Komunitas IC4RD, Wadah Edukasi Orangtua dengan Anak Berpenyakit Langka

Setiap orangtua pasti ingin anaknya terlahir sehat dan sempurna. Namun lagi-lagi manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan jugalah yang menentukan. Begitu juga ketika orangtua diberi anugerah ‘anak istimewa’ yang terlahir dengan penyakit langka.

Karena langka, tentu semua jadi serba terbatas dan serba sulit, misal untuk sekadar mendapatkan informasi. Hal inilah yang dirasakan Wynanda Bagiyo Saputri saat tahu putri keduanya, Kirana Aisha Putri Wibowo, didiagnosis awal mengalami penyakit langka Pierre Robin Sequence (PRS).

Dari tujuh dokter anak, lima di antaranya selalu mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dan meminta Wynanda untuk pasrah. Padahal bukan itu yang ingin didengarnya, ia ingin setidaknya bisa meringankan rasa sakit yang dialami anaknya.

Lalu, dari kisah itulah Wynanda membuat komunitas tempat para orangtua dengan anak pengidap penyakit langka bisa berkumpul. Komunitas itu bernama Indonesia Care for Rare Diseases (IC4RD).

Merangkul para pengidap penyakit langka

Wynanda, Pendiri Komunitas IC4RD. (Dokumentasi)
Wynanda, Pendiri Komunitas IC4RD. (Dokumentasi) suara.com

Perjalanan Wynanda membuat IC4RD memang cukup panjang. Awalnya di 2014 dia membuat perkumpulan para orangtua dengan kondisi PRS seperti yang dialami anaknya, agar mereka dapat bersama-sama berbagi informasi maupun cara pengobatan.

“Oh iya, kalau PRS doang memang sedikit, banyak-banyak tidak mencapai 100 orang. 60 orang itu sudah ada, tapi belum tentu pada survive (bertahan). Banyak yang akhirnya meninggal nggak survive,” ujar Wynanda kepada Suara.com, Sabtu (18/1/2020)

Dari sanalah Wynanda lalu berpikir, orang dengan kondisi penyakit langka sangatlah banyak di Indonesia, tapi berbeda-beda. Selama penyakit itu dialami 1 berbanding 2000 orang, itu artinya kondisi yang dialaminya tergolong penyakit langka. Jadilah 2017 lalu, IC4RD pun resmi didirikan.

Membangun awareness dan pengetahuan orangtua

Wynanda dan Keluarga, Pendiri Komunitas IC4RD. (Dokumentasi)
Wynanda dan Keluarga, Pendiri Komunitas IC4RD. (Dokumentasi) suara.com

Wynanda ingat betul, pernah seorang ibu bercerita padanya bahwa sang ibu mengira anaknya mengidap PRS, tapi anak tersebut sudah meninggal. Ibu tersebut baru menyadarinya setelah membaca dan melihat kondisi anak Wynanda. Sedihnya, si ibu tidak mengerti tentang kondisi si anak, sehingga tidak tahu cara menanganinya.

“Dia cerita waktu itu anaknya gagal napas. Jadi waktu itu kasus PRS ini, anak dengan PRS tidak boleh tidur dengan posisi telentang. Nah, kalau telentang, jalan napasnya semakin tertutup dan bisa gagal napas. Itu kan hal yang sepele, anaknya harus tidur miring atau tengkurap, daripada dia tidur telentang. Hal sepele tapi menyangkut nyawa juga,” tutur Wynanda.

Lalu masih banyak kondisi-kondisi lainnya yang malah membuat si anak tidak tertolong.

Perempuan yang aktif sebagai penggiat ASI itu memandang, jadi hal yang wajar jika pada awalnya kebanyakan para orangtua tidak percaya dengan kondisi anaknya yang mengidap penyakit langka. Dan itu lumrah, juga manusiawi jika awalnya tidak menerima.

Nah, di sini Wynanda ingin para orangtua tidak terlalu lama dengan fase itu, sebisa mungkin cepat menerima untuk menjadikan anaknya lebih baik, juga mendapat perawatan yang tepat sedini mungkin.

“Biasanya kita kumpulin 20 anak, dengan pendampingnya kita ajarin terapi yang simpel yang bisa dikerjakan di rumah dan tidak menggunakan alat yang mahal-mahal. Nah, nanti kita bisa lihat progresnya yang rajin yang mana,” jelasnya.

Membuka kelas edukasi

Komunitas IC4RD, Wadah Edukasi Orangtua dengan Anak Berpenyakit Langka. (Instagram/@indonesiacareforrarediseases)
Komunitas IC4RD, Wadah Edukasi Orangtua dengan Anak Berpenyakit Langka. (Instagram/@indonesiacareforrarediseases) suara.com

IC4RD memang kuat secara online, seperti di media sosial instagram @indonesiacareforrarediseases dan Facebook, Mereka juga kerap berdiskusi di grup Whatsapp. Tapi bukan berarti tidak pernah bertemu, mereka pun suka kopi darat alias bertemu tatap muka untuk melakukan beragam kegiatan.

Salah satu kegiatan yang dilakukan, seperti membuka sesi talkshow tentang cara penanganan penyakit langka dan sebagainya. Tak main-main, para pakar seperti dokter hingga psikolog dihadirkan dalam acara itu.

Tidak hanya bagi mereka yang mengidap penyakit langka. Sering juga komunitas ini memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat, untuk sama-sama menjadi support sistem bagi mereka yang ‘istimewa’.

Perlu diingat juga kondisi rare diseases ini tidaklah menular, dan juga tidak selalu menurun pada genetik sebelumnya. Tapi sangat mungkin diturunkan pada generasi setelahnya. Jadi, jangan lagi memandang anak-anak ini seolah virus yang bisa menjangkit siapapun dan membuat diskriminasi.

Penyakit-penyakit langka itu seperti anak yang lahir tanpa bola mata, kista di rahim, atau kanker serviks pada anak padahal ia belum menstruasi dan belum aktif secara seksual.Pemahaman dan pengetahuan dasar kepada masyarakat akan kondisi penyakit langka ini, akan membuka wawasan masyarakat, bersyukur tentang hidup dan mau berbuat lebih baik. Hal ini membuat kehadiran anak-anak ini jadi lebih ‘sempurna’.

Di Februari 2020 mendatang, IC4RD akan menyelenggarakan 2 event dalam rangka memperingati Rare Disease Day 2020. Event pertama di 2020 sudah berlangsung di Malang bersamaan dengan Dies Natalis FK Universitas Brawijaya.

Keanggotaan terbuka dan berharap kerjasama pemerintah

Karena visi dan misinya semakin banyak orang yang teredukasi tentang penyakit langka ini, khususnya orangtua penyintas, Wynanda membuka diri pada siapapun yang hendak bergabung dalam komunitas.

Anggota diskusi grup Whatsapp sendiri sudah mencapai 256 anggota atau sudah hampir penuh. Tapi untuk sosial media, IC4RD sangatlah terbuka siapapun yang ingin bertanya dan bergabung.

Tak lupa, Wynanda mengatakan ia sangat membutuhkan peran serta pemerintah untuk mengurangi angka kematian pada nak dengan kondisi penyakit langka.

“Kami tidak bisa bekerja sendiri, karena perawatan pasien dan penyintas pasti akan melibatkan fasilitas kesehatan yang ada di negara ini. Tidak mudah dan tidak murah juga,” ungkapnya.

Sayangnya, fasilitas diagnosis masih sangat terbatas di Indonesia, padahal ini adalah ujung tombak untuk mengetahui lebih detail kelainan apa yang dialami sang anak. Begitupun pengobatan yang akan dilakukan mengacu pada diagnosis itu sendiri.

“Makanya kita butuh dukungan pemerintah, dari Kementerian Kesehatan dan instansi lainnya yang berkaitan,” tutupnya.

www.suara.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *