SAPULIDI; Tebarkan Manfaat dan Kebaikan Kepada Ibu Pertiwi

Pekerjaan sosial adalah bagian dari realita hidup yang lahir dari sebuah pendekatan emosional yang dilakukan atas dasar etika dan moralitas. Dan seorang pekerja sosial harus menjadikan aktivitasnya sebagai seni profesi yang berdasar pada sebuah ideakisme agar dalam pelaksaan dan realisasi kegiatannya dapat tercipta suatu kebersamaan yang harmonis antara pelaku dan penerima manfaat.

Demikian definisi pekerjaan sosial menurut Arie Belougi, pendiriSolidaritas Anak pedalaman Untuk Lingkungan dan Pendidikan (SAPULIDI).

Di era komunikasi dan informasi saat ini sudah sangat jarang kita temui orang yang secara individu maupun bagian dari kelompok masyarakat yang mau bekerja dengan ikhlas untuk kepentingan orang lain terlebih kepada kepentingan bangsa dan negara.

Sebuah kenyataan dapat kita lihat bahwa begitu banyak orang, kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan diri sebagi pekerja sosial namun dapat dihitung jari yang mencerminkan jati diri mereka sebagai pekerja sosial sejati.

Lain halnya dengan Solidaritas Anak Pedalaman Untulk Lingkungan dan Pendidikan (SAPULIDI) atau lebih dikenal dengan Komunitas Sapulidi, komunitas sosial yang berdiri 26 tahun silam ini, sejak awal berdirinya hingga saat ini terus memberi demabhaktinya kepada ibu pertiwi.

Komunitas Sapulidi didirikan oleh Arie Belougi, seorang remaja kampung yang tinggal bersama keluarganya di sebuah dusun kecil di pinggir Danau Towuti, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Arie Belougi memperkenalkan komunitas tersebut kepada rekan-rekannya sesama remaja kampung yang secara bersama-sama melewati pergantian tahun 1989 ke tahun 1990 di Pulau Loeha, Danau towuti.

Komunitas Sapulidi pada awalnya lebih menyerupai perkumpulan remaja di pedalaman Towuti, namun kemudian menyebar ke sejumlah daerah pedalaman di Indonesia dan telah banyak menginspirasi anak muda untuk beraktifitas di bidang sosial dan menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat di daerah pelosok.

Sejumlah kegiatan kemanusiaan telah dilakukan anggota komunitas tersebut di era tahun 90-an.

Salah satu di anataranya adalah saat menjadi relawan kemanusiaan pascarefendum Timor Timur tahun 1999, namanya mulai dikenal oleh masyarakat saat melakukan bakti sosial di Kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai di Sulawesi Tengah dan Kepulauan sangir di Sulawesi Utara.

Kegiatan tersebut dimulai pada pertengahan bulan Desember tahun 1999 dan dilakukan dalam rangka sosialisasi tentang manfaat cinta lingkungan dan kampung halaman di kalangan masyarakat pedalaman dan suku terasing agar dapat menciptakan suatu etika yang berdasr pada moralitas untuk memelihara alam dan lingkungan secara bersama-sama.

Dalam kegiatan tersebut, anggota Komunitas Sapulidi melewatkan malam pergantian abad  20 ke abad 21 (Tahun 1999 ke tahun 2000) yang kemudian dikenal dengan “Dua Abad Sapulidi di Garis Khatulistiwa”.

Anggota Komunitas Sapulidi terus berjalan dan berjalan. Pada tahun 2000, Arie Belougi, pendiri komunitas tersebut memperkenalkan konsep pemberdayaan kepada masyarakat bertajuk “Bumi Hijau Mandiri” Inti dari pelaksanaan konsep tersebut adalah “Menjadikan lahan non-produktif menjadi Hutan Tanaman Industri yang berbasis kemandirian dan kearifan lokal, serta dalam realisasinya diharapkan terciptanya lingkungan yang sehat. produktif dan mandiri berlandaskan kesadaran untuk menjadikan alam dan lingkungan sebagai sahabat kehidupan dari generasi ke generasi”.

Arie Belougi menginstruksikan kepada seluruh anggota Komunitas Sapulidi untuk pro-aktif sosialisasikan konsep tersebut, adan atas kerja kerja keras dari semua anggotanya akhirnya pola kegiatan tersebut menjadi sebuah bahan inspirasi buat sejumlah lembaga dan oraganisasi nirlaba melakukan kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat dengan menggunakan pola yang serupa.

Kegiatan tersebut kemudian lebih populer pada tahun 2005, Sejumlah perusahaan publik melakukan kegiatannya dengan menyewa lahan milik masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman industri dan juga mengajak masyarakat untuk mengelola kegiatan tersebut secara bersa-sama.

Pada bulan April 2005,  Arie Belougi mencetuskan gagasan tentang program Indonesia Back to Nature sebagai solusi alternatif dalam mengatasi kerusakan hutan di Indonesia.

Program tersebut bertajuk Dari Alam, Oleh Alam dan Untuk Alam, yang pelaksanaanya tidak membebani pemerintah serta dilakukan secara bertahap.

Arie Belougi sosialisasikan program tersebut dengan melibatkan anak pedalaman di bawah bendera Solidaritas Anak Pedalaman Untuk lingkungan dan Pendidikan.

Anggota Komunitas Sapulidi sosialisasikan Indonesia Back to Nature selama tahun dan telah mendapat dukungan dari sejumlah lembaga dan organisasi nirlaba, baik di dalam maupun di luar negeri, dan kegiata tersebut sudah berjalan sejak bulan Maret 2015.

Pilot Project Indonesia Back to Nature terletak di Poso, bagian Timur Sulawsi Tengah dan dilaksanakan oleh Riu Mamba International di atas lahan seluas 10.000 hektar dari total 34.000 hektar yang sudah mendapat izin dari pemerintah, dan proyek ini rencananya akan berlanjut di sejumlah daerah yang mengalami kerusakan hutan di Indonesia.

Indonesia Back to Nature adalah hal sederhana namun menginpirasi serta memiliki multi manfaat, disamping menyediakan banyak lapangan kerja juga dapat menjaga keseimbangan ekosistem untuk terus bersinergi dengan alam, dan manfaat paling utama adalah membantu mengembalikan fungsi hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia.

Pelaksanannya bukan berdasar dari suatu hasil riset atau pendekatan secara ilmiah tapi merupakan bagian dari revolusi moral anak pedalaman untuk ikut berpartisipasi membantu pemerintah mengatasi masalah kerusakan hutan di Indonesia.

Sumber: Tribun News 

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *