Komunitas Sastra Hujan Gelar Bedah dan Launching Buku Antologi Puisi

Komunitas Sastra Hujan, perkumpulan para pencinta sastra di Kota Ruteng, Manggarai, NTT mengadakan bedah dan launching buku antologi Puisi karya Cici Ndiwa dan Putra Niron di Komunitas Satra Saverian, SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng, Minggu 11 Februari 2018, sore.

Acara ini sekaligus untuk merayakan hari ulang tahun komunitas ini yang kedua. Judul buku antologi puisi yang dibedah adalah Penyair Bukan Kami. Komunitas sastra hujan menghadir Marcelus Ungkang, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Ruteng dan Armin Bell (Blogger) sebagai pembedah.

Selain bedah buku Penyair Bukan Kami, diluncurkan juga buku puisi dari anggota komunitas sastra hujan lainnya yaitu Dua Mata yang Digelari Berkat, karya Oriol Dampuk dan Viabel Nostrum, karya Kristoforus Aman.

Kegiatan bedah dan launching buku ini diikuti oleh 250 orang. Peserta yang terlibat merupakan utusan dari setiap sekolah SMA se-kota Ruteng serta tokoh-tokoh masyarakat yang berminat dengan sastra.

Ketua komunitas sastra hujan, Rini Temala mengatakan bahwa budaya duduk bersama, budaya berbincang dan berdialog, terlebih yang sifatnya formal telah mulai tergeser di zaman ini. Orang lebih giat dengan kegiatan pribadi entar lewat handphone maupun peralatan teknologi canggih lainnya. Perubahan budaya yang seperti ini sebetulnya perlu ditanggapi, sebab orientasi budaya yang tidak suka dengan perkumpulan-perkumbulan bersama akan berujung pada sikap intoleran.

Menyadari dampaknya seperti ini, komunitas Sastra Hujan mengadakan suatu kegiatan yakni bedah dan launching buku antologi puisi yang ditulis oleh anggota komunitas Sastra Hujan sendiri. Kepercayaan dari kelompok Sastra Hujan bahwa kegiatan bedah dan launching buku merupakan sebuah apresiasi atas karya dari anggota kelompoknya. Selain itu, kelompok Sastra Hujan mau merasang minat dan cinta terhadaap sastra dari warga kota Ruteng, terutama para pelajar.

Komunitas Sastra Hujan percaya bahwa kecintaan terhadap sastra akan dengan sendirinya merangsang sikap toleransi terhadap perbedaan.

Terkait dengan buku Penyair Bukan Kami, pembedah Armin Bell mengatakan bahwa dalam menulis sastra itu setiap penulis harus menyadari karakteristiknya.

“Kita tidak diperbolehkan untuk terjebak dalam karya orang lain dengan dalil bahwa kita mau menghasilkan karya seperti punyanya. Setiap penulis harus pertahankan karakter masing-masing. Berhentilah membanding-bandingkan diri dengan orang lain,”ujarnya.

Sedangkan Marcelus Ungkang mengatakan bahwa kita itu harus bisa membedakan aku penulis dan aku lirik. Penyair adalah aku penulis sedangkan sosok yang dibicarakan dalam syair adalah aku lirik.

Reporter : Jefri Randut |Editor : PTT

Sumber: FLORES POST

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *