Komunitas Pasara Jadi Wadah Pecinta Kura-kura

TRIBUNJATENG.COM —  Tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Mungkin ungkapan tersebut sesuai jika disandingkan dengan kura-kura.

Hewan jenis reptil yang memiliki tempurung keras itu memiliki usia hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
Tidak seperti hewan peliharaan lain yang biasanya akan semakin murah ketika usianya sudah tua. Kura-kura justru semakin memiliki nilai jual tinggi semakin berusia tua.

PECINTA kura-kura di Kota Semarang juga relatif cukup banyak, karena yang tercatat dalam keanggotaan komunitas Pasar Kura-kura Regional Semarang (Pasemar) saja sudah mencapai 200 orang. Belum termasuk pecinta kura-kura yang di luar komunitas.

 Ketua Pasar Kura-kura Regional Semarang (Pasemar)‎, Agustinus Eka Saptono, mengatakan, terbentuknya komunitas tersebut awalnya hanya iseng-iseng.

Dia mencari sesama pecinta hewan yang bergerak lambat itu dengan membuat akun melalui Facebook.

“Ibaratnya saya ini kompor, 2014 saya membentuk komunitas Pasara Semarang. ‎Nama ini juga mengikuti wadah induk di nasional yang juga memakai nama Pasara atau Pasar Kura-kura,” ujar dia.

Meskipun menggunakan nama ‘Pasar’ tak berarti di sana hanya menjadi wadah untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Ada juga anggota yang hanya membeli kura-kura hingga memiliki puluhan ekor, tanpa pernah menjualnya.

“Memang ada yang menjual kura-kura, tapi sebenarnya di sini tidak hanya berjualan. Biasanya kalau sudah bosan dijual ganti kura-kura jenis lain,” ujarnya.

Komunitas Pasara yang resmi sudah mendapatkan SK dari organisasi induk sekitar tahun 2015 itu juga menjaring anggotanya dari luar Semarang, seperti Kendal dan Ungaran. Namun karena jarak yang terlalu jauh, tentu tidak bisa selalu datang setiap kopi darat yang tempatnya bergiliran di masing-masing anggotanya.

“Dua tahun terakhir ini kami rutin melakukan kopdar setiap bulan sekali karena kami ada program arisan. Jadi pasti ketemuan,” ujar pria yang akrab disapa Kentus itu.

Setiap anggota Pasara Semarang juga memiliki alasan yang berbeda-beda. Jika Kentus suka kura-kura karena diawali dari istrinya yang menyukai hewan yang berjalan lambat itu.

Berbeda halnya dengan Nur Sahid‎ Abu Farrel (33) yang menyukai kura-kura saat berjalan ke pasar ikan sekitar tahun 2016 yang lalu.

Dari sana dia tertarik untuk membeli kura-kura air yang ditaruhnya ke dalam akuarium. Sayangnya kura-kura tersebut tak mau makan hingga membuatnya bingung.

 “Saya bingung kenapa nggak mau makan, akhirnya saya lepaskan ke sungai karena kasihan.‎ Tapi setelah itu saya masih penasaran,” ujar dia.

Kemudian dia mulai mencari tahu jenis kura-kura yang beragam. Khususnya kura-kura lokal Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Kalimantan. ‎Saat ini, dia sudah memiliki banyak kura-kura yang jumlahnya sudah tidak bisa dihitung lagi dari beragam ukuran dan jenis.

Alasannya memiliki banyak kura-kura sudah seperti investasi yang bisa dijual secara cepat jika membutuhkan uang.

Dia mengaku sebagai kolektor yang juga menjual koleksi jika sudah bosan dan membeli kura-kura jenis lainnya.

“‎Saya ‘kolekdol’, koleksi juga dodolan (jualan) kalau sudah bosan. Tapi sekarang koleksinya banyak di Surabaya, di Semarang cuma beberapa,” jelas dia.

 

Sumber : Tribun Jateng.
Penulis: raka f pujangga
Editor: Catur waskito Edy

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *