Novanka Raja: Terjun Bebas dari Kemapanan untuk Belajar Menulis di Jalanan

Jangan terus-terusan membenci rasa jenuh, pasalnya mereka bisa saja jadi pengingat bagi diri untuk bangkit dan mencari hal baru atau mengembangkan diri jadi lebih baik, syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain.  Ambil contoh dari kisah Novan Dwi Andhika, pendiri komunitas Obrolan Santai Penulis Kreatif atau yang populer dengan sebutan OSPEK, rasa jenuh yang menyerangnya itu malah membukakan pintu kesempatan baru buatnya menciptakan dampak dan bermanfaat buat orang banyak.

Pria kelahiran 1983 ini kala itu dilanda rasa jenuh luar biasa setelah setiap hari berhadapan dengan kode dan bahasa pemrograman lainnya. Ya, ia adalah seorang programmer lulusan Universitas Dian Nuswantoro di kota Semarang yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi. Kejenuhannya yang tak terbendung ini kemudian mendorongnya untuk mulai menulis dalam blog pribadinya.

Tulisan yang ia tuangkan merupakan tulisan-tulisan sederhana dari kehidupan yang ia jalani sehari-hari, mulai dari curhatan teman, peristiwa dalam perjalanan menuju rumah dan banyak hal yang kebanyakan bermakna refleksi kehidupan. Tak disangka-sangka, tulisan-tulisan sederhana di dalam blognya itu kemudian menuntunnya mendapatkan penawaran menulis skenario untuk sebuah film di televisi berbayar asal Malaysia.

“Saya dari IT kemudian ditawarkan nulis skenario yang saya sangat asing dengan dunia tersebut. Tapi ini tantangan baru yang menarik buat saya. Saya di kontrak untuk jadi Co-writer sejumlah episode FTV. Dan saya pun keasyikan, kemudian memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya pada 2008,” ujar pria yang lebih dikenal dengan nama Novanka Raja ini.

Ya, dalam percakapan melalui telepon siang itu Novan menceritakan kalau ia memilih berhenti dari pekerjaannya yang membosankan itu untuk mendalami dunia tulis-menulis yang ternyata lebih menarik hatinya. Rasa cintanya itu bahkan membuatnya rela hidup di jalanan tanpa pekerjaan, tidur beralaskan koran, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk belajar menulis.

“Saya belajar ke TIM, Blok M, Stasiun Senen, Bekasi dan beberapa tempat lainnya. Kala itu ayah juga syok dan mengunjungi saya di Jakarta. Ia kaget awalnya, namun setelahnya tak banyak bicara ketika kita sama-sama tidur beralaskan koran di jalan saat malam hari. Katanya ia percaya dengan pilihan hidup yang saya ambil. Saya akan bertanggung jawab atasnya,” Tukas Novan.

Tekad dan kegigihan belajar Novan tak mengkhianati hasilnya. Tulisan-tulisannya di blog itu kemudian terbit setahun kemudian. Wajahnya muncul di televisi dan bukunya yang berjudul “Dawai Cinta dikala Senja” duduk manis di rak-rak toko buku ibu kota. Bahkan ia tak menyangka, peluncuran bukunya itu dilakukan bersama-sama dengan peluncuran buku milik penulis kenamaan, Sapardi Djoko Damono yang ia kagumi. Inilah yang ia katakan jadi titik balik buatnya.

Tak hanya banyak belajar menulis dan menelurkan banyak tulisan dan buku, ternyata dalam petualangannya di dunia literasi, ia juga membagikan ilmunya kepada orang lain agar tak ia konsumsi sendirian dan habis dimakan jaman. Coba saja tengok sederet kegiatan yang ia jabarkan di curiculum vitae miliknya, ia pernah menggelar kelas menulis novel di museum Layang-layang, kelas menulis novel di sejumlah sekolah di beberapa daerah di Indonesia, mengadakan workshop dan seminar menulis, hingga aktif dalam sejumlah komunitas literasi.

Tak berhenti hingga disitu, ia kemudian mendirikan sebuah lembaga penerbitan dan agensi independen bernama Kinomedia Writer Academy pada 2011. Pendirian lembaga ini diakuinya tak bermodal sedikit pun, hanya bermodal keinginan membantu sesama penulis katanya. Lembaga ini ia dirikan karena melihat banyak penulis yang kesulitan menerbitkan bukunya karena dipermainkan penerbit nakal yang menentukan tarif tidak masuk akal.

Tambahnya diiringi tawa, “Ini yang jadi faktor sedikitnya jumlah buku Indonesia yang terbit, jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia. Banyak penulis baru atau tidak populer yang karyanya sangat bagus, ragu-ragu atau bahkan kesulitan menerbitkan buku. Oh ya, pendirian lembaga penerbitan ini bahkan membuat saya dimusuhi banyak orang.”

Tapi tentu saja hal itu tidak memukul Novan mundur. Api semangat di dadanya malah makin berkobar untuk membantu penulis lainnya. Dan pada 20 Desember 2015, ia mendirikan sebuah wadah belajar menulis bagi masyarakat yang ia beri nama OSPEK. Wadah berbentuk komunitas ini ia dirikan bersama kedua temannya di lembaga penerbitan miliknya, yakni Riri Ansar dan  Annisa Haroen.

Wadah yang ia dirikan dengan visi belajar dan berbagi bersama ini didirikan Novan karena melihat masih banyak wadah belajar atau komunitas literasi yang sifatnya eksklusif atau menutup diri, padahal semua orang berhak punya kesempatan untuk belajar menulis dan menelurkan karyanya. Komunitas ini juga dibentuk dengan maksud meningkatkan minat baca dan tulis masyarakat.

Hingga saat ini OSPEK sudah bermunculan di beberapa kota sekitaran Jakarta, misalnya kota Bogor, Tangerang dan Bekasi. Semua komunitas yang dibagi dengan sebutan dengan chapter ini dikelola oleh pengurus inti yang rata-rata berasal dari kalangan mahasiswa. Kegiatan yang dilakukan tak hanya belajar menulis bersama pakar dan penulis, namun ada pula bedah buku dan karya sastra, puisi, bincang karier, hingga membuat buku di akhir tahun yang diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma.

Pemilihan nama komunitas ini tidak sembarangan, kata pria yang kini menjalankan kesibukan sebagai Communication Coordinator di Global Peace Foundation ini, OSPEK ia pilih untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada kata tersebut. Kata Novan, sebenarnya OSPEK memiliki makna yang bagus bila diterjemahkan, yakni sebuah masa orientasi atau pembelajaran. Namun karena kenyataannya tidak demikian dalam pelaksaannya di sejumlah sekolah, kata ini mesti memanggul stigma negatif di pundaknya.

“Awalnya bingung mau kasih nama apa. Kemudian terlintas karena sering ngobrol, ya sudah obrolan santai penulis aja, OSPEK. Tapi awalnya banyak yang menentang karena pemikiran negatif soal OSPEK. Maka itu dengan nama ini kita berharap bisa hilangkan itu,” ujarnya sambil mengingat-ingat.

Tidak mudah mengelola komunitas ini. Sambil tertawa kecil Novan mengakui kalau ternyata ada kerumitan yang mesti ia hadapi dalam tiap kegiatan komunitas yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia juga menambahkan, dalam pengelolaan komunitasnya ini, dibutuhkan pula konsistensi dan pembagian waktu yang tepat dengan kesibukannya. Akan tetapi meski rumit, pria yang sudah menelurkan 20 judul buku ini justru merasa bahagia, pasalnya melalui OSPEK ia bisa berbagi kesempatan belajar menulis kepada masyarakat

Tambahnya sambil terkekeh, “Saya baru tahu ternyata rumit juga ya kegiatannya, harus urus surat ini itu kalau mau buat kegiatan. Harus buat perijinan, harus ada sistem pengelolaan dana, dan lainnya. Ya, tapi saya terus belajar.”

Kedepannya ia berharap, komunitasnya ini bisa makin banyak tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan ia dan teman-teman pengurus punya keinginan untuk mewujudkan 20 chapter OSPEK di tahun 2018 mendatang. Ia juga menaruh harap bahwa teman-teman pengurus OSPEK terus semangat berbagi dan menyediakan ruang bagi masyarakat untuk belajar dan menelurkan tulisan, pasalnya ia percaya kalau tulisan itu memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mengubah keadaan.

Ya, kekuatan tulisan. Soal ini Novan tidak berkata sembarangan, pasalnya ia membuktikan sendiri perkataan tersebut dulu kala sebelum berhenti dari pekerjaannya di perusahaan teknologi informasi itu. Katanya, suatu ketika ada seorang perempuan yang menghubungi nomor yang tertera di laman Facebook miliknya. Perempuan itu mengirimkan Novan sebuah permintaan diubuatkan sebuah puisi sebelum mengakhiri hidupnya melalui pesan singkat. Katanya perempuan itu suka dengan tulisan Novan yang biasa diletakan di laman pribadi Novan.

Awalnya keraguan menyergap Novan setelah membaca pesan singkat itu, ia takut kalau ini hanya rekaan sang perempuan semata. Namun, tangan dan hati Novan gelisah, ia bimbang dan pada akhirnya memutuskan membuatkan puisi untuk sang perempuan dengan judul “Surat untuk Kekasihku di Surga” yang ia unggah di laman Facebooknya.

“Perempuan ini putus asa karena ditinggal sang kekasih, maka itu saya buatkan puisi yang isinya mengingatkan dia kalau masih banyak yang sayang dengan dia di dunia ini. Setelah saya unggah saya nggak dengar kabarnya hari itu. Tapi beberapa waktu berselang, dia mengirimi pesan singkat mengucap terima kasih. Ya, ia mengurungkan niatnya,” cerita Novan.

Tak berhenti hingga disitu, Novan juga pengalaman lain dengan tulisan yang mengubah hidupnya. Dengan semangat dan sedikit mengingat-ingat, anak dari pasangan Sudarso dan Kustilah ini mengucap kalau ia pernah kekurangan uang untuk berangkat umrah. Tenggat waktunya tinggal satu minggu lagi untuk pelunasan sisa pembayaran biaya sebesar delapan juta rupiah, bila tidak, kakinya batal menginjak Tanah Suci. Namun tunggu dulu, keajaiban terjadi. Berkat tulisan singkat atau status yang rutin ia unggah di laman Facebooknya, ia mendapatkan penawaran dari sebuah penerbit.

Dengan sumringah Novan menambahkan, “Tulisan status saya itu mau dibukukan katanya dan pas sekali kontraknya yang selama dua tahun itu seharga delapan juta rupiah, sesuai dengan jumlah uang yang saya butuhkan untuk berangkat umrah.”

Dari pengalaman itulah Novan semakin percaya kalau tulisan itu punya kekuatan yang luar biasa dan ia tak pernah lelah mengingatkan kepada orang lain untuk terus menulis hal-hal yang positif dan bermanfaat, karena ia percaya kalau hal baik akan mendatangkan kebaikan pula.

 

Dokumetasi: Novan Dwi Andhika atau Novanka Raja 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *