Deaf Volunteering Organization (DVO) Solo; Peduli dan Menjadi Penyambung Lidah Tunarungu

KURANGNYA perhatian dan akses komunikasi untuk penyandang tunarungu menggugah keprihatinan. Empat tahun lalu segelintir mahasiswa menunjukkan kepeduliannya dengan menjadi penyambung lidah para tunarungu di Solo. Mereka mendirikan komunitas Deaf Volunteering Organization (DVO) Solo.

“DVO berdiri untuk merespons kondisi memilukan karena akses untuk tunarungu masih kurang, terutama bahasa isyarat yang mayoritas dipakai mereka sebagai alat komunikasi,” ujar Ketua DVO Solo Ian Hananto belum lama ini.

Ian mengungkapkan, awalnya anggota DVO hanya beberapa mahasiswa, tidak sampai 10 orang. Namun kini sudah mencapai 25 orang mahasiswa. Kesemuanya aktif menjadi juru bahasa isyarat. Tak jarang DVO diminta oleh dinas dan berbagai instansi sebagai penyambung lidah atau menyampaikan pesan. Begitu pula sebaliknya, mereka juga membantu komunikasi tunarungu saat ada keperluan ke instansi.

“Kita basisnya relawan, bukan profesi. Untuk waktu lebih mengalir saja, misal tunarungu butuh akses komunikasi kita cari relawan yang luang untuk membantu. DVO bisa jadi jembatan masyarakat untuk berdialog dengan tunarungu,” kata Ian.

Ia menceritakan, suka duka menjadi penyambung lidah para tunarungu mengiringi perjalanan DVO. Sangat mengiris hati jika permintaan akan juru bahasa isyarat tinggi, namun sumber daya relawan minim. Namun ada juga suka citanya, yakni para tunarungu semua akrab dan komunikatif dengan para relawan. “Belajarnya nggak perlu dibuat spaneng (tegang), lewat ngobrol aja. Dari situ kita dapat isyarat baru,” imbuh Ian.

Saat ini DVO juga membuka kelas bahasa Indonesia, sebab banyak tunarungu terutama yang muda-muda belum paham struktur bahasa isyarat. Kata-katanya masih bolak-balik. Tak hanya itu, DVO juga mendorong kegiatan seni untuk para tunarungu melalui program deaf-able. Di program itu  teragenda kegiatan seni berupa teater yang bekerja sama dengan teater kampus dan kegiatan kesenian lain.

Menurut Ian, tak ada syarat khusus untuk menjadi anggota DVO. Ia mempersilakan masyarakat untuk bergabung, apalagi bagi mereka yang sudah mampu berbahasa isyarat. “Di awal kita semua nggak bisa bahasa isyarat semua, masalah bisa atau enggak kan bisa belajar langsung ke tunarungu,” ujarnya.

Dengan banyaknya orang yang belajar bahasa isyarat, Ian berharap kelak masyarakat bisa berinteraksi dengan tunarungu bahkan tanpa menggunakan jasa DVO. Sebab tunarungu juga masyarakat yang memiliki hak sama.

“Juru bahasa isyarat lebih banyak lagi lebih baik. Sebab ada kondisi tertentu yang memerlukan kehadiran juru bahasa isyarat. Misalnya, saat tunarungu sakit maka perlu juru bahasa yang paham bidang kedokteran. Kemudian ketika ada tunarungu yang berhadapan dengan hukum, maka butuh juru bahasa yang juga paham hukum,” ungkap Ian.

Sumber: Joglo Semar

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *