Menempa Besi, Melestarikan Budaya ala Komunitas Pijar

Bagi Pijar Komunitas Menempa Indonesia, menempa bukan hanya memukul besi panas semata. Lebih dari itu, mereka sedang berada di jalan kebudayaan, melestarikan apa yang mulai ditinggalkan.

Bara merah jelas terlihat dari sebuah tungku berbahan gas. Sejurus kemudian Tirta Guntara (24), mengeluarkan sepotong besi yang tampak meleleh. Suara dentingan palu besar pun memecah kesunyian sisi belakang rumah di Jalan Kudus, Kecamatan Antapani, Kota Bandung.

Siang itu bengkel pandai besi Pijar terasa seperti microwave. Panas sekali. Namun bagi mereka yang berada di komunitas ini seolah tidak mempedulikan lingkungan sekitar dan fokus menyulap besi menjadi sejumlah peralatan.

Ya, di sanalah salah seorang pendiri Pijar, Ibnu Pratomo (43) bersama sejumlah anak muda yang terpanggil hatinya untuk melestarikan kesenian memandai besi. Komunitas ini mengajak anak muda untuk menggali kembali pekerjaan yang dianggap hampir punah ini.

Ibnu mengawali ketertarikan terhadap dunia penempaan dimulai sejak masih muda. Ia mencari tahu tentang penempaan saat SMA, dan mulai mempelajarinya saat kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1999.

“Ada tiga orang di kuliah seni rupa yang menyukai penempaan termasuk saya sendiri. Kita otodidak saja waktu itu, nggak ada referensi peralatan. Saat itu masih pakai tungku dengan arang, ada palu, capit,” kata Ibnu.

Keseriusan Ibnu dalam penempaan besi semakin bertambah saat dia mengambil program magister Seni Rupa di ITB pada 2005. Di akhir kuliah, seorang dosen yang kerap membicarakan kepedulian terhadap nusantara ditanya oleh Ibnu soal apa yang harus dilakukan untuk nusantara.

“Saya bilang waktu itu suka nempa, jadi akhirnya meneliti soal keris. Tesis saya juga tidak jauh dari bidang penempaan kan dan sampai sekarang masih terus dijalani,” katanya.

Dalam perjalanan merintis pandai besi, Ibnu hampir bisa dibilang sendirian. Awalnya, ada beberapa mahasiswa yang ingin belajar jadi pandai besi. Namun saat perkuliahan selesai dan lanjut mencari kerja, para mahasiswa itu meninggalkannya.

“Sekitar 2007 itu saya mulai sibuk dengan tugas akhir sekaligus jadi asisten dosen. Di akhir 2011 ada yang bertanya kenapa tidak dibuatkan komunitas saja. Akhirnya awal 2012 itu kita jadikan komunitas Pijar,” kata Ibnu.

Awalnya, Pijar dirintis oleh Ibnu dan kelima rekannya yaitu Galih, Andi, Miing, Gusro dan Igun. Berikutnya, komunitas Pijar dihuni oleh angkatan pertama oleh Opik, Samuel dan Fernando.

“Nama pijar diambil karena para perintis ingin punya nama yang singkat, gampang diingat tapi tetap bermakna. Pijar sendiri merupakan salah satu proses penempaan,” ucap Ibnu.

Komunitas Pijar tidak hanya wadah berbagi ilmu menempa besi. Ibnu menuturkan, komunitas ini didirikan sebagai sarana edukasi bagi para anggotanya untuk menelaah aspek sejarah pusaka dari logam.

“Kita melihat bahwa generasi sekarang ini semakin jauh dari budayanya. Makanya kita bermaksud menempa anak-anak muda ini dengan penempaan yang di mana alat-alat ini sebagai pintu masuk ke jati diri kebudayaan sendiri,” ujarnya.

Ibnu mengambil contoh kujang, benda pusaka yang melekat dengan kehidupan masyarakat Jawa Barat.

Konon kujang mulai dibuat pada abad ke-8 atau ke-9. Ada juga yang menyebutkan kujang mulai dibuat pada abad ke-14, yaitu pada masa Prabu Siliwangi, seorang Raja Pajajaran paling melegenda dan mewangi.

“Siliwangi itu terdiri dari dua kata, yaitu silih dan wangi. Jabaran dari kedua kata itu adalah tiga aspek, yaitu silih asah, silih asih, dan silih asuh. Ketiga merupakan perilaku leluhur yang seharusnya dipegang manusia. Sehingga pusaka itu ibarat kitab suci yang mengandung pedoman ideal manusia,” tegasnya.

Pria kelahiran Jakarta ini mengatakan bahwa seorang pandai besi yang baik adalah yang tidak hanya ahli dalam menempa besi menjadi senjata. Tapi juga mampu menempa diri sendiri sehingga senjata yang dihasilkan tidak digunakan untuk kejahatan.

“Syarat masuk komunitas kita tidak cukup hanya mau. Tapi juga kita ingin tahu apa motif mempelajari penempaan. Sebab, ilmu menempa ini cukup berbahaya pada saat prosesnya pun sudah jadi barangnya pun berbahaya, misal benda tajam,” katanya.

Mempelajari penempaan tidak hanya dilakukan anggota komunitas Pijar. Ibnu sendiri belajar ke Yogyakarta dan Solo untuk menambah ilmu pandai besi. Bahkan pada 2015 lalu Ibnu mengikuti workshop di Belgia dan mendatangi industri metalurgi di Swedia.

“Saya ikut kelas blacksmith di Belgia karena ingin mengenal budaya penempaan di negara barat. Peralatan mereka memang lebih komplit, dan itu yang sangat berbeda. Tapi dari segi ilmu di kita ini lebih dalam,” ucapnya.

Seiring perjalanan, Pijar tidak hanya menempa kujang, keris, pisau tapi juga sekarang aksesori pria. Sebagaimana perkembangan blacksmithing art, Pijar juga membuat benda-benda yang bernilai jual.

“Rata-rata anak yang gabung sekarang itu tahu senjata ketika bermain game. Nah mereka mengira bisa membuat senjata tersebut dari proses penempaan. Ada yang serius mengerjakan dan tidak, tergantung apa niat mereka,” kata Ibnu.

Produk hasil penempaan mereka pun dipasarkan dengan nama Saltig. Beberapa produk yang sudah mereka hasilkan di antaranya, gelang, cincin, kalung, buckle ikat pinggang dan banyak lagi.

Namun, produk-produk yang dihasilkan Pijar tetap membawa unsur budaya lokal. Misalnya saja gelang Sikerei berbahan kuningan dengan motif tradisional Mentawai. Sikerei berarti orang yang memiliki kekuatan magis, ahli tanaman obat dan penyembuh bagi suku Mentawai.

“Kita berharap pemakai gelang tersebut bangga akan kekayaan budaya Indonesia,” kata Ibnu.

Soal harga, aksesoris yang diproduksi Saltig cukup bervariasi. Mulai dari harga Rp500 untuk gelang, pisau seharga Rp1,5 juta dan puluhan juta rupiah untuk sebuah kujang. Harga tersebut berbeda tergantung bahan dan proses pengerjaan.

Ibnu mengatakan, salah satu karyanya ada yang sampai ke luar negeri. Sebuah kujang miliknya menjadi cinderamata bagi Necmettin Bilal Erdogan, putra presiden Turki Recep Erdogan.

“Kontingen Indonesia pada saat itu akan ke Turki untuk mengikuti lomba panah. Kujang yang kita buat terbuat dari pamor dengan, handle tanduk,” kenang Ibnu.

Peminat aksesoris Saltig juga tidak hanya di Indonesia, tapi juga sudah merambah pasar mancanegara. Untuk saat ini pembeli memang baru wilayah Asia Tenggara, Malaysia dan Singapura.

“Tapi kita melihat peminat aksesori berbahan besi, logam atau bahkan pamor dengan desain budaya lokal ini mulai diminati orang barat,” kaya Ibnu.

Penulis/reporter: Huyogo Simbolon
Artikel ini telah tayang di liputan6

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *