Kontras Serahkan 38 Laporan Keterlibatan Aparat dalam Bisnis Narkoba

SUARA Noviyanti Perdana Putri terdengar lantang menceritakan nasib ayahnya, Imran (56) di Kantor Ombudsman RI, Selasa 20 September 2016. Ayahnya yang sebelumnya merupakan sipir di LP Cipinang, Jakarta itu harus mendekam di tahanan sejak setahun terakhir karena diduga menyelundupkan narkoba dan dipaksa mengaku sebagai jaringan Freddy Budiman. Padahal, Imran yang saat itu baru 5 bulan bertugas di Cipinang sama sekali tak mengenal Freddy.

Novi menyampaikan laporannya bersama dua orang lain yang juga melaporkan keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba yang diinisiasi Kontras beberapa waktu lalu. Dia menuturkan, pemaksaan aparat dimulai ketika ayahnya dijemput paksa pada 15 April 2015 dari tempat kerjanya. Beberapa hari sebelum penangkapan Imran, polisi terlebih dulu menangkap Andre Syamsul Ma’arif, terpidana yang kedapatan memiliki 122 lembar sisifor di Lapas Cipinang. Imran dituduh sebagai penyelundup barang untuk Andre.

“Ayah saya memang mengantarkan titipan dari orangtua Andre berupa berkas dan satu kotak yang diakui ibu Andre sebagai obat panas dalam pada 2 April 2015. Tapi dia tidak mengetahui apa saja isi titipan itu dan kalau benar itu narkoba, kenapa orangtua Andre tidak ditahan? Alasan polisi, katanya orangtua Andre sudah tua, jadi bapak saya yang ditahan,” kata Novi.

Selama pemeriksaan, ayahnya beberapa kali dipaksa mengaku memiliki barang tersebut dan kenal dengan Freddy Budiman. Karena tak menurut, Imran ditahan di ruang isolasi di Dir IV Bareskrim Cawang selama dua pekan tanpa diberi makan.

“Ayah saya sempat dipertemukan dengan Freddy tapi Freddy juga bilang tidak kenal. Ayah saya di sel isolasi bersama Freddy dan adiknya Freddy. Yang bantuin kasih makan, ya orang-orang Lapas, dari Polisi sih enggak. Setelah dua pekan, lalu dipindah ke tahanan biasa,” ucapnya.

Perlakuan tidak adil yang diterima Imran tidak berhenti sampai di situ. Belum jelas kasus yang menjeratnya, pegawai golongan IIIB itu harus mendapat pemecatan tidak hormat dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada sebuah acara resmi.

Perlakuan itu semakin menyakitkan mengingat saat mencopot pangkat ayahnya, Yasonna menuturkan hal tersebut hanya seremonial biasa.

“Apa perlu PNS Golongan IIIB diberhentikan langsung oleh menteri? Kasusnya juga belum jelas. Saya pikir dia (Yasonna) hanya pencitraan karena saat itu mau reshuffle juga. Saat penangkapan pun, AKBP Christian Siagian yang memimpin tim mengkondisikan wartawan, seolah-olah ayah saya sudah mengaku sebagai jaringan Freddy,” ucapnya seraya menuturkan putusan pengadilan memutuskan ayahnya dihukum 8 tahun penjara.

“Sekarang di Cipinang tapi di tahanan umum dan anehnya, yang dijadikan barang bukti itu barang bukti Andre. Barang ayah saya yang disita hanya handphone dan batu akik. Itu pun entah di mana sekarang,” ucapnya.

Sejumlah pungutan pun diakui Novi kerap dibebankan kepada keluarganya. “Kalau besuk itu, satu KTP atau satu pembesuk harganya Rp 50.000. Kalau mau buka pintu lapas, Rp 450 (ribu) seminggu. Kalau enggak bayar, ya di dalam lapas saja,” ucapnya.

Laporan Novi adalah satu dari 38 laporan yang diterima Kontras sejak membuka pengaduan masyarakat tentang keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba sejak 4 Agustus 2016 sampai 9 September 2016.

Laporan yang sudah terkumpul itu dilaporkan kembali ke Ombudsman RI untuk ditindaklanjuti. Menurut perwakilan Kontras, Satrio Wirataru, pihaknya menemukan tiga hal potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat dalam kasus narkotika.

Sumber: Pikiran Rakyat

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *