Hazman, Pendiri Taman Hutan Mikro Komplek Baitul Ma’mur, Lampung Selatan

Sejak kecil, ia sudah sangat senang terhadap pohon dan hutan, dimana kebetulan saat itu di daerahnya masih banyak hutan. Ia juga hobi membaca buku di bawah pepohonan. Bahkan sering hingga larut malam. bermodalkan senter kecil, Ia biasa berlama-lama menyendiri di sana untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Bahkan ketika rumah-rumah pendatang baru mulai bermunculan, ia tidak pernah malu untuk tetap duduk di bawah pepohonan sambil membaca dan terkadang, satu atau dua teman datang untuk duduk dan diskusi kecil.

Hal ini terus berjalan, sampai suatu hari ia mulai mengenal pesan-pesan terkait konservasi. Kira-kira kelas 6 SD ia mulai membuat sebuah bangku, di mana sebelumnya ia biasa duduk beralaskan daun kering, kayu/batu hitam di antara beberapa pohon besar sambil iseng-iseng menanam beberapa bibit pohon. Saat beranjak SMA, apa yang ia tahu tentang hutan kian bertambah, begitu juga dengan pengetahuan tentang konservasi. Namun sayang, tidak ada satupun orang di komplek tempat tinggalnya, Komplek Baitul Ma’mur, Desa Serbajadi, Natar, Lampung Selatan yang punya jasa/kegiatan di bidang konservasi atau paling tidak, dapat diajak untuk berdiskusi.

Kira-kira saat kelas SMA itu pula ia mulai mendirikan sebuah gubug/pondokan kecil untuk bersantai sambil membaca dan juga sebagai tempat bernaung agar tidak harus pulang ketika hujan turun. Lama kelamaan, ia tersadarkan bahwa di sekitar komplek tempat tinggalnya yaitu rumah penduduk sudah semakin banyak dan satu per satu pohon ditebang. Hal ini membuatnya sangat takut jika tidak dapat lagi duduk dinaungi banyak pepohonan.

Alhasil ia berinisiatif untuk menanam beberapa pohon kayu hasil bibitan sendiri dan merawatnya. Beberapa jenis pohon ditanam di “Taman Hutan Mikro,” yaitu Jati putih (Gmelina arborea), Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis), Akasia daun besar (Acacia mangium), Mara (Macaranga tanarius), Rambutan (Nephelium lappaceum), Sirsak (Annona muricata), Jambu biji (Psidium guajava), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kelapa (Cocos nucifera), Melinjo (Gnetum gnemon), Kelor (Moringa oleifera), Alpukat (Percea americana), Jati (Tectona grandis), dan Bayur (Pterospermum diversifolium). Seiring berjalannya waktu, ia mulai banyak mencari-cari tahu tentang bagaimana konservasi itu dipraktikan, dan bagaimana agar dapat ikutan terjun langsung ke kegiatan konservasi.

Kegusaran akan berkembangnya pembangunan perumahan di sekitar tempat tinggalnya, akhirnya membuahkan inisiatif “Projek Taman Hutan Mikro” terbentuk, pada tahun 2016. Suaka seluas 176 m2 ini bermula dari gubug kecil kesayangan yang ia buat. Ia semakin sedih dan gusar melihat pohon semakin banyak hilang, terlebih lagi ketika proyek perumahan tiba dengan ekskavator besarnya. Pohon dan sesemakan hijau tempat ia dulu sering menghabiskan waktu tak ada lagi dan berubah, bahkan ia seperti orang putus asa ketika menyaksikan Sinso (gergaji mesin) terus menumbangkan pepohonan tanpa ampun.

Untungnya tepat di tempat gubug ia berdiri, tanahnya adalah kepemilikan keluarga besarnya, maka mulai dari sinilah ia melanjutkan kemantapan bergiat, bahkan saking awasnya ia benar-benar memperhatikan siapapun yang melintas dekat gubug. Mata ia awas sekali terhadap kedatangan anak-anak, tukang arit, penjerat burung, dan pencari tanaman bonsai yang kadang membuat jengkel ketika mereka berlaku seenaknya terhadap tumbuhan.

Akhirnya, ia memutuskan membeli jaring besar untuk memagari sekeliling gubugnya sembari terus menanam pohon. Jaring ia pasang, dan orang-orang mulai heran melihat ia mengimbau mereka untuk tidak menebang pohon dan sesemakan disini. Ia hanya berusaha mengedukasi manfaat tumbuhan yang ada walau berada di area yang sangat kecil.

Kegiatan yang ia lakukan mulai menampakkan hasil. Pohon-pohon yang ditanam tumbuh besar, rapat, dan sejuk dengan banyak burung, ular, biawak, dan katak pohon yang tinggal disini. Ia pun mulai menempelkan papan pengumuman tentang pentingnya menjaga pohon yang ada, dan memberikan nama latin di setiap pohon. Walaupun terdapat beberapa cemoohan saat itu, namun ia tetap melanjutkan misi konservasi ini.

Singkat cerita, akhirnya ia mampu menjelaskan kepada setiap pemuda-tetangga yang bertanya maksud dan tujuan kegiatan konservasi yang ia lakukan. Alhasil, cukup banyak pemuda yang datang berkunjung ke gubug dan hutan kecil ini untuk bersantai sambil membaca buku. Bahkan tak jarang dari mereka yang meminta pendapat tentang konservasi, berdiskusi tentang hutan, iklim, sampah dll. Di situlah ia sangat sadar bahwa banyak dari orang-orang tersebut yang juga teman-teman muda seumurannya telah sadar pentingnya konservasi alam sekitar.

Sumber: BW Kehati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *