Rika Rosvianti: “Isu gender dan seksualitas sangat tabu di keluargaku sendiri,”

“Saya adalah pengguna angkutan umum aktif sejak usia sekolah sampai kuliah. Saya kerap kali mengalami pelecehan seksual. Tapi saya tahu kalau ini bukan saya saja yang mengalaminya, banyak pasti, namun nggak ada satu pun yang berani cerita,” ujarnya melalui sambungan telepon sore itu.

Pemilik suara itu ialah Rika Rosvianti, pendiri komunitas yang vokal menyerukan isu kekerasan dan pelecehan seksual di tempat umum yang diberi nama perEMPUan. Dibentuk resmi pada 2011, komunitas ini muncul berkat obrolan soal pengalaman mendapatkan pelecehan seksual bersama teman satu kost-nya, Astrid Malahayati saat menempuh pendidikan S2 bidang Kajian Gender di Universitas Indonesia.

Salah satu pengalaman yang paling diingat Neqy—begitu biasanya ia dipanggil, ialah pengalaman bersama seorang temannya di sebuah halte bus. Malam itu, mereka dihampiri oleh seorang exhibisionist (seseorang yang gemar menunjukan alat kelaminnya untuk mendapat kepuasan seksual). Sambil mengingat-ingat, ia mengatakan kalau pria paruh baya itu menghampiri mereka dan menunjukan alat kelaminnya, dan kemudian dengan tenang ia dan temannya ini menjauh dari lokasi.

Tambahnya, “Aku langsung pulang setelahnya, sementara teman aku melapor ke polisi. Tapi, bukannya dapat bantuan, dia malah disalahkan. Mbak sih cantik, pulang malam, dan ngapain sih keluar sendirian. Dan dari situlah kita harus berbuat sesuatu untuk mengubahnya.”

Dari obrolan tersebut keduanya kemudian sepakat menderapkan langkah awal mereka dengan mendokumentasikan segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual di kendaraan umum serta cara pencegahan dan penanggulangannya menjadi sebuah booklet yang bisa diakses siapapun. Hal dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan  segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual, sehingga mereka bisa terhindar berkat kewaspadaan dan pengetahuan.

Tak hanya membangun awareness lewat edukasi dan penyediaan informasi, Neqy menjelaskan, sebenarnya perEMPUan dibentuk untuk mendorong pembentukan SOP penangangan kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia. Pasalnya, penanganan isu ini seringkali mengalami kebuntuan. Pemerintah saja nampaknya belum menjadikan isu ini sebagai prioritas. Bahkan, RUU kekerasan dan pelecehan seksual saja belum di sah kan hingga kini. Padahal, korban sudah banyak berjatuhan, sebut saja Yuyun dan Eno, serta nama-nama lainnya yang mungkin tidak naik ke permukaan.

Hal itulah yang sedang diperjuangkan Neqy bersama perEMPUan dan komunitas lainnya dengan concern yang sama. Akan tetapi, bukan soal pemerintah saja, Neqy juga sadar kalau ia mesti menyingsingkan lengan baju dan bekerja keras terus menyuarakan isu ini kepada masyarakat dan melawan stigma dan tabu yang melekat kuat di masyarakat. Stigma tersebut biasanya menyalahkan perempuan, pakaian yang dikenakan, hingga perilaku pulang malam yang dilakukan seorang perempuan.

Kata Neqy, akibat tabu, banyak yang memilih untuk tidak membicarakannya dan menyimpannya sendiri rapat-rapat. Mereka bungkam soal pengalaman mereka mengalami atau menyaksikan atau bahkan mereka bingung harus melapor kemana.

“Di keluarga ku sendiri pun, isu seperti ini sangat tabu. Ya, meski aku vokal menyuarakan isu-isu gender dan seksualitas, hal ini nggak akan pernah sekali pun di bicarakan sampai kapan pun di keluarga ku. Dulu aja pas alami pelecehan, aku lapor ke mereka dan mereka bingung menanggapi aku,” tukas perempuan yang berhasil mendapat gelar Cum Laude Master Kajian Gender ini.

Akan tetapi tentu hal itu tidak menghalangi langkah Neqy sama sekali untuk berkegiatan dengan isu-isu yang ia perjuangkan. Nyatanya, kedua orang tuanya mendukung apa yang dijalankan oleh Neqy. Katanya, mereka bangga dengan apa yang ia lakukan, salah satunya aktif jadi pembicara di sederet forum dan workshop. Ia katanya beruntung lahir di keluarga yang cukup moderat. Hal tersebut terefleksi dari sang ibu.

Ibunya yang bernama Evi ini diceritakan Neqy merupakan seorang perempuan yang tidak mengikuti konstruksi perempuan pada umumnya. Ia tidak pernah mau dipanggil dengan nama suaminya saat berkumpul dengan kebanyakan ibu-ibu di lingkungannya yang menggunakan nama suaminya. Ia selalu memperkenalkan diri dengan namanya sendiri.

Hal tersebutlah yang juga jadi salah satu faktor mengapa perempuan yang pernah kini bekerja di bekerja di Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) ini tertarik dengan isu-isu gender, seksualitas, dan citra diri sejak duduk di bangku SMA. Ya, Neqy katanya terinspirasi dari sosok sang ibu. Berkat panutannya itu ia mulai menyelipkan isu-isu tersebut dalam tugas beberapa tugas sekolahnya. Salah satu isu yang pernah ia presentasikan adalah tentang standar kecantikan perempuan.

Sebelum menutup pembicaraan tentang komunitasnya, perempuan yang pernah mengambil studi Kajian Media pada tahun 2009 di Universitas Indonesia ini menyelipkan harapannya untuk perEMPUan, katanya ia ingin komunitasnya bisa bermanfaat dan jadi salah satu solusi dari pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia. Dan ia ingin komunitasnya dan komunitas lainnya yang concern di isu yang sama dapat berkolaborasi dan menguatkan agar terus semangat memperjuangkan isu ini.

Dan tentu saja ia juga punya keinginan untuk mendorong keluarnya SOP dalam pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan seksual atau mendorong pengesahan RUU Kekerasan dan Pelecehan Seksual oleh pemerintah Indonesia.

Hingga saat ini Neqy dan PerEMPUan aktif melancarkan seminar dan workshop ke berbagai kalangan. Hal ini dilakukan untuk memberikan edukasi, pemahaman, dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat soal bentuk-bentuk pelecehan dan penanganannya, modus-modus pelecehan bahkan hingga ke hal teknis sekalipun, seperti bagaimana tindakan menangani pelecehan dengan barang-barang yang dibawa.

 

Dokumentasi: Rika Rosvianti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *