbuhan perkampungan ini yang barengi dengan kebijakan kebijakan politik dalam menata dan menempatkan etnis tertentu menempati kampung kampung yang baru terbentuk selalu disesuaikan dengan nama etnis tertentu.
Dalam proses yang begitu panjang, di awal awal abad ke-20 Makassar tumbuh menjadi sebuah kota modern yang bernuansa keeropaan dilengkapi berbagai fasilitas yang di datangkan langsung dari negeri Belanda. Makassar mendapati bentuknya sebagai kota citra kolonial yang paling modern dari beberapa kota-kota kolonial di Indonesia pada saat itu.
“Nah, Kesan utama Kota Makassar tidak hanya terletak pada aspek ruang publik kota, di sisi lain menempatkan Makassar sebagai kota kosmopolitan yang dihuni beragam etnis,” ujarnya, Jumat, 13 September.
Bagi Anna, kesan kota Makassar sebagai kota citra kolonial seolah olah telah tenggelam oleh berubahan zaman yang terus berganti. Bangunan bangunan tua yang telah diwariskan oleh VOC yang mempunyai nilai historis cukup penting, sampai pada saat ini tidak begitu terawat dengan baik.
“Dengan adanya jalan jalan ini yang merupakan salah satu rangkain dari beberapa acara yang akan dilaksanakan ke depannya, hal paling utaman diharapkan dari sana adalah timbulnya minat-minat masyarakat di Kota Makassar khusus pada anak anak muda untuk menjaga dan merawat bangunan- bangunan yang bersejarah di Makassar,” ungkap Alumni Fakultas Ilmu Budaya Unhas dari Komunitas Lembaga Lingkar ini.
Penulis: ham/ tim redaksi fajar.co.id
Artikel ini telah tayang di FAJAR.CO.ID