Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia; Bentuk Perempuan Kader Konservasi

Pascadikukuhkan akhir Januari 2017 lalu, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia mulai menjalani pembelajaran teori-teori dasar tentang Hak Asasi Manusia, (Hak Perempuan), dan Lingkungan Hidup. Perempuan muda dan cantik ini belajarnya di ruang serba guna Kantor Bidang 3 Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) wilayah Bengkulu – Sumatera Selatan di Curup, Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, Sabtu (4/2/2017) pagi.

Oktari, selaku Koordinator Perempuan di Lembaga Lembaga Kajian Advokasi dan Edukasi (LivE) Bengkulu, mengungkapkan, perempuan dalam komunitas ini nantinya akan berinteraksi dengan masyarakat khususnya kaum perempuan di desa-desa yang berada di kawasan hutan TNKS. Caranya dengan pendekatan dengan banyak metode. Seperti  dialog/diskusi, partisipasi dan berbagi informasi dan pengetahuan melalui berbagai saluran media serta pendekatan melalui media dan proses komunikasi secara partisipatif dan terintegratif.

“Yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa komunitas ini dalam bersosialisasi kepada kaum masyarakat di desa, lebih kepada penguatan hak, bukan kebutuhan. Komunitas ini akan membentuk partisipan berupa Kader Konservasi (perempuan binaan Bidang III TNKS Bengkulu Sumatera Selatan) dan Kelompok Interaksi, yaitu,  tokoh perempuan atau perempuan insiator kegiatan di desa”, terang Tari, sapaan akrabnya.

Komunitas ini dibentuk, kata Tari, mengingat permasalahan utama yang ditemukan adalah, kesadaran perempuan (masyarakat) dan pemerintah desa/daerah tentang arti penting dan dampak kerusakan TNKS bagi kehidupan dan kesejahteraan, masih sangat rendah. Kenapa demikian? sambung Tari, karena akses perempuan (masyarakat) dalam memperoleh, berbagi informasi serta pengetahuan tentang arti penting dan dampak kerusakan TNKS bagi kehidupan dan kesejahteraan, serta mempengaruhi kebijakan pemerintah desa atau daerah, tidak tersedia.

“Hadirnya komunitas ini semoga bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Tentunya komunitas ini perlu adanya dukungan dari semua pihak”, sambung Tari.

Tari menambahkan, dari data yang diperolehnya, disimpulkan, bahwa 55 % masyarakat lokal belum mengetahui fungsi dan manfaat TNKS dan 66 % masyarakat bersikap tidak harus untuk menjaga TNKS. Kemudian ada juga, persepsi masyarakat desa penyangga terhadap keberadaan TNKS sangat rendah dan belum memahami pentingnya TNKS. Serta tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya TNKS dan dukungan pemerintah daerah terhadap upaya menjaga keutuhan TNKS terkategori jelek.

Disinggung, kenapa harus perempuan yang ada dalam komunitas ini dan kenapa juga subjek dari kegiatannya juga harus perempuan? Tari menjawab, karena dalam pernyataan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) bahwa perempuan korban paling buruk akibat kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal bencana, potensi perempuan mengalami kematian 14 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Selain itu, kerusakan lingkungan hidup juga memperberat beban perempuan yang sering bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan dasar kehidupan rumah tangga dari memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam (SDA).

Ada 3 strategi pemberdayaan yang dilakukan komunitas ini kelaknya. Yaitu, papar Tari, Strategi Beranda Pengetahuan Hijau Perempuan yang dilaksanakan oleh Kader Konservasi. Aktivitasnya, melaksanakan pelatihan, diskusi reguler, riset dan publikasi dan penyaluran karya melalui media dan saluran komunikasi lainnya. Lalu Strategi Institut Pengetahuan Hijau Perempuan yang aktivitasnya adalah, pelatihan, diskusi reguler dan kuliah umum di perguruan tinggi. Dan ini dilaksanakan Kader Konservasi dan Kelompok Interaksi. Serta Strategi Perempuan Berdialog Kebijakan Hijau aktivitasnya meliputi audiensi dengan kepala desa, bupati dan gubernur dan dialog para pihak di tingkat provinsi dilaksanakan oleh Kader Konservasi dan Kelompok Interaksi.

“Strategi pemberdayaan perempuan ini akan dikembangkan menjadi program kerja Divisi Perempuan LivE. Keberlanjutannya dilakukan dengan memaksimalkan jaringan yang terbangun melalui program ini dan lainnya”, papar Tari.

Akhir dari tujuan komunitas ini kelak, lanjut Tari, setidaknya ada solusi yang didapatkan. Diantaranya, goal dari aktivitas komunitas ini semoga perempuan (masyarakat) dan pemerintah desa/daerah berpartisipasi menyelamatkan TNKS. Sedangkan outcome-nya agar kesadaran perempuan (masyarakat) dan pemerintah desa/daerah tentang arti penting dan dampak kerusakan TNKS bagi kehidupan dan kesejahteraan meningkat.

“Serta Output-nya, perempuan (masyarakat) memiliki beragam akses untuk memperoleh dan berbagi informasi dan pengetahuan tentang arti penting dan dampak kerusakan TNKS bagi kehidupan dan kesejahteraan, serta mempengaruhi kebijakan pemerintah desa atau daerah,” jelasnya lagi.

Bicara soal Hak Perempuan dan Lingkungan Hidup, kata Tari lagi, karena Hak Perempuan merupakan Hak Asasi Manusia juga. Banyak landasan hukum yang menguatkan bahwa perempuan berhak atas penghidupan yang layak (kesetaraan gender). Ini tertuang dalam UUD 1945, Pasal 28E, 28F, Pasal 28H.

Lalu ada di Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak Perempuan juga tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, 1979. Serta Beijing Platform for Action, 1995.

“Sedangkan regulasi tentang lingkungan hidup diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, demikian Tari.

Sumber: Redaksi Bengkulu

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *