Yeni Dewi Mulyaningsih: Giat Berbagi Untuk Anak Penderita Kanker

Yeni Dewi Mulyaningsih, perempuan kelahiran Bandung, 5 Maret 1977 adalah pendiri sekaligus ketua yayasan Taufan. Komunitas Taufan didirikan dilatarbelakangi oleh anaknya yang bernama Taufan terdiagnosa Leukemia type AML yang berjuang hampir 2 tahun lamanya. Yang kemudian terjalin persahabatan antara Taufan dan Zack Petersen seorang relawan berkebangsaan Amerika yang selalu hadir memberikan support kepada Taufan. Kemudian, setelah Taufan wafat pada 1 Mei 2013, Zack berkunjung ke rumahnya dan berbagi pengalaman tentang perjuangannya selama merawat Taufan. Saat itulah, Zack mendorongnya agar terjun langsung ke rumah sakit untuk mengunjungi pasien dan orangtuanya, untuk berbagi apapun yang Ia ketahui tentang merawat anak dengan kanker, prosedur perawatan di rumah sakit, jaminan kesehatan masyarakat, aktif dengan dokter, suster dan semua relawan yang berkunjung ke rumah sakit.

“Tantangan terberat pada awal berkegiatan adalah saat pertama memperkenalkan diri saya sebagai relawan, tanpa naungan organisasi, tanpa misi, tanpa visi dan tidak punya latar belakang tentang menjadi seorang relawan. Saya hanya mengikuti kata hati, bahwa rumah sakit sudah menjadi rumah kedua buat saya, menghibur pasien hingga mereka tertawa dan berbagi pengalaman kepada setiap orangtua pasien yang saya temui.” Ujar Yeni

Namun, dengan bantuan Zack yang suka menulis artikel tentang Taufan dan kegiatan yang Yeni lakukan melalui Jakarta Globe, serta support dari teman – teman Count Me In perlahan Ia bertemu dengan banyak relawan dan donatur. Kemudian Zack mengadakan penggalangan dana melalui Movember pada bulan November yang dihadiri banyak ekspat, dan Yeni dipertemukan dengan Mas Wibowo Sulistio yang menawarkan membuatkan website  Komunitas Taufan secara gratis yang saat ini dikelola oleh Yeni dan Nana Andriana, yaitu seorang donatur saat memfasilitasi anaknya bernama Nazneen untuk merayakan ulang tahunnya di bangsal anak Gedung A RSCM.

Perlahan-lahan tanggung jawab yang Ia emban semakin besar, seiring dengan bertambahnya pasien dampingannya. Seorang relawan yang berteman dengan Taufan, Maya Martini, menyarankan untuk mendirikan Yayasan Komunitas Taufan, yang akhirnya resmi didirikan pada 29 September 2014. Bahkan sampai saat ini, sudah sekitar 30 relawan yang tergabung sebagai relawan inti yang membantu semua program Komunitas Taufan, dan tahun-tahun sebelumnya mencapai 180 relawan yang mendaftar serta masih banyak lagi relawan sekaligus donatur di setiap kegiatan visit komunitas Taufan.

Ditengah-tengah kesibukannya untuk mengelola Komunitas Taufan bersama teman-temannya yaitu Nana Andriana, Maya Martini dan Wibowo Sulistio, Ia tetap fokus untuk tidak mengorbankan tanggung jawab pada orang – orang terdekat dalam keluarga. Yeni yang masih terlibat aktif ikut kegiatan Komunitas Taufan meluangkan waktu 3 hari dalam seminggu untuk bertemu dengan pasien dampingan. Baginya yang tidak memiliki asisten rumah tangga, membagi waktu antara pekerjaan rumah dan komunitas memang terasa berat, namun Ia menyadari bahwa peran terbesar dan utamanya adalah fungsi di rumah sebagai istri dan ibu dari anak – anaknya.

Walau begitu sibuk, namun Ia mengungkapkan “Bagi saya pribadi kepuasan di dapat saat bertemu langsung dengan pasien dan orangtuanya, menyaksikan mereka tersenyum, bersyukur, dan menjadi teman untuk tempat keluh kesahnya. Dan itu adalah tanggung jawab utama saya untuk memastikan setiap pasien dampingan mendapatkan pendampingan dan bantuan kebutuhan dasar secara maksimal.”

Ia pun berharap semoga ke depannya semakin banyak masyarakat yang terlibat langsung dengan kegiatan Komunitas Taufan sehingga bisa merasakan bagaimana perjuangan dari setiap keluarga dampingan.

“Visi tercapai dengan semakin banyaknya pasien yang di dampingi. Dan misi tercapai sebagai jembatan kebaikan antara relawan, donatur dan mitra untuk meringankan beban pasien anak – anak di Indonesia. Sehingga saat itu terjadi buah kebaikan tidak saja dirasakan oleh pasien tapi juga oleh semua relawan. Semua relawan akan kembali dan kembali saat hati mereka tertaut, bukan saja tentang indahnya berbagi, tapi tentang waktu yang tak bisa terulang.” Pungkasnya.

FOTO: DOK. Yeni Dewi Mulyaningsih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *